Jumat, 17 Februari 2017

Pendeta Juga Manusia: Analisis tentang Gejolak dalam Gambaran dan Kenyataan Kependetaan dari Fenomena Hawa Nafsu

Pendahuluan
            Pendeta adalah bagian penting yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan bergereja. Pendeta menjadi pilar penting dalam kehidupan bergereja dan pembangunan iman jemaat. Berdasarkan pemahaman tersebut dan berbagai pendapat yang muncul, pendeta diharapkan dapat menjadi role model kehidupan beriman dalam pemahaman kekristenan. Selain itu pendeta juga diharapkan memiliki berbagai sikap yang dapat menjadi pedoman bagi jemaat untuk mendekatkan diri dengan Tuhan. Bahkan pemahaman yang beberapa kali saya dengar tentang konsep seorang pendeta adalah sebagai “wakil Tuhan”. Pendeta dianggap sebagai orang yang hidupnya suci dan tidak bercela. Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana seorang pendeta harus memposisikan dirinya sebagai pemimpin dan seorang pelayan Tuhan di saat bersamaan?
            Pandangan lain yang muncul dalam sosok pendeta adalah sebagai Hamba Tuhan. Hal ini berujung pada tanggungjawab bahkan tuntutan bahwa pendeta harus melayani jemaatnya. Akan tetapi pemahaman ini bergeser pada pandangan lainnya bahwa pendeta adalah orang yang harus menuruti keinginan jemaat. Meski pun begitu pendeta haruslah tetap mendahulukan suara Tuhan (Bait Online website 2016). Memang sudah sewajarnya pendeta mendengarkan aspirasi jemaat untuk pembangunan dan penatalayanan yang lebih baik. Akan tetapi pertanyaannya adalah sampai di mana pendeta harus mendengar kata jemaat harus di dengar?  Hal tersebut dapat berpotensi menimbulkan ketidakjelasan bagi pendeta, mengingat topangan materi dari jemaat memiliki potensi untuk mempengaruhi kinerja seorang pendeta.
            Pendeta juga dianggap sebagai sebuah pelayanan yang berasal dari hati yang terpanggil. Hal tersebut juga menjadi berbagai pemahaman yang sering disampaikan dalam pelayanan gereja, baik dalam khotbah, katekisasi dan lain-lain. Pendeta juga dianggap adalah pekerjaan yang berhubungan dengan urusan surgawi. Akan tetapi pada satu sisi pendeta juga sering kali dipisahkan dengan profesi, karena anggapan bahwa profesi adalah pekerjaan duniawi (Sabda Space website 2016).
            Kesucian yang dianggap telah menjadi bagian dari diri pendeta bahkan memperlihatkan bahwa sisi kemanusiaan pendeta juga semakin terkikis. Pendeta bahkan dianggap sebagai manusia sempurna. Guncangan akan terjadi baik di dalam gereja atau pun di berbagai aspek lainnya jika pendeta kedapatan melakukan kesalahan. Seperti kasus pelecehan yang terjadi di Sekolah Bibelvrow HKBP, yang dilakukan oleh dosen di sekolah yang notabene seorang pendeta terhadap 19 mahasiswi di sekolah tersebut beberapa tahun lalu (Ekspos News website 2016). Fenomena tersebut menunjukkan bahwa hasrat ada di dalam setiap diri manusia, bahkan di dalam diri pendeta sekalipun terlepas hasrat tersebut dapat dikendalikan atau tidak.
            Tulisan ini akan mencoba membahas mengenai dinamika kependetaan. Tulisan ini akan mencoba menjabarkan mengenai pandangan tentang pendeta yang ideal. Akan tetapi di dalam tulisan ini juga saya mengupayakan penjabaran mengenai realita dalam kehidupan kependetaan. Hal penting dalam tulisan ini yang coba diangkat adalah bagaimana hubungan antara pemahaman tentang pendeta yang ideal dan kenyataan. Perspektif yang digunakan adalah penjabaran dari sisi hawa nafsu atau hasrat (desire). Bagaimana hasrat membawa pengaruh dalam kehidupan kependetaan. Tulisan ini juga mencoba menawarkan mengenai model bimbingan rohani untuk pendeta dengan tujuan agar pendeta dapat memahami tugas dan panggilannya sebagai pendeta dan menegaskan sisi kemanusiaannya agar dapat bersinergi dengan hasrat dan spiritualitasnya sebagai seorang pendeta berdasarkan nilai-nilai kekristenan.
Pendeta di antara Harapan dan Kenyataan
            Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menjabarkan pendeta sebagai orang yang pandai, pertapa, pemuka agama atau pemimpin jemaat, rohaniwan dan guru agama. KBBI juga menjabarkan kependetaan adalah berbagai hal yang berhubungan dengan pendeta (KBBI Online website 2016). Pendeta atau dalam bahasa Inggris disebut priest berasal dari kata Yunani ιερεύς yang juga dipengaruhi tradisi Perjanjian Lama. Pendeta yang dimaksud adalah orang yang telah merespon panggilan Tuhan di dalam dirinya (Torrance 1993, 1).
            Sosok pendeta diharapkan menjadi sosok yang mampu memimpin jemaatnya. Pendeta diharapkan menjadi teladan dalam kehidupan juga melalui kepemimpinan yang ditunjukkannya. Spiritualitas seperti apa yang diharapkan dalam diri seorang pendeta? Hal tersebut menjadi penting karena seorang pendeta yang menjadi pemimpin umat harus menunjukkan pemahaman dan praktik spiritualitasnya kepada jemaat agar firman yang disampaikan dan diajarkan pendeta menjadi hidup.
            Yesus dalam pelayanannya menjadi role model  dalam pelayanan dan pekerjaan sebagai pendeta. Yesus adalah seorang yang revolusioner dalam hidupnya. Akan tetapi revolusioner yang dimaksud bukan sebagai gerakan gerilya yang berasal dari hasrat untuk berperang. Sisi revolusioner dalam diri Yesus muncul dalam pengajaran-Nya. Hal tersebut sangat terlihat jelas ketika Yesus memposisikan diri-Nya sebagai pelayan. Pemahaman tersebut menggeser paradigma imam yang selalu ditinggikan dalam berbagai hal pada masa itu (Sanders 1994, 21).
            Yeremia 45: 5 bahkan menunjukkan bahwa sebagai pemimpin harus memiliki ambisi. Keberdosaan tidak dapat dilekatnya begitu saja terhadap ambisi. Kehadiran Ambisi membuat seseorang memiliki keinginan untuk mengupayakan berbagai hal yang baik. Ambisi juga yang menjadi pendorong untuk menerapkan pemikiran Yesus yang menunjukkan bahwa pemimpin harus menjadi figur yang melayani. Akan tetapi ambisi dapat menjadi faktor yang dapat menganggu berbagai hal dalam diri manusia, termasuk kepemimpinan yang ada dalam diri manusia. Ambisi akan menjadi tidak baik ketika dijadikan sebagai dasar kehidupan manusia yang dibungkus sikap egois (Sanders 1994, 14-5).
            Pemimpin yang melayani diharapkan memiliki berbagai sifat yang menggambarkan dan menunjukkan berbagai hal yang berhubungan dengan sikap melayani. Oswald Sanders memberi gambaran mengenai pemimpin yang melayani berdasarkan teladan yang diberikan oleh Kristus:
1.      Dependence
Dependence atau dapat diartikan sebagai ketergantungan bukan berarti bahwa pemimpin adalah orang yang senantiasa bergantung pada hal tertentu. Dependence yang dimaksud adalah penyerahan diri di dalam kehendak Allah. Keterbukaan yang dibungkus oleh hasrat untuk menghadirkan Allah dalam kemanusiaan seorang pendeta atau pemimpin gereja dalam penyerahan diri kepada Allah dan dalam penyerahan diri akan tuntunan Roh Kudus.
2.      Approval
Pemimpin gereja atau seorang pendeta harus menerima tanggungjawab dan melaksanakannya sebagai bagian dari kehidupan mereka yang meneladani Kristus.
3.      Modesty
Modesty atau kerendahan hati adalah aspek lain yang harus dimiliki pendeta. Kerendahan hati dalam pelayanan di dalam bingkai profesionalitas, yang dharapkan dapat mengarahkan pada pekerjaan yang merangkul jemaat dan berbagai aspek di dalam kehidupan bergereja yang dijalani, namun tidak didasari dengan hal-hal yang sifatnya egosentris.
4.      Emphaty
Empati dari pemimpin jemaat atau pendeta yang diharapkan hadir dalam kehidupan bergereja. Empati yang dapat dirasakan oleh jemaat diharapkan mampu membawa kebaikan dalam kehidupan. Hal tersebut berdasarkan apa yang dilakukan oleh Yesus kepada orang yang lemah, dipinggirkan dan tak dipandang pada masanya. Akan tetapi pendeta harus mampu melakukannya dengan ikhlas.
5.      Optimisme
Harapan dan optimisme dalam pelayanan sebagai pemimpin adalah esensi dari kualitas pelayan Tuhan. Hal tersebut menjad penting karena pelayan Tuhan harus masuk dalam ranah yang gelap dan penuh dengan pertempuran dalam berbagai aspek. Optimisme adalah sikap yang harus dipelihara untuk menunjukkan kehadiran Allah dalam dunia.
6.      Anointing
Anointing menjadi wadah bersatunya kelima hal sebelumnya. Sentuhan dan berkat yang diberikan oleh pendeta dengan berdasar pada kelima aspek ini akan membuat semua  yang telah diberikan dalam pelayanan akan menjadi lebih hidup dan tidak kering (Sanders 1994, 23-5).
            Penjabaran Sanders mengenai teladan dalam kepemimpinan Kristen dalam diri Yesus ini dapat menjadi dambaan bagi setiap jemaat. Akan tetapi seluruh hal yang telah dijabarkan tentang kepemimpinan di dalam kependetaan berdasarkan teladan Kristus itu akan terlaksana semua dengan baik? Harus disadari dan diakui bahwa pendeta juga adalah manusia. Pendeta juga memiliki keterbatasan, termasuk keterbatasan dalam memenuhi idealisme yang harus dijalankan sebagai seorang pendeta.
            Tuntutan juga menjadi faktor lain yang sangat mempengaruhi kependetaan seseorang. Tuntutan ini muncul dari berbagai sumber, termasuk dari jemaat. Akan tetapi tuntutan ini telah menjadi sebuah standar yang suka tidak suka harus dituruti oleh pendeta. Hal tersebut memang tidak dapat dihindari di dalam kependetaan, karena di dalam kependetaan tentu ada interaksi dengan jemaat. Kepemimpinan juga menjadi salah satu faktor yang menentukan bagaimana pendeta di mata jemaat.
Robby Chandra menjelaskan tentang bagaimana model kepemimpinan pendeta di dalam gereja:
1.      Pendeta dari kalangan karismatik yang mampu memobilisasi umat dengan komunikasi yang merakyat. Meski begitu mereka kurang memberi perhatian dalam menghasilkan sistem yang kuat, yang berujung pada seringnya terjadi perpecahan di dalam gereja.
2.      Kepemimpinan di dalam gereja arus utama atau mainstream yang menerapkan kepemimpinan kolektif yang diorganisir dengan prosedur yang telah ditata. Akan tetapi teologi yang dikembangkan dianggap rumit dan sulit diterima oleh jemaat.
3.      Pendeta dari kalangan injili dengan model kepemimpinan dalam pengelolaan yang baik. Semakin besar gerejanya maka semakin mapan juga pelayanan yang mereka lakukan. Akan tetapi di dalam kepemimpinan ini tidak terjadi sinergi dalam pelayanan akibatnya kaderisasi terhambat (Chandra 2004, 23-5).
Chandra telah menjabarkan mengenai model-model kepemimpinan di dalam gereja. Akan tetapi gambaran yang diberikan adalah berupa gambaran umum. Model-model kepemimpinan seorang pendeta juga sangat bergantung pada pribadi dan perkembangan imannya. Meski pun begitu, satu kesamaan dari model-model kepemimpinan yang diperlihatkan oleh Robby Chandra adalah egosentrisme pendeta sangat berpengaruh dalam kepemimpinannya dan kependetaannya. Keengganan untuk membawa sinergi dengan prinsip komunal akan menyulitkan pendeta dalam tugas pelayanannya. Selain itu jika hal seperti itu terjadi dapat dikatakan bahwa hasrat pribadi dalam diri seorang pendeta belum dapat dikendalikan dengan baik.
Hasrat adalah sesuatu yang ada di dalam diri manusia. Hasrat jugalah yang menjadi penggerak bagi manusia untuk melakukan berbagai hal di dalam kehidupan. Hasrat juga mampu menggerakkan pendeta dalam melakukan pelayanan dan melaksanakan kepemimpinan yang diemban. Akan tetapi realita hasrat dalam kehidupan, terlebih di dalam kehidupan kependetaan sangat kompleks. Pada bagian sebelumnya ada egoisme yang dapat mempengaruhi kepemimpinan dan jalannya hidup bergereja. Hal tersebut memperlihatkan bahwa pendeta juga adalah manusia, bukan mahluk sempurna yang dapat mengendalikan sepenuhnya hasrat dalam diri mereka.
Kasus yang terjadi di Sekolah Bibelvrouw HKBP beberapa tahun lalu menjadi bukti kompelsitas hasrat di dalam kependetaan. Hasrat seksual ternyata menjadi salah satu dinamika hasrat yang muncul dalam diri pendeta. Kejadian tersebut membuat HKBP secara sinodal menjadi gempar. Hal tersebut semakin menjadi buah bibir karena beberapa fenomena mengenai seks di luar pernikahan membuat para pelakunya menjauh dari gereja, bahkan jika sudah ketahuan akan diekskomunikasi oleh gereja. Terlebih lagi HKBP adalah gereja yang sangat concern dan menentang dengan keras hubungan seks di luar pernikahan (Rumametmet website 2016).
Kekuasaan dan hasrat seksual menjadi contoh yang saya angkat mengenai hasrat dalam kependetaan. Hal tersebut menunjukkan bahwa hasrat adalah hal yang kompleks, sulit untuk dipahami dan banyak aspek yang harus diperhatikan. Akan tetapi salah satu hal penting yang saya temukan adalah hasrat menjadi sangat berbahaya bila diletakkan sebagai dasar dalam pribadi atau pun spiritualitas kependetaan, bila diwarnai dengan egoisme dan keengganan untuk berserah pada Tuhan dan tanpa keinginan yang kuat untuk menjaga hasrat agar tidak terbawa ke dalam berbagai hal yang membuat gambaran kependetaan dalam diri seorang pendeta menjadi rusak.
Fenomena Hasrat di dalam Kependetaan
            Hasrat tidak dapat dilepaskan dalam kehidupan kependetaan. Hasrat yang menjadi pendorong bagi pendeta dalam pelayanannya, namun hasrat juga yang membuat pendeta mengalami penurunan kinerja dalam pelayanannya. Pernyataan tersebut dapat menjadi dasar timbulnya pertanyaan, bagaimanakah sebenarnya hasrat harus dipahami dalam diri seorang pendeta? Hal tersebut menjadi penting karena pendeta adalah pelayanan di gereja yang dipercaya oleh jemaat dalam membangun iman dalam realita bahwa pendeta adalah manusia, mahluk yang rapuh dan tidak sempurna dalam pengelolaan diri termasuk hasrat di dalam dirinya.
            Hasrat dapat dipahami sebagai sebuah dinamika bahwa di dalam diri manusia ada keinginan untuk mencapai yang lebih. Sesuatu yang lebih itu sangat luas maknanya, kita membutuhkannya dan kita juga berupaya mencarinya. Hasrat membuat kita tidak dapat terpuaskan. Hal tersebut terjadi karena di dalam pencarian tentang hasrat dan apa yang menjadi keinginan dalam hasrat itu sering kali ada kejatuhan yang dialami oleh manusia yang berpetualang dalam hasrat. Manusia akan terus berusaha dalam mewujudkan hasratnya meski pun itu sulit (Sasongko 2016, 31-2). Pendeta diharapkan memiliki hasrat untuk mencari dan melaksanakan model pelayanan dan kepemimpinan dengan baik, meski pun hasrat yang bertujuan untuk kemajuan gereja dan pelayanan sekali pun tidak akan berjalan mudah, karena pemahaman dan pelaksanaan berbagai hal yang didasari oleh hasrat tidak akan pernah terpuaskan. Rasa tidak puas di dalam memaknai hasrat diharapkan dapat mendorong pendeta untuk bekerja lebih baik lagi.
            Pendeta yang memiliki hasrat di dalam dirinya untuk melayani harus menyadari bahwa hasrat juga dapat menggiring mereka untuk melakukan pelayanan kepada orang-orang yang terpinggirkan. Hasrat diharapkan berujung pada pemahaman spiritualitas kristiani yang berujung pada semangat untuk meninggalkan kenyamanan, kemapanan dan kewibawaan dalam kepemimpinan pendeta untuk mendampingi orang-orang yang disingkirkan dalam kehidupan. Hasrat diharapkan mampu mendorong pendeta yang menjadi role model bagi jemaat untuk membangun kepekaan terhadap rintihan orang-orang yang tertindas (Sasongko 2016, 102).
            Sisi positif sangat terlihat dalam pemaknaan hasrat sebagai pemacu untuk pendeta agar bekerja lebih baik lagi. Akan tetapi hasrat ini seperti tertutupi oleh hasrat-hasrat lain yang sifatnya negatif. Saya sendiri pernah mendengar sebuah kalimat yang menyatakan bahwa seribu kebaikan manusia tidak dapat diingat, namun satu kesalahan manusia akan terus diingat-ingat sampai kapan pun. Nampaknya hal ini juga yang dialami oleh pendeta dengan cerita yang sedikit berbeda. Hasrat yang negatif dan destruktif juga ada dalam diri pendeta, dan akan mengganggu jika tidak dapat dikendalikan.
            Salah satu contoh hasrat negatif yang saya ketahui sering dibahas dalam diri pendeta adalah hasrat seksual. Kasus pemerkosaan 19 mahasiswi Sekolah Bibelvrouw oleh seorang pendeta menunjukkan bahwa pendeta juga manusia, yang hasratnya dapat menenggelamkan kepemimpinan kristiani yang coba dibangun dengan perbuatan tercela (Rumametmet website 2016). Hal ini menunjukkan bahwa seksualitas dan kekerasan seksual adalah forbidden zone atau bagian yang terlupakan atau bahkan ditabukan dalam kehidupan bergereja. Hal ini semakin sulit dicegah karena di fase awal kekerasan seksual, pendeta yang tidak dapat menggendalikan hasrat seksualnya memiliki keuntungan dengan kepercayaan yang telah terbangun dalam relasinya (Trull 2004, 163).
            Hasrat seksual di dalam diri seorang pendeta jika tidak dapat dikembalikan akan sangat mendistorsi makna dari kepemimpinan kristiani yang dipahami oleh jemaat. Role model jemaat telah menjadi teladan yang cemar dalam hasrat seksual yang tak terkendali dan berujung pada pelecehan seksual. Akan tetapi faktor dari luar diri pendeta disadari atau tidak turut membentuk pendeta seperti itu. Seksualitas yang dianggap tabu, sosial budaya yang menekan manusia khususnya perempuan dan berbagai faktor lainnya sangat berpengaruh dalam pemahaman seksual seorang pendeta (Rumametmet website 2016).
            Hasrat adalah hal yang sangat kompleks dalam kehidupan manusia. Berbagai elemen dalam hasrat yang sifatnya membangun atau destruktif sekali pun ada di dalam diri manusia. Hal tersebut membuat pendeta harus memahami dinamika hasrat yang ada dalam dirinya. Pendeta harus menyadari bahwa tubuh, kejiwaan dan spiritualitas adalah satu kesatuan. Hasrat menjadi hal yang tidak dapat dipisahkan dari diri pendeta dan hasrat juga harus dihidupi dan terus dijaga.
Bimbingan Rohani untuk Seorang Pendeta
            Bagaimana bimbingan rohani yang harus diberikan kepada pendeta untuk memahami dan menyatakan hasrat dalam dirinya? Hal tersebut mengingat bahwa pendeta adalah manusia yang berada dalam kerapuhan insan, namun pada saat bersamaan memiliki potensi untuk mengembangkan berbagai hal dalam dirinya. Inilah yang menjadi pergumulan bagaimana spiritualitas dan hasrat dalam diri pendeta bagaimana harus diletakkan.
            Model bimbingan rohani untuk pendeta yang saya tawarkan dalam tulisan ini adalah model yang berfokus pada pertanyaan reflektif. Pertanyaan-pertanyaan ini diberikan untuk untuk memahami atau merekonstruksi pemahaman potensi dalam diri pendeta di balik kerapuhannya. Meski pun tahbisan pendeta sudah diterima, namun seorang pendeta diharapkan terus berhasrat untuk terus bersedia memahami misteri kerapuhan dan potensi dalam dirinya. Oswald Sanders menawarkan contoh-contoh pertanyaan yang dapat dipakai dalam model bimbingan rohani seperti model yang saya tawarkan:
1.      Apakah kamu pernah merasa kecewa ketika melakukan hal buruk?
2.      Apakah kamu dapat mengontrol diri sendiri ketika melakukan kesalahan?
3.      Apakah kamu berpikir secara independen?
4.      Bagaimana kamu menghadapi kritik yang datang padamu? Apa kamu dapat melakukannya?
5.      Dapatkah kamu menunjukkan sikap dispilin tanpa menggunakan kekuasaanmu?
6.      Apakah orang-orang percaya padamu ketika berada dalam situasi sulit? (Sanders 1994, 36).
Pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat diajukan dalam bimbingan rohani kepada seorang pendeta. Pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat menjadi stimulus untuk mengingat kembali bagaimana kepemimpinan yang dijalankan berjalan. Kehadiran pertanyaan dan proses reflektif dalam pertanyaan-pertanyaan tersebut diharapkan dapat membangkitkan kembali hasrat kepemimpinan dan melayani dalam diri pendeta. Hal tersebut bertujuan untuk menggerakkan pendeta agar di dalam pelayanannya terus berusaha memenuhi hasrat dalam pelayanan yang tidak akan terpenuhi sepenuhnya.
Bimbingan rohani yang dihadirkan untuk pendeta diharapkan dapat memberi pemahaman bahwa di dalam kehidupan kependetaan banyak hal yang harus dipertimbangkan secara realistis. Tujuan yang perfeksionis sering kali membuat manusia jatuh dalam upayanya mencapai tujuan tersebut. Harus disadari dengan sungguh bahwa kehidupan di dalam dunia ini tidak berjalan dengan sempurna (Sanders 1994, 38). Hal tersebut menjadi dasar yang diharapkan menumbuhkan hasrat dalam diri pendeta untuk terus memperbaiki diri dalam pelayanan, kepemimpinan dan kehidupannya.
Kesimpulan
            Hasrat dalam diri pendeta adalah hal yang manusiawi. Pendeta juga manusia memiliki hasrat yang menjadi pendorong untuk menjalankan hal dalam kehidupannya. Setiap orang boleh memiliki standar tersendiri dalam kehidupannya, termasuk memberi standar kepada seorang pendeta. Akan tetapi harus dipahami bahwa pendeta juga adalah manusia yang rapuh dan bukan manusia yang sempurna. Untuk itu diperlukan sinergi yang baik antara jemaat dalam pendeta dalam kehidupan sehari-hari dan bergereja. Hal tersebut menjadi penting karena pendeta juga akan dipengaruhi oleh lingkungannya.
            Pendeta diharapkan terus memberi dirinya untuk dibimbing, agar hasrat yang membangun di dalam dirinya tetap terus dipelihara. Satu bimbingan rohani saja tidak akan mencakup dinamika hasrat dalam kehidupan kependetaan. Hal tersebut menunjukkan bahwa pendeta diharapkan bersedia untuk berpetualang dalam dinamika hasrat untuk menemukan Sang Misteri dalam kehidupannya. Pendeta juga manusia.
Daftar Acuan
Chandra, Robby. 2004. Landasan Pacu Kepemimpinan. Yogyakarta: Gloria Graffa.
Sanders, J. Oswald. 1994. Spirituality leadership. Chicago: Moody Press.
Sasongko, Nindyo. 2016. Embara api jiwa. Manuskrip.
Torrance. T.F. 1993. Royal Priesthood. A theology of ordained ministry. Edinburg: T&T
Clark.
Trull, Joe E. dan James E. Carter. 2004. Ministerial ethics: Moral formation for church leader.
            Michigan: Baker Academic.
Website
Bait Online. Pendeta: Hamba Tuhan atau Pelayan Manusia. http://www.baitonline.org/2016/02/27/pendeta-hamba-tuhan-ataukah-pelayan-manusia/ (diakses 6 Desember 2016).
Ekspos News. HKBP Didesak Selesaikan Kasus Pelecehan Seks di Sekolah Bibelvrouw. http://eksposnews.com/hukum-kriminal/HKBP-Didesak-Selesaikan-Kasus-Pelecehan-Seks-di-Sekolah-Bibelvrouw (Diakses 6 Desember 2016).
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI Online). Pendeta. http://kbbi.web.id/pendeta
Ruma metmet. Pelecehan di Rumah Tuhan http://rumametmet.com/2010/02/18/pelecehan-di-rumah-tuhan/ (diakses 6 Desember 2016).

Sabda Space. Pendeta: Profesi atau Panggilan http://www.sabdaspace.org/pendeta_profesi_atau_panggilan (diakses 6 Desember 2016).

Ketetapan Allah dan Pemerintah Analisis Nilai Etika Kristen dalam Kepatuhan terhadap Pemerintah berdasarkan Roma 13:2

Pendahuluan
            Pemerintah adalah bagian penting yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia, termasuk umat manusia di dalamnya. Kehadiran pemerintah di tengah kehidupan sebagai institusi yang memiliki wewenang untuk mengatur kehidupan di suatu wilayah. Pemerintah mengatur, menjalankan dan mengawasi berbagai hal yang terjadi di wilayah yang menjadi daerah yang dipimpinnya. Akan tetapi pemerintahan yang dibahas dalam tulisan ini adalah pemerintahan sipil.
            Roma 13:2 menyatakan bahwa perbuatan melawan pemerintah sebagai tindakan yang melawan ketetapan Allah. Selain itu di dalam Roma 13:2 juga dijelaskan bahwa bagi siapa yang melawan ketetapan Allah yang hadir di dalam pemerintah akan berujung pada hukuman bagi yang melawan pemerintah. Roma 13:2 yang saya angkat dalam tulisan ini jika dibaca sekilas menunjukkan bahwa pemerintah adalah institusi yang berupaya untuk menghadirkan kasih Allah melalui jalannya pemerintahan.
            Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana menerapkan dasar pemikiran dan pengambilan sikap etis kristiani berdasarkan Roma 13:2? Pertanyaan tersebut menjadi penting mengingat bahwa pemerintah adalah institusi yang menjadi pengatur jalannya kehidupan bagi masyarakat, termasuk umat Kristen di dalamnya. Pertanyaan tersebut juga harus diperhatikan mengingat realita kompleksitas dalam jalannya pemerintahan, yang di dalamnya terjadi berbagai hal dan fenomena yang membawa pengaruh bagi masyarakat yang dinaunginya.
Pembahasan
            Surat Paulus kepada jemaat di Roma adalah salah satu surat yang ditulis oleh Paulus dalam perjalanan pemberitaan Injil yang dilakukannya. Roma adalah sebuah kota yang menjadi pusat dar pemerintahan kekaisaran Romawi. Penduduk Roma terdiri dari orang-orang dari berbagai suku, termasuk di dalamnya orang-orang Yahudi dari Palestina. Berbagai kelompok penduduk termasuk di dalamnya masyarakat Yahudi berkumpul dengan kelompok mereka dan menjalankan ajaran agama mereka masing-masing (Hakh 2010, 198).
            Roma yang menjadi pusat kekaisaran Romawi menjadi pusat dari keagamaan pada saat itu, selain sebagai pusat pemerintahan. Kaisar Agustus yang memiliki gelar Pontifex Maximus atau imam besar mebangun kembali kuil-kuil di Roma. Kaisar Agustus yang menjadi imam agung membuat dia disembah di dalam kultus-kultus penyembahan yang dilakukan di berbagai provinsi dalam kekaisaran Romawi, termasuk di sekitar tempat masyarakat Yahudi bermukim (Hakh 2010, 199).
            Jemaat di Roma pada saat itu memiliki beberapa masalah. Paulus melalui suratnya mencoba memberi penguatan kepada jemaat di Roma. Salah satu pergumulan yang dihadapi jemaat di Roma pada saat itu adalah hubungan antara pemerintah dan gereja. Situasi yang terjadi pada saat itu adalah orang Kristen mengalami penganiayaan di Roma. Di tengah penganiayaan yang terjadi terhadap jemaat Roma, Paulus mengangkat pokok permasalahan mengenai hubungan antara pemerintah dan gereja. Paulus dalam Roma 13:1-7 menasihati jemaat bagaimana harus bersikap terhadap pemerintah (Hakh 2010, 202).
            Jika melihat teks Roma 13: 2 dan teks Roma 13:1-7 secara keseluruhan, teks ini memberi kesan bahwa di dalam nas ini tidak terdapat pembahasan mengenai kristologi dan eskatologi di dalamnya. Pemahaman yang diangkat Paulus dalam teks ini lebih kepada interaksi antara jemaat pada saat itu dengan pemerintah. Pemahaman dalam teks ini menekankan bahwa kehadiran pemerintah dipahami sebagai pelayanan untuk Tuhan dalam bingkai pekerjaan, otoritas dan kepercayaan yang diterima dari publik (Ksemann 1980, 351).
            Roma 13:2 menunjukkan bahwa perlawanan terhadap pemerintah adalah perlawanan terhadap perwujudan Allah. Penghakiman yang dimaksud di dalam teks ini adalah penghakiman yang berasal dari Allah, bukanlah penghakiman yang berasal dari sikap terbeban pemerintah (Rhys 1961, 165). Ayat 2 dalam Roma 13:1-7 ini berasal dari pernyataan Paulus yang memperkuat bahwa penghukuman yang datang berasal dari Allah (Bible.org website 2016).
             Fakta yang harus diperhatikan adalah surat ini ditulis dalam konteks pemerintahan diktator dan korupsi di dalamnya. Paulus mengangkat aspek keadilan dan upaya untuk memperlihatkan bagaimana ukuran dalam memandang kepercayaan terhadap pemerintah dengan keadaan tersebut. Secara tersirat Paulus juga menekankan bahwa ada rancangan yang berasal dari Allah di dalam pemerintahan. Akan tetapi di dalam pemaknaan tersebut ada keterbatasan dalam pemahaman terhadap pemerintah. Artinya pemerintah tidak dapat menggambarkan dengan sempurna kasih yang harus diwujudnyatakan di dalam jalannya pemerintahan. Paulus juga menyadari bahwa dunia adalah ciptaan yang rapuh dan Paulus juga menekankan kuasa Allah yang hadir di dalam proses yang terjadi di dunia (Ksemann 1980, 356).
            Paulus dalam Roma 13:2 dan juga dalam kaitannya dengan keseluruhan teks menunjukkan adanya kritik terhadap pemerintahan pada saat itu. Bahasa kritik Paulus di dalam teks ini ditunjukkan dengan cara yang halus. Akan tetapi kritik yang halus itu bukan berarti tidak dapat disadari. Kritik tersebut sangat terasa ditujukan kepada pemerintah kekaisaran Romawi yang berpusat di Roma (Elliot 2008, 154). Teks Roma 13:2 berdasarkan penjabaran ini dapat dibaca sebagai kritik tersirat terhadap pemerintahan yang tidak dapat menunjukkan diri sebagai perwujudan ketetapan Allah, berdasarkan konteks Roma pada masa Paulus.
            Roma 13:2 menjabarkan apa yang terjadi jika masyarakat termasuk umat Kristen tidak patuh pada pemerintahan. Akan tetapi pada kontesk surat Roma pemerintahan yang memimpin pada saat itu tidak dapat mengayomi masyarakatnya dengan baik. Paulus menekankan di dalam surat Roma kritik terhadap pemerintah. Paulus menekankan bahwa pemerintahan adalah pengaturan dalam tatanan kehidupan yang diharapkan dapat menggambarkan kasih Allah dan menyatakan keadilan di tengah wewenangnya untuk pemerintah.
            Yoder mengatakan bahwa di dalam pemerintahan atau negara adalah salah satu bagian dari politik yang menjadi fenomena yang sifatnya fundamental dalam interaksi sosial dengan otoritas yang tinggi. Hal tersebut menjadi representasi di tengah masyarakat terhadap pemerintah dan politik di dalamnya. Roma 13 secara keseluruhan menjadi landasan untuk menjalankan otoritas dan kehidupan oemerintahan di tengah interaksi sosial (Yoder 1946, 12).
            Yoder juga menjabarkan bahwa gereja dan kekristenan harus berperan di dalam kehidupan yang dipenuhi dengan dominasi berbagai kekuatan yang menekan di zaman yang diwarnai berbagai dinamika, termasuk dinamika yang destruktif. Gereja diharapkan tidak hanya memberi stimulus berupa nilai moral terhadap masyarakat dan pemerintah. Akan tetapi diharapkan gereja dapat memberikan kerja nyata di tengah masyarakat untuk menunjukkan kehadiran gereja di dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu gereja juga diharapkan mendukung pemerintah yang menunjukkan nilai-nilai kekristenan yang dapat menunjukkan kasih Allah di tengah dunia (Yoder 1946, 13). Hal tersebut diharapkan mampu mewujudkan visi Paulus terhadap pemerintahan berdasarkan surat Roma.
            Gereja diharapkan menyadari posisinya dalam politik. Gereja diharapkan menyadari bahwa politik adalah sebuah jalan kesucian yang didasari oleh keyakinan iman bahwa setiap jemaat dipanggil untuk mewujudkan keselamatan. Akan tetapi keselamatan yang dimaksud adalah keterlibatan mewujudkan keselamatan dan kasih Allah dalam dunia. Keselamtan yang coba dinyatakan adalah keselamatan yang merangkul seluruh dimensi kehidupan manusia dan menjangkau semua orang (Olla 2014, 69).
            Pemerintahan adalah sebuah pola pengaturan sosial yang di dalamnya terdapat aspek politik. Jika berdasarkan pada pernyataan tersebut, maka dapat ditarik pemahaman bahwa politik adalah jalan untuk mewujudkan keadalin. Pemahaman tersebut memiliki kesamaan dengan nilai-nilai Kristen yang dibawa oleh Paulus secara tersirat di dalam Roma 13:2. Paulus Yan Olla menjabarkan betapa pentingnya peran politik yang diterapkan dalam pemerintahan:

Keterlibatan dalam politik merupakan perwujudan kasih. Dengan demikian, orang Kristiani melihat medan politik yang otonomitu sebagai lahan untuk melayani manusia dan mencari bersama masyarakatnya kesejahteraan umum. Dengan tetap menghargai otonomi dunia, orang Kristiani yang terlibat politik berusaha mengarahkan dunia pada pembangunan “budaya kasih” (Olla 2014, 71).

            Politik yang menjadi bagian dalam pemerintahan adalah jalan kesucian. Di dalam pemerintahan diharapkan dalam menjalankan roda pemerintahan dapat menunjukkan kasih. Pemerintahan yang hadir di tengah masyarakat menjadi representasi kebaikan Allah. Meski pun otoritas yang dimiliki pemerintahan sering kali menjadi penghambat terwujudnya kasih Allah dalam pelaksanaan pemerintahan.
Penutup
            Roma 13:2 dapat dijadikan sebagai dasar etik Kristen dalam memahami kehadiran pemerintah. Keadilan sebagai perwujudan kasih Allah adalah gambaran pemerintahan yang berasal dari ketetapan Allah. Akan tetapi untuk menjadikan Roma 13:2 sebagai landasan etik Kristen terhadap pemerintahan, makan harus dilakukan interpretasi yang sangat memperhatikan konteks surat Roma. Pasalnya Roma 13:2 menjadi sindiran atau kritik yang disampaikan secara halus terhadap pemerintah yang berjalan kurang baik pada saat itu. Hal itu bertujuan agar nilai keadilan dan pelaksanaan tanggungjawab menjadi yang utama dalam nilai etis dari Roma 13:2.
Daftar Acuan
Elliott, Neil. 2008. The Arrogance of Nations: Reading Romans in the shadow of empire.
            Minneapollis: Fortress Press.
Hakh, Samuel Benyamin. 2010. Perjanjian Baru: Sejarah, pengantar dan pokok-pokok
teologisnya. Bandung: Bina Media Informasi.
Ksemann, Ernst. 1980. Commentary on Romans. London: SCM Press Ltd.
Olla, Paulinus Yan. 2014. Spiritualitas politik: Kesucian politik dalam perspektif kristiani.
            Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Rhys, Howard. 1961. The epistle to the Romans. New York: The Macmillan Company.
Yoder, John Howard. 1946. The Christian witness to the state. Kansas: Faith and Life Press.
Website

Bible.Org. The Christian and Civil Government. https://bible.org/seriespage/33-christian-and-civil-government-romans-131-7 (Diakses 8 Desember 2016).

Senin, 14 November 2016

Potensi Keterbukaan dan Penerimaan Terhadap Suku Berbeda di Gereja Suku: Analisis terhadap Peluang Perkembangan Pemahaman dan Penerimaan Suku Lain di HKBP pada Era Globalisasi

Potensi Keterbukaan dan Penerimaan Terhadap Suku Berbeda di Gereja Suku:

Analisis terhadap Peluang Perkembangan Pemahaman dan Penerimaan Suku Lain di HKBP pada Era Globalisasi

Pendahuluan
Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) adalah salah satu gereja yang berdiri di Indonesia. Sesuai dengan namanya, HKBP adalah gereja yang sangat erat hubungannya dengan suku Batak Toba. HKBP juga menjadi salah satu gereja suku yang ada di Indonesia. HKBP adalah gereja yang pada mulanya berdiri di daerah Sumatera Utara, yakni daerah Tapanuli dan sekitarnya. Akan tetapi seiring dengan berjalannya waktu HKBP telah berdiri di berbagai tempat. Salah satu faktornya adalah perpindahan yang dilakukan oleh orang-orang dari daerah Sumatera Utara ke daerah lainnya untuk melanjutkan kehidupan.
Saya adalah salah satu jemaat HKBP yang berasal dari daerah Kabupaten Simalungun, sebuah daerah yang banyak kelompok masyarakatnya terdiri dari suku Batak Toba, Simalungun, Karo dan lain-lain. Gereja tempat saya berjemaat di kampung halaman saya memberi perhatian yang cukup besar terhadap kehidupan adat istiadat. Dalam beberapa kesempatan saya melihat dan mengambil bagian dalam beberapa pelaksanaan peribadahan atau pun upacara adat batak yang telah bercampur dengan liturgi gereja. Pemakaian bahasa Batak, khususnya Batak Toba dalam peribadahan adalah hal yang wajib hukumnya di HKBP, termasuk gereja tempat saya berjemaat yaitu HKBP Perumnas Batu VI. Bahkan di gereja ini sering kali cepat tersebar berita miring jika ada pelayan gereja, baik pendeta, calon pendeta atau penatua yang dalam berbahasa Batak masih marpasirpasir atau belum fasih dalam berbahasa Batak.
Kehidupan saya sebagai bagian dari umat Kristen dan bagian dari bangso Batak atau bangsa Batak di saat bersamaan terbentuk selama saya berjemaat di dalam HKBP. Sejak saya menjadi jemaat HKBP saya diarahkan untuk menjadi orang Kristen dan menjadi halak Batak atau orang Batak di saat bersamaan. Berdasarkan pengalaman saya selama berjemaat saya memandang bahwa HKBP adalah gerejanya orang Batak khususnya Batak Toba.
Seiring berjalannya waktu pertanyaan pun muncul dalam diri saya. Apakah HKBP tidak bisa menjadi gereja yang majemuk, meski memiliki istilah Batak di dalam singkatan namanya? Pertanyaan itu semakin muncul ketika saya melihat bahwa di dalam kehidupan berjemaat di gereja tempat saya berjemaat, ada jemaat dari suku lain, seperti Batak Simalungun, Batak Karo, Batak Mandailing bahkan Nias. Akan tetapi mereka harus mengikuti adat Batak Toba yang diterapkan di dalam kehidupan bergereja. Jika ada orang lain yang hendak menjadi jemaat HKBP, namun berasal dari suku lain harus menjadi orang Batak untuk dapat dikatakan sebagai warga jemaat HKBP?
Faktor lain yang membuat saya mengangkat topik mengenai potensi kemajemukan di dalam HKBP adalah karena fenomena berdirinya HKBP di berbagai wilayah yang bukan daerah Batak. Pada satu sisi ada makna positif yang terlihat karena di dalam hal tersebut terlihat bahwa gereja telah menjadi sarana pemersatu bagi masyarakat Batak yang telah terpisah dan mencari kehidupan di sisi lain. Akan tetapi di sisi lain kesan yang muncul adalah HKBP adalah gereja yang ekslusif. Pemahaman tersebut didasari bahwa di berbagai daerah di luar daerah yang menjadi basis masyarakat Batak Toba telah banyak berdiri gereja, baik yang ekumenis atau pun gereja suku lainnya. Berdasarkan hal tersebut maka saya mencoba membahas mengenai potensi keterbukaan terhadap kemajemukan di dalam HKBP.

Deskripsi Situasi
            Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) adalah gereja yang berdiri sejak 7 Oktober 1861 di tanah Batak. HKBP berdiri atas peran atau buah dari pemberitaan Injil oleh misionaris Rheinische Missions Gessellschaft (RMG). Seiring dengan berjalannya waktu, HKP telah berkembang ke berbagai penjuru di tanah Batak, Indonesia bahkan dunia. HKBP dalam pelayanannya berupaya untuk mempersembahkan diri sebagai alat Allah untuk melaksanakan misi Allah yang berdasarkan pada iman, kasih dan pengharapan (HKBP 2015, 7).
            HKBP di dalam Aturan dohot Peraturan atau Tata Dasar dan Tata Laksana HKBP Bab II Pasal 2  juga menjabarkan pemahaman mengenai prinsip persekutuan yang dipegang oleh HKBP:
Huria Kristen Batak Protestan I ma pardomuan ni halak Kristen sian sude marga dohot houm ni bangso Indonesia, dohot nasa bangso di sandok portibi on na tardidi tu bagasan goar ni Debata Ama, Anak dohot Tondi Parbadia. Sada hapataran ni pamatang ni Kristus do HKBP, na manghamham na porsea na marpanindangion di sandok portibi on.
Huria Kristen Batak Protestan adalah persekutuan orang Kristen dari segala suku dan golongan bangsa Indoensia dan segala bangsa di seluruh dunia yang dibaptis ke dalam nama Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus. HKBP adalah satu wujud nyata tubuh Kristus yang mencakup segenap orang percaya dan bersaksi di seluruh dunia (HKBP 2015, 13).
            Apakah HKBP adalah gereja yang jemaatnya harus berasal dari suku yang sama? Gambaran mengenai jawaban dari pertanyaan tersebut dapat dilihat dalam Tata Dasar dan Tata Laksana HKBP tentang warga HKBP. Warga HKBP berdasarkan Tata Dasar dan Tata Laksana HKBP adalah yang sudah dibaptis dalam nama Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus. Selain itu warga HKBP harus menghayati firman Allah dan mengikuti berbagai kegiatan yang berhubungan dengan pembangunan iman jemaat (HKBP 2015, 23-24).
            Tata Dasar dan Tata Laksana HKBP menunjukkan adanya pemahaman yang dapat mendukung HKBP untuk menjadi gereja yang majemuk. Peribadahan yang diatur di dalam Tata Dasar dan Tata Laksana Bab V pasal 2 juga menunjukkan ada poin penting mengenai penghargaan dalam perbedaan atau kemajemukan.
Sipatupaon do parmingguan I di hata Batak, hata Indonesia manang di angka hata na asing na niantusan jala hinangoluhon ni ruas ni huria.
Ibadah dilayankan dalam Bahasa Batak atau Bahasa Indonesia atau bahasa-bahasa lain yang dipahami dan dihayati oleh warga Jemaat (HKBP 2015, 15).
            Jika didasari oleh pemahaman tersebut, dapat dikatakan bahwa ada kesadaran untuk mengakomodir berbagai tradisi dan budaya yang ada di sekitar HKBP. Artinya bahwa ada potensi untuk mengambil nilai-nilai kebaikan lainnya yang ada di luar nilai-nilai kehidupan Batak yang ada di sekitar HKBP. Hal tersebut dapat menjadi gambaran yang cukup memberikan pemahaman bahwa sebenarnya HKBP membuka diri untuk nilai-nilai kebaikan lainnya, yang diharapkan dapat diperlihatkan melalui peribadahan yang dilaksanakan oleh HKBP.           
            Salah satu konteks yang harus dihadapi oleh HKBP saat ini adalah kehidupan di dalam masyarakat yang majemuk. Artinya HKBP yang berdiri dan unsur Batak yang melekat dalam dirinya harus menghadapi dan menghidupi kemajemukan. Akan tetapi sering kali muncul anggapan dari berbagai sumber dan berbagai pihak bahwa HKBP adalah gerejanya orang Batak. HKBP dianggap menjadi sebuah gereja tempat berkumpulnya orang-orang batak dari berbagai penjuru. Kultur batak sangat melekat dalam HKBP, hal tersebut menurut saya menimbulkan kesan adanya eksklusivitas yang terkesan memperlihatkan bahwa HKBP adalah gereja yang hanya boleh diisi oleh orang Batak, yang di satu sisi juga seakan mengingkari sikap keterbukaan dalam Kristus seperti yang tercantum dalam Tata Dasar dan Tata Laksana HKBP. Hal tersebut semakin terasa di era globalisasi yang ditandai dengan berkembangnya berbagai pemikiran dan mobilisasi dari manusia yang semakin terasa.
Analisis Situasi
Konstruksi Sosial Batak Toba
Batak Toba adalah suku yang memiliki norma atau nilai kehidupan di dalam masyarkatnya. Nilai-nilai yang ada dalam masyarakat menjadi pegangan bagi masyarakat Batak Toba dalam menjalankan kehidupan. Berbagai nilai-nilai yang muncul di tengah masyarakat Batak Toba bukanlah kumpulan nilai yang terbentuk dalam sekejap mata. Nilai-nilai tersebut berasal dari tradisi dan falsafah kehidupan yang dihayati oleh masyarakat Batak Toba dalam rentang waktu yang lama.
Suku Batak Toba jika ditelisik asal-usulnya masih sulit untuk menemukan jawaban pastinya. Ada pendapat yang mengatkan bahwa Batak Toba berasal dari salah satu daerah di Myanmar yang bernama Bataha, yang kemudian beralih menjadi Batak. Ada juga pendapat yang menyatakan bahwa Batak berasal dari suku bangsa turunan yang ada di daerah Ilocos Utara di Filipina. Masih ada beberapa lagi penjelasan mengenai asal-usul dari leluhur suku Batak Toba (Sangti 1977, 26-7).
Sistem garis keturunan yang dianut dalam sistem sosial Batak Toba adalah patrilineal, yang ditandai dengan ikatan marga yang berasal dari ayah. Adanya marga di dalam sistem kekerabatan di dalam masyarakat Batak Toba membentuk koneksi antara masyarakat Batak Toba secara personal berdasrkan marga. Ikatan tersebut terbentuk berdasarkan ikatan marga yang terbentuk dalam sistem marga patrilineal, yang menjadi penanda seseorang sebagai bagian dari keturunan Batak Toba (Vergouwen 1964, 2).
J. C. Vergouwen dalam bukunya The Social Organisation and Customary Law of Toba-Batak of Northern Sumatera menjelaskan bahwa ikatan marga tersebut bukanlah sebuah hal yang muncul belum terlalu lama. Ikatan marga di dalam suku Batak Toba sudah terbentuk dari masa lampau. Konsturksi sosial tersebut terbentuk dan bermula dari pemahaman masyarakat Batak Toba pada masa lampau tentang kepercayaan pada Debata Mulajadi Na Bolon, yang kemudian berlanjut pada kemunculan berbagai marga yang membentuk kumpulan-kumpulan marga atau punguan yang terbentuk dengan berbagai latar belakang dan tersebar di berbagai penjuru tanah Batak (Vergouwen 1964, 21-30).
Kebudayaan dalam bahasa Batak Toba-tua adalah Ugari. Jika melihat dari definisi antropologi maka kebudayaan dapat diartikan sebagai keseluruhan dari hasil kelakuan manusia yang diatur oleh tatanan yang ada, yang didapatkan dari hasil belajar yang keseluruhannya tersusun dalam cara hidup masyarakat (Sangti 1977, 30). Jika berdasar pada pernyataan tersebut maka kehidupan masyarakat Batak Toba pada saat ini, termasuk masyrakat Batak Toba yang menjadi jemaat HKBP terbentuk dari berbagai tradisi dan tatanan hidup yang ada di masyarakat sejak masa lampau.
Jika diperhatikan lebih lanjut kebudayaan di Indonesia, termasuk kebudayaan Batak Toba di dalamnya memiliki beberapa nilai-nilai yang sama dalam pelaksanaannya. Nilai nilai yang sama tersebut antara lain kaidah kesusilaan perseorangan, kemasyarakatan, hukum, agama dan kesenian. Berbagai elemen dalam kebudayaan tersebut berpadu menjadi satu di dalam kehidupan masyarakat. Contohnya adalah falsafah hidup masyarakat Batak Toba yang dikenal dengan nama Dalihan Na Tolu (Sangti 1977, 30).
Dalihan Na Tolu secara harfiah diartikan sebagai sebuah tungku yang berdiri atau ditopang oleh tiga buah batu. Batu-batu yang dipakai untuk menopang tungku tersebut harus memiliki ukuran yang sama. Selain itu batu-batu yang dipakai dalam pemahaman ini harus diletakkan dengan jarak yang sama dan dengan tinggi masing-masing batu harus sama. Hal tersebut bertujuan agar isi yang ada di dalam tungku tidak tumpah (GoBatak website 2016).
Ada tiga elemen penting yang terdapat dalam Dalihan Na Tolu. Ketiga elemen tersebut adalah somba marhula-hula, manat mardongan tubu, elek marboru. Somba marhula-hula adalah rasa hormat kepada pihak keluarga laki-laki dari pihak istri atau ibu. Manat mardongan tubu berarti penghormatan kepada orang-orang yang semarga atau berada dalam satu rumpun marga sebagai tanda persaudaraan. Sedangkan elek marboru  dapat diartikan sebagai penghormatan kepada kelompok saudara-saudara perempuan yang ada dalam sistem kekerabatan (GoBatak website 2016).
Jika melihat dari penjelasan singkat mengenai konstruksi sosial suku Batak Toba yang dijelaskan, terlihat bahwa ikatan darah atau hubungan genealogis di dalam konstruksi sosial Batak Toba sangat kental. Hubungan garis keturunan sangat diperhatikan di dalam masyarakat Batak Toba. Berdasarkan penjabaran tersebut saya melihat bahwa sebagian masyarakat Batak Toba masih memegang teguh sistem konstruksi sosial ini. Falsafah Dalihan Na Tolu masih menjadi salah satu bagian penting di dalam kehidupan bermasyarakat, termasuk di dalam gereja. Salah satu contoh fenomena yang saya lihat selama saya berjemaat di HKBP adalah ikatan marga atau kekeluargaan masih menjadi salah satu faktor penentu siapa yang menjadi parhalado atau majelis jemaat. Jika berdasarkan dari penjabaran yang telah dipaparkan, apakah ada potensi atau peluang bagi HKBP untuk menjadi gereja yang terbuka terhadap kehadiran suku lain, di tengah sebagian jemaatnya yang masih memegang teguh konstruksi sosial budaya dan hubungan kekerabatan yang sangat erat?
Rekonstruksi Pemahaman Sosial Batak Toba
Batak Toba memiliki tatanan kehidupan yang diatur di dalam adat istiadat. Adat yang terbentuk di dalam masyarakat Batak Toba bertujuan untuk penyelarasan di dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat Batak Toba. Penyelerasan yang dibentuk di dalam adat istiadat bertujuan untuk kesejahteraan, meski masih terbatas di dalam lingkup masyarakat Batak Toba. Implikasi lain dari kehidupan yang hendak diselaraskan di dalam adat istiadat adalah pemeliharaan adat istiadat di dalam kehidupan (Pedersen 1975, 34).
Kehidupan bergereja yang saya rasakan juga terdapat aspek yang kental mengenai kehidupan sebagai jemaat yang beradat. HKBP sebagai gereja yang membawa Batak di dalam namanya menunjukkan berbagai upaya untuk mempertahankan dan mewariskan adat istiadat melalui kehidupan bergereja. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Pedersen yang menyatakan bahwa dalam kehidupan masyarakat Batak Toba bahwa adat istiadat yang dipegang tidak akan berubah dan akan berusaha untuk dipertahankan, meski terkadang mengesampingkan kemajuan dalam masyarakat. Adat telah menjadi identitas yang melekat dan dipandang sebagai satu kesatuan dengan masyarakat Batak Toba (Pedersen 1975, 35). Pertanyaan yang kembali muncul dari pernyataan tersebut adalah bagaimana HKBP dan masyarakat Batak Toba di dalamnya dapat menjadi gereja yang bertumbuh dan mampu hidup di dalam kemajemukan?
Pendekatan pertama yang coba saya berikan adalah pendekatan historis. Sebelum kekristenan menjadi ajaran yang dianut oleh masyarakat Batak Toba, masyarakat Batak Toba pada masa pekabaran Injil ternyata mampu menunjukkan keterbukaan terhadap kehadiran dari pekabar Injil di tengah kehidupan mereka, meski pada saat itu sentimen negatif terhadap orang asing sangat kuat di tengah masa penjajahan. Misalnya para misionaris yang datang pada awal 1800-an yang menyatakan bahwa masyarakat Batak lebih memiliki rasa ingin tahu terhadap kehadiran mereka disbanding untuk bermusuhan. Bahkan Burton dan Ward, dua orang misionaris pada saat itu suah dianggap sebagai penduduk asli oleh masyarkat setempat. Akan tetapi pada masa awal penginjilan, ajaran yang dibawa oleh para misionaris akan membuat merka meninggalkan kehidupan adat mereka (Pedersen 1975, 46).
Kematian Lyman dan Munson ketika memberitakan Injil di tanah Batak juga menjadi salah satu gambaran prasangka terhadap kedua orang tersebut sebagai orang asing. Lyman dan Munson dianggap sebagai mata-mata yang dikirim Belanda pada saat itu ke tanah Batak, yang mencoba menghancurkan masyarakat Batak pada saat itu. Masih banyak anggapan-anggapan lainnya yang menimbulkan kebencian terhadap kehadiran orang asing di dalam kehidupan masyarkat, padahal tidak semua orang asing yang datang pada saat itu bertujuan untuk berperang (Pedersen 1975, 49).
Pemahaman mengenai kehadiran orang asing dan budaya yang berbeda nampaknya masih ada di dalam pemahaman sebagian masyarakat Batak Toba, termasuk di dalam jemaat HKBP. Ketakutan akan kebudayaan yang dapat tergerus dengan kehadiran budaya asing dan orang asing telah mempengaruhi masyarakat Batak. Padahal di dalam kehidupan adat masyarakat Batak Toba secara khusus telah terdapat adaptasi dalam pemahaman adatnya. Contohnya adalah pemahaman tentang Dalihan Na Tolu. Misalnya penghormatan pada orang yang semarga atau dalam satu rumpun marga tidak terbatas lagi dalam keluarga. Selain itu masuknya kekristenan membuat Allah menjadi pusat dari pemahaman Dalihan Na Tolu (Rumametmet website 2016).
Representasi atau pemahaman subjektif terhadap manusia tidak dapat dijadikan sebagai pegangan mutlak dalam menilai orang lain dan kebudayaan yang dibawa oleh orang tersebut. Ricoeur menjabarkan bahwa representasi tidak selamanya menjadi fakta utama dalam menyikapi nilai-nilai kehidupan sebagai bagian dari refleksi filosofis. Representasi menjadi sesuatu yang harus dipahami untuk melihat fenomena yang ada atau dibawa di dalam representasi yang ditunjukkan oleh manusia (Ricoeur 2000, 212).



Titik berangkat untuk memahami kehidupan yang diatur dalam sistem sosial yang dijalankan manusia adalah wilayah lokal. Hal tersebut bertujuan untuk menyelesaikan berbagai persoalan berdasarkan landasan ilmu kemanusiaan, yang pada akhirnya akan berujung dengan pemahaman akan nilai-nilai kemanusiaan yang universal. Selain itu hal penting yang perlu diingat dalam pencarian nilai-nilai universal dalam keberagaman manusia adalah mengesampingkan prasangka agar berpikir dalam bingkai pemikiran yang berani mengetahui dan pada akhirnya mencapai kedewasaan berpikir (Ricoeur 1981, 88-90).
Pencarian akan pemahaman bersama dalam nilai-nilai kemanusiaan yang beragam menjadi hal yang penting dalam menyikapi kemajemukan. Ricoeur dalam pemahamannya menunjukkan bahwa kehidupan yang baik itu adalah sebuah gambaran yang harus diwujudkan manusia, namun dengan dasar kolektivitas yang dapat diterapkan di dalam kehidupan, sebagai bentuk pemahaman akan universalitas dari nilai moral (Pirovolakis 2010, 115). Pemahaman Ricoeur yang telah dijabarkan dapat menjadi gambaran untuk menjalankan kehidupan berdasarkan falsafah Batak Toba dalam kehidupan bergereja dan masyarakat majemuk. Adat harus terus mencari makna bersama dengan berbagai pemikiran yang sama atau yang berbeda untuk menemukan nilai-nilai moral universal dalam kehidupan, termasuk dalam interaksi dan kehidupan bergereja. Adat yang ada memang hadir untuk mengupayakan kesejahteraan dan kebaikan komunitas, namun konteks pada masa kini yang di antaranya adalah kehidupan yang majemuk tidak dapat dipinggirkan dalam kehidupan masyarakat Batak Toba dan dalam tubuh HKBP.
HKBP dan Kemajemukan di Era Globalisasi
Kemajemukan atau yang biasa disebut juga sebagai pluralisme adalah suatu paham yang mengakui keberagaman sebagai realitas, yang membuatnya harus diterima sebagai fakta sosial yang tidak mungkin dihindari (Sitompul 2014, 25). Berdasarkan pada pandangan tersebut dapat dikatakan bahwa gereja yang ada sekarang harus menghadapi konteks tersebut sebagai sebuah realita yang tidak dapat dihindari dan gereja tidak dapat menutup mata atas keadaan tersebut.
Gereja adalah lembaga sosial yang berdampingan dengan masyarakat atau konteks di sekitarnya, termasuk jemaat di dalam gereja itu sendiri. Masyarakat Batak Toba yang telah banyak merantau membawa berbagai nilai yang didapat dari daerah asal masing-masing, yang sebagian juga dibawa ke dalam kehidupan bergereja dalam hal ini HKBP. Bahkan sudah sejak lama masyarakat Batak Toba menunjukkan tradisi untuk merantau ke luar daerah masing-masing (Sitompul 2014, 23-4).
Pluralisme yang dihadapi oleh HKBP adalah sebuah realita sosial yang harus dihadapi. Nilai-nilai yang dibawa ke daerah yang memiliki konteks majemuk. Bahkan keadaan seperti itu terkadang menimbulkan fundementalisme dalam menyikapi dan membawa tradisi yang ada di tengah masyarkat yang majemuk (Sitompul 2014, 25). Hal tersebut terkadang bahkan berujung pada identitas di dalam gereja yang dipengaruhi oleh fundamentalisme dalam menyikapi tradisi dan adat istiadat. Misalnya HKBP yang terlihat sangat kental tradisi dan filosofi kehidupan Batak Toba, yang seakan tidak dapat membuka ruang untuk suku lainnya.
Pertanyaan mendasar yang diajukan oleh Bungaran Simanjuntak soal bagaimana budaya Batak mewarnai kehidupan yang majemuk dapat dipertanyakan kepada kehadiran HKBP sebagai gereja. Dapatkah HKBP yang diisi oleh sebagian besar masyarakat Batak Toba mewarnai kemajemukan dengan penerimaan suku lain di dalam kehidupan bergereja? (Simajuntak 2011, 135). HKBP harus mampu menyikapi kemajemukan yang dihadapi sembari menunjukkan identitasnya sebagai gereja yang mewujudkan kehadiran Allah di tengah-tengah dunia.
Prasangka sering muncul dalam menjalani relasi di tengah kemajemukan, baik terhadap orang Batak Toba atau kepada halak sileban atau orang di luar masyarakat Batak Toba. Halak sileban sering kali mengidentikkan Batak secara keseluruhan sebagai orang yang kasar, bicara keras dan lain sebagainya. Jika melihat hal tersebut maka perlu diadakan komunikasi atau pembicaraan yang didasari dengan prinsip saling memahami. Hal tersebut menjadi penting karena pada dasarnya pluralisme kebudayaan harus terus dibicarakan sebagai bagian dari proses interaksi manusia (Simanjuntak 2011, 136).
Komunikasi adalah sebuah proses proses interaksi dan pertumbuhan pemikiran manusia terhadap nilai-nilai luhur dan moral. Komunikasi diperlukan untuk mendapatkan informasi tentang berbagai nilai-nilai dalam kehidupan, termasuk di dalam kemajemukan. Berbagai hal dalam kemajemukan yang senantiasa dikomunikasikan dapat membuat masyarakat yang berada di dalam kemajemukan akan menyadari kehadirannya dalam perbedaan dan akan berimplikasi pada upaya untuk menyesuaikan diri dalam kemajemukan (Sitompul 2014, 52-3).
HKBP adalah salah satu gereja yang pada mulanya berdiri di tanah Batak sangat identik dengan suku Batak. Pada abad ke-19 gereja-gereja kesukuan lainnya mulai berdiri di Indonesia. Fenomena yang terlihat adalah masyarakat yang berpindah ke daerah lain yang lebih majemuk mendirikan gereja seperti gereja suku tempat asal mereka untuk mendekatkan diri dengan ikatan persaudaraan berdasarkan adat isitadat yang ada di daerah asal. Gereja yang berbasis kesukuan selain menjadi tempat persekutuan orang-orang yang percaya pada Allah Tritunggal menjadi sarana pemersatu yang memperkuat persaudaraan (Sitompul 2014, 59-61).
Mobilitas masyarakat Batak Toba yang berjumpa dengan kemajemukan membuat masyarakat Batak Toba dan kehidupan bergereja di dalam HKBP harus mampu meyesuaikan diri dengan konteks kemajemukan. Masyarakat dan gereja sebagai bagian dari kehidupan sosial masyarakat harus mampu menempatkan diri dengan baik. Tujuan dari hal tersebut adalah untuk menjaga keharmonisan dalam kehidupan bersama (Sitompul 2014, 84).
Kehadiran gereja yang berbasis kesukuan juga merupakan sebuah fakta sosial yang tidak dapat dihindari. Kehadiran gereja suku mengambil nilai-nilai di dalam kehidupan untuk menjaga keharmonisan di dalam tradisi dan kehidupan beriman selaku umat Kristen. Akan tetapi nilai-nilai kesukuan tidak dijadikan sebagai sebuah keutamaan dalam kehidupan bergereja. Meski pun begitu fakta negatif yang sering kali terlihat adalah adanya sikap superioritas terhadap suku lain atau ekslusivitas yang terbentuk di dalam gereja suku seperti HKBP (Sitompul 2014, 211-2).
Gereja diharapkan menjadi persekutuan yang dapat menghargai kebudayaan dan adat istiadat berbagai suku yang ada. Hal tersebut harus dilandasi dengan pemahaman untuk saling mengasihi sebagai manusia yang seutuhnya. Kesukuan menjadi nilai-nilai kehidupan bagi jemaat. Selain itu budaya juga diharapkan dapat menjadi landasan bagi gereja untuk melihat sikap yang harus dikritisi dalam kehidupan yang dibentuk oleh suku di dalam kemajemukan (Sitompul 2014, 214-6). Gereja diharapkan menunjukkan pemahamannya akan nilai-nilai yang dapat saling melengkapi dalam kemajemukan suku bangsa yang ada, untuk menemukan dan memperlihatkan nilai-nilai kebaikan secara universal dan secara komunal.
Relasi yang dibangun berdasarkan kecurigaan terhadap suku lain harus diminimalisir. Dampak dari kecurigaan yang berlebih terhadap kehadiran suku lain dapat membuat elemen masyarakat, termasuk gereja membentengi diri berdasarkan kesamaan identitas dalam komunalisme, memisahkan diri dari komunitas dengan identitas yang berbeda. Hal tersebut bisa saja semakin parah dengan semangat sektarianisme kesukuan (Sitorus 2011, 294). Semangat komunal ini juga masih sering terlihat di dalam masyarakat Batak Toba, termasuk jemaat HKBP di dalamnya. Gereja yang ikut “berpindah” jika jemaat merantau ke daerah lain menunjukkan adanya semangat komunalisme. Di satu sisi memiliki dampak baik untuk memperkuat tali persaudaraan. Akan tetapi di satu sisi akan memperkuat citra atau representasi gereja yang ekslusif. Hal tersebut juga saya lihat terjadi di HKBP berdasarkan fenomena tersebut.
Perbedaan yang ada di dalam kehidupan manusia disebabkan oleh berbagai faktor yang ada di dalam kehidupan sehari-hari. Stereotype membuat masyarakat, baik di dalam atau di luar komunitas memberikan praduga kepada orang lain. Praduga menjadi hal yang berbahaya dalam upaya membangun masyarakat dan gereja yang memahami dan mempraktikkan nilai-nilai kemajemukan di dalam nilai universal. Stereotype dapat menjadi alat propaganda orang-orang yang tidak bertanggungjawab demi keuntungan pribadi. Selain itu stereotype membuat pemahaman kita akan perbedaan yang ada di dalam kehidupan manusia akan semakin sempit (Simanjuntak 2011, 285). Hal tersebut dapat menjadi batu sandungan bagi HKBP jika ingin menunjukkan identitas sebagai gereja yang dapat berkarya di dalam kemajemukan.
Kesimpulan dan Refleksi
HKBP memiliki potensi yang besar untuk menjadi gereja yang terbuka dengan kehadiran suku lain di dalamnya. HKBP di dalam Tata Dasar dan Tata Laksananya tidak memberi gambaran bahwa hanya suku Batak Toba saja yang dapat menjadi jemaat HKBP. Akan tetapi kehidupan masyarakat yang terkadang masih dipengaruhi ikatan garis keturunan, adat isiadat dan kesamaan identitas menjadi representasi yang tidak dapat dikatakan menjadi gambaran keseluruhan bahwa HKBP adalah gereja yang tertutup. Adat yang dipegang teguh dan menjadi bagian dari HKBP adalah sebuah norma kehidupan yang sebenarnya fleksibel dan masyarakat di dalamnya harus mampu menyesuaikan dengan keadaan yang dihadapi masa kini. Hal tersebut demi kehidupan bergereja yang dibangun untuk menunjukkan kasih Allah di tengah dunia.
      Ketertutupan yang terlihat di dalam HKBP dapat menjadi masalah dalam masyarkat majemuk sebagai konteks masyarakat Indonesia. Hal tersebut dapat terjadi karena di dalam masyarakat majemuk, keberagaman telah menjadi realitas sehari-hari yang harus dihadapi oleh masyarakat. Jika dipandang secara positif, bukanlah ketertutupan yang dimaksud melainkan keterikatan yang kuat dalam identitas. Akan tetapi keterikatan tersebut dapat menjadi pemicu jemaat di dalam HKBP untuk membawa dan membangun kembali keterikatan yang dirasakan di kampung halaman. Jika hal tersebut tidak dapat dikomunikasikan dalam tubuh gereja dan masyarakat, maka identitas yang berinteraksi di dalam kemajemukan akan sulit diimplementasikan.
      Kesukuan menjadi hal yang sangat mengikat di dalam HKBP. Identitas kesukuan menjadi salah satu hal yang mengikat bagi jemaat HKBP selain dari iman yang sama di dalam Allah Trinitas. Hal tersebut menjadi faktor yang membuat HKBP sangat identik dengan kesukuan. Hal tersebut sebenarnya tidak menjadi masalah, karena nilai-nilai kesukuan yang ada di dalam tradisi dan budaya Batak Toba dapat saling melengkapi dengan nilai-nilai kekristenan yang dibawa oleh HKBP. Identitas kesukuan di dalam gereja seperti HKBP tidak menjadi masalah selama identitas kesukuan tidak menjadi legitimasi untuk memandang rendah suku lain dan menutup diri dengan perkembagan zaman yang terjadi di dalam masyarakat majemuk. Kiranya HKBP tetap menilik kekristenan, budaya dan kemajemukan menjadi hal yang terus dikomunikasikan dengan seksama tanpa menjadikan representasi dari budaya Batak Toba dan suku lainnya sebagai dasar pijakan dalam memahami kemajemukan.
           
Daftar Acuan
HKBP. 2015. Aturan dohot peraturan HKBP 2002 dung amandemen paduahon. Tarutung:
            Kantor Pusat HKBP.
Pedersen, Paul Bodholdt. 1975. Darah Batak dan jiwa Protestan: Perkembangan Gereja-gereja
            Batak di Sumatera Utara. Terjemahan Maria Th. Sijabat dan W.B. Sijabat. Jakarta:
            BPK Gunung Mulia.
­­­­Priovolakis, Eftichis. 2010. Reading Derrida & Ricoeur: Imporable encounters between
Deconstruction and hermeneutics. New York: State University of New York Press.
Ricoeur, Paul. 1981. Hermeneutika ilmu-ilmu sosial. Terjemahan Muhammad Syukri. Bantul:
            Kreasi Wacana.
___________. 2000. The conflict of interpretations: Essay in Hermeneutics. London: The
Athlone Press.
Sangti, Batara, 1977. Sejarah Batak: Balige: Karl Sianipar Company
Simanjuntak, Bungaran Antonius. 2011. Dalam Peranan orang Batak di tengah masyarakat
majemuk. Dalam Pemikiran tentang Batak: Setelah 150 Tahun Agama Kristen di
Sumatera Utara. Editor Bungaran Antonius Simanjuntak. 133-141. Jakarta: Obor.
Sitompul, Einar M. 2014. Perjalanan sarat muatan: Buku 1 – 65 tahun Pdt. Dr. Einar M.
Sitompul. Jakarta: UPI STT Jakarta.
Sitorus, Eliakim. 2011. Dalam Pendidikan kemajemukan bagi warga gereja. Dalam Pemikiran
tentang Batak: Setelah 150 Tahun Agama Kristen di Sumatera Utara. Editor Bungaran Antonius Simanjuntak. 293-300.
Vergouwen, J.C. 1964. The social organisation and customary law of Toba-Batak of Northern
            Sumatera. Leiden: The Netherland Institute for International Culture Relations.
Website
GoBatak. Filsafah Orang Batak Toba dalam Dalihan Na Tolu http://www.gobatak.com/filsafah-   orang-batak-toba-dalam-dalihan-natolu/ (Diakses 29 Oktober 2016).
Rumametmet. Dalihan Na Tolu. http://rumametmet.com/2007/11/14/dalihan-na-tolu-2/ (Diakses
26 Oktober 2016).