Pendahuluan
Pendeta adalah bagian penting yang
tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan bergereja. Pendeta menjadi pilar penting
dalam kehidupan bergereja dan pembangunan iman jemaat. Berdasarkan pemahaman
tersebut dan berbagai pendapat yang muncul, pendeta diharapkan dapat menjadi role model kehidupan beriman dalam
pemahaman kekristenan. Selain itu pendeta juga diharapkan memiliki berbagai
sikap yang dapat menjadi pedoman bagi jemaat untuk mendekatkan diri dengan
Tuhan. Bahkan pemahaman yang beberapa kali saya dengar tentang konsep seorang
pendeta adalah sebagai “wakil Tuhan”. Pendeta dianggap sebagai orang yang
hidupnya suci dan tidak bercela. Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana
seorang pendeta harus memposisikan dirinya sebagai pemimpin dan seorang pelayan
Tuhan di saat bersamaan?
Pandangan lain yang muncul dalam
sosok pendeta adalah sebagai Hamba Tuhan. Hal ini berujung pada tanggungjawab
bahkan tuntutan bahwa pendeta harus melayani jemaatnya. Akan tetapi pemahaman
ini bergeser pada pandangan lainnya bahwa pendeta adalah orang yang harus
menuruti keinginan jemaat. Meski pun begitu pendeta haruslah tetap mendahulukan
suara Tuhan (Bait Online website 2016). Memang sudah sewajarnya pendeta
mendengarkan aspirasi jemaat untuk pembangunan dan penatalayanan yang lebih
baik. Akan tetapi pertanyaannya adalah sampai di mana pendeta harus mendengar
kata jemaat harus di dengar? Hal tersebut
dapat berpotensi menimbulkan ketidakjelasan bagi pendeta, mengingat topangan
materi dari jemaat memiliki potensi untuk mempengaruhi kinerja seorang pendeta.
Pendeta juga dianggap sebagai sebuah
pelayanan yang berasal dari hati yang terpanggil. Hal tersebut juga menjadi
berbagai pemahaman yang sering disampaikan dalam pelayanan gereja, baik dalam
khotbah, katekisasi dan lain-lain. Pendeta juga dianggap adalah pekerjaan yang
berhubungan dengan urusan surgawi. Akan tetapi pada satu sisi pendeta juga
sering kali dipisahkan dengan profesi, karena anggapan bahwa profesi adalah
pekerjaan duniawi (Sabda Space website 2016).
Kesucian yang dianggap telah menjadi
bagian dari diri pendeta bahkan memperlihatkan bahwa sisi kemanusiaan pendeta
juga semakin terkikis. Pendeta bahkan dianggap sebagai manusia sempurna.
Guncangan akan terjadi baik di dalam gereja atau pun di berbagai aspek lainnya
jika pendeta kedapatan melakukan kesalahan. Seperti kasus pelecehan yang
terjadi di Sekolah Bibelvrow HKBP, yang dilakukan oleh dosen di sekolah yang
notabene seorang pendeta terhadap 19 mahasiswi di sekolah tersebut beberapa
tahun lalu (Ekspos News website 2016). Fenomena tersebut menunjukkan bahwa
hasrat ada di dalam setiap diri manusia, bahkan di dalam diri pendeta sekalipun
terlepas hasrat tersebut dapat dikendalikan atau tidak.
Tulisan ini akan mencoba membahas mengenai dinamika
kependetaan. Tulisan ini akan mencoba menjabarkan mengenai pandangan tentang
pendeta yang ideal. Akan tetapi di dalam tulisan ini juga saya mengupayakan
penjabaran mengenai realita dalam kehidupan kependetaan. Hal penting dalam
tulisan ini yang coba diangkat adalah bagaimana hubungan antara pemahaman
tentang pendeta yang ideal dan kenyataan. Perspektif yang digunakan adalah
penjabaran dari sisi hawa nafsu atau hasrat (desire). Bagaimana hasrat membawa pengaruh dalam kehidupan
kependetaan. Tulisan ini juga mencoba menawarkan mengenai model bimbingan
rohani untuk pendeta dengan tujuan agar pendeta dapat memahami tugas dan
panggilannya sebagai pendeta dan menegaskan sisi kemanusiaannya agar dapat
bersinergi dengan hasrat dan spiritualitasnya sebagai seorang pendeta
berdasarkan nilai-nilai kekristenan.
Pendeta di antara Harapan dan
Kenyataan
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
menjabarkan pendeta sebagai orang yang pandai, pertapa, pemuka agama atau
pemimpin jemaat, rohaniwan dan guru agama. KBBI juga menjabarkan kependetaan
adalah berbagai hal yang berhubungan dengan pendeta (KBBI Online website 2016).
Pendeta atau dalam bahasa Inggris disebut priest
berasal dari kata Yunani ιερεύς yang juga dipengaruhi tradisi Perjanjian
Lama. Pendeta yang dimaksud adalah orang yang telah merespon panggilan Tuhan di
dalam dirinya (Torrance 1993, 1).
Sosok pendeta diharapkan menjadi
sosok yang mampu memimpin jemaatnya. Pendeta diharapkan menjadi teladan dalam
kehidupan juga melalui kepemimpinan yang ditunjukkannya. Spiritualitas seperti
apa yang diharapkan dalam diri seorang pendeta? Hal tersebut menjadi penting
karena seorang pendeta yang menjadi pemimpin umat harus menunjukkan pemahaman
dan praktik spiritualitasnya kepada jemaat agar firman yang disampaikan dan
diajarkan pendeta menjadi hidup.
Yesus dalam pelayanannya menjadi role model dalam pelayanan dan pekerjaan sebagai pendeta.
Yesus adalah seorang yang revolusioner dalam hidupnya. Akan tetapi revolusioner
yang dimaksud bukan sebagai gerakan gerilya yang berasal dari hasrat untuk
berperang. Sisi revolusioner dalam diri Yesus muncul dalam pengajaran-Nya. Hal
tersebut sangat terlihat jelas ketika Yesus memposisikan diri-Nya sebagai
pelayan. Pemahaman tersebut menggeser paradigma imam yang selalu ditinggikan
dalam berbagai hal pada masa itu (Sanders 1994, 21).
Yeremia 45: 5 bahkan menunjukkan
bahwa sebagai pemimpin harus memiliki ambisi. Keberdosaan tidak dapat
dilekatnya begitu saja terhadap ambisi. Kehadiran Ambisi membuat seseorang
memiliki keinginan untuk mengupayakan berbagai hal yang baik. Ambisi juga yang
menjadi pendorong untuk menerapkan pemikiran Yesus yang menunjukkan bahwa
pemimpin harus menjadi figur yang melayani. Akan tetapi ambisi dapat menjadi
faktor yang dapat menganggu berbagai hal dalam diri manusia, termasuk
kepemimpinan yang ada dalam diri manusia. Ambisi akan menjadi tidak baik ketika
dijadikan sebagai dasar kehidupan manusia yang dibungkus sikap egois (Sanders
1994, 14-5).
Pemimpin yang melayani diharapkan
memiliki berbagai sifat yang menggambarkan dan menunjukkan berbagai hal yang
berhubungan dengan sikap melayani. Oswald Sanders memberi gambaran mengenai
pemimpin yang melayani berdasarkan teladan yang diberikan oleh Kristus:
1. Dependence
Dependence atau dapat diartikan sebagai ketergantungan bukan
berarti bahwa pemimpin adalah orang yang senantiasa bergantung pada hal
tertentu. Dependence yang dimaksud
adalah penyerahan diri di dalam kehendak Allah. Keterbukaan yang dibungkus oleh
hasrat untuk menghadirkan Allah dalam kemanusiaan seorang pendeta atau pemimpin
gereja dalam penyerahan diri kepada Allah dan dalam penyerahan diri akan
tuntunan Roh Kudus.
2. Approval
Pemimpin gereja atau seorang pendeta harus menerima
tanggungjawab dan melaksanakannya sebagai bagian dari kehidupan mereka yang
meneladani Kristus.
3.
Modesty
Modesty atau kerendahan hati adalah aspek lain yang harus
dimiliki pendeta. Kerendahan hati dalam pelayanan di dalam bingkai
profesionalitas, yang dharapkan dapat mengarahkan pada pekerjaan yang merangkul
jemaat dan berbagai aspek di dalam kehidupan bergereja yang dijalani, namun
tidak didasari dengan hal-hal yang sifatnya egosentris.
4. Emphaty
Empati dari pemimpin jemaat atau pendeta yang
diharapkan hadir dalam kehidupan bergereja. Empati yang dapat dirasakan oleh
jemaat diharapkan mampu membawa kebaikan dalam kehidupan. Hal tersebut
berdasarkan apa yang dilakukan oleh Yesus kepada orang yang lemah, dipinggirkan
dan tak dipandang pada masanya. Akan tetapi pendeta harus mampu melakukannya
dengan ikhlas.
5.
Optimisme
Harapan dan optimisme dalam pelayanan sebagai
pemimpin adalah esensi dari kualitas pelayan Tuhan. Hal tersebut menjad penting
karena pelayan Tuhan harus masuk dalam ranah yang gelap dan penuh dengan pertempuran
dalam berbagai aspek. Optimisme adalah sikap yang harus dipelihara untuk
menunjukkan kehadiran Allah dalam dunia.
6.
Anointing
Anointing menjadi wadah bersatunya kelima hal sebelumnya. Sentuhan
dan berkat yang diberikan oleh pendeta dengan berdasar pada kelima aspek ini
akan membuat semua yang telah diberikan
dalam pelayanan akan menjadi lebih hidup dan tidak kering (Sanders 1994, 23-5).
Penjabaran Sanders mengenai teladan
dalam kepemimpinan Kristen dalam diri Yesus ini dapat menjadi dambaan bagi setiap
jemaat. Akan tetapi seluruh hal yang telah dijabarkan tentang kepemimpinan di
dalam kependetaan berdasarkan teladan Kristus itu akan terlaksana semua dengan
baik? Harus disadari dan diakui bahwa pendeta juga adalah manusia. Pendeta juga
memiliki keterbatasan, termasuk keterbatasan dalam memenuhi idealisme yang
harus dijalankan sebagai seorang pendeta.
Tuntutan juga menjadi faktor lain
yang sangat mempengaruhi kependetaan seseorang. Tuntutan ini muncul dari
berbagai sumber, termasuk dari jemaat. Akan tetapi tuntutan ini telah menjadi
sebuah standar yang suka tidak suka harus dituruti oleh pendeta. Hal tersebut
memang tidak dapat dihindari di dalam kependetaan, karena di dalam kependetaan
tentu ada interaksi dengan jemaat. Kepemimpinan juga menjadi salah satu faktor
yang menentukan bagaimana pendeta di mata jemaat.
Robby Chandra menjelaskan tentang bagaimana model
kepemimpinan pendeta di dalam gereja:
1. Pendeta dari kalangan karismatik yang mampu
memobilisasi umat dengan komunikasi yang merakyat. Meski begitu mereka kurang
memberi perhatian dalam menghasilkan sistem yang kuat, yang berujung pada
seringnya terjadi perpecahan di dalam gereja.
2. Kepemimpinan di dalam gereja arus utama atau mainstream yang menerapkan kepemimpinan
kolektif yang diorganisir dengan prosedur yang telah ditata. Akan tetapi
teologi yang dikembangkan dianggap rumit dan sulit diterima oleh jemaat.
3. Pendeta dari kalangan injili dengan model
kepemimpinan dalam pengelolaan yang baik. Semakin besar gerejanya maka semakin
mapan juga pelayanan yang mereka lakukan. Akan tetapi di dalam kepemimpinan ini
tidak terjadi sinergi dalam pelayanan akibatnya kaderisasi terhambat (Chandra
2004, 23-5).
Chandra telah menjabarkan mengenai model-model
kepemimpinan di dalam gereja. Akan tetapi gambaran yang diberikan adalah berupa
gambaran umum. Model-model kepemimpinan seorang pendeta juga sangat bergantung
pada pribadi dan perkembangan imannya. Meski pun begitu, satu kesamaan dari
model-model kepemimpinan yang diperlihatkan oleh Robby Chandra adalah egosentrisme
pendeta sangat berpengaruh dalam kepemimpinannya dan kependetaannya. Keengganan
untuk membawa sinergi dengan prinsip komunal akan menyulitkan pendeta dalam
tugas pelayanannya. Selain itu jika hal seperti itu terjadi dapat dikatakan
bahwa hasrat pribadi dalam diri seorang pendeta belum dapat dikendalikan dengan
baik.
Hasrat adalah sesuatu yang ada di dalam diri
manusia. Hasrat jugalah yang menjadi penggerak bagi manusia untuk melakukan
berbagai hal di dalam kehidupan. Hasrat juga mampu menggerakkan pendeta dalam
melakukan pelayanan dan melaksanakan kepemimpinan yang diemban. Akan tetapi
realita hasrat dalam kehidupan, terlebih di dalam kehidupan kependetaan sangat
kompleks. Pada bagian sebelumnya ada egoisme yang dapat mempengaruhi
kepemimpinan dan jalannya hidup bergereja. Hal tersebut memperlihatkan bahwa
pendeta juga adalah manusia, bukan mahluk sempurna yang dapat mengendalikan
sepenuhnya hasrat dalam diri mereka.
Kasus yang terjadi di Sekolah Bibelvrouw HKBP
beberapa tahun lalu menjadi bukti kompelsitas hasrat di dalam kependetaan.
Hasrat seksual ternyata menjadi salah satu dinamika hasrat yang muncul dalam
diri pendeta. Kejadian tersebut membuat HKBP secara sinodal menjadi gempar. Hal
tersebut semakin menjadi buah bibir karena beberapa fenomena mengenai seks di
luar pernikahan membuat para pelakunya menjauh dari gereja, bahkan jika sudah
ketahuan akan diekskomunikasi oleh gereja. Terlebih lagi HKBP adalah gereja
yang sangat concern dan menentang
dengan keras hubungan seks di luar pernikahan (Rumametmet website 2016).
Kekuasaan dan hasrat seksual menjadi contoh yang
saya angkat mengenai hasrat dalam kependetaan. Hal tersebut menunjukkan bahwa
hasrat adalah hal yang kompleks, sulit untuk dipahami dan banyak aspek yang
harus diperhatikan. Akan tetapi salah satu hal penting yang saya temukan adalah
hasrat menjadi sangat berbahaya bila diletakkan sebagai dasar dalam pribadi
atau pun spiritualitas kependetaan, bila diwarnai dengan egoisme dan keengganan
untuk berserah pada Tuhan dan tanpa keinginan yang kuat untuk menjaga hasrat
agar tidak terbawa ke dalam berbagai hal yang membuat gambaran kependetaan
dalam diri seorang pendeta menjadi rusak.
Fenomena Hasrat di dalam
Kependetaan
Hasrat tidak dapat dilepaskan dalam
kehidupan kependetaan. Hasrat yang menjadi pendorong bagi pendeta dalam
pelayanannya, namun hasrat juga yang membuat pendeta mengalami penurunan
kinerja dalam pelayanannya. Pernyataan tersebut dapat menjadi dasar timbulnya
pertanyaan, bagaimanakah sebenarnya hasrat harus dipahami dalam diri seorang
pendeta? Hal tersebut menjadi penting karena pendeta adalah pelayanan di gereja
yang dipercaya oleh jemaat dalam membangun iman dalam realita bahwa pendeta
adalah manusia, mahluk yang rapuh dan tidak sempurna dalam pengelolaan diri termasuk
hasrat di dalam dirinya.
Hasrat dapat dipahami sebagai sebuah
dinamika bahwa di dalam diri manusia ada keinginan untuk mencapai yang lebih. Sesuatu
yang lebih itu sangat luas maknanya, kita membutuhkannya dan kita juga berupaya
mencarinya. Hasrat membuat kita tidak dapat terpuaskan. Hal tersebut terjadi
karena di dalam pencarian tentang hasrat dan apa yang menjadi keinginan dalam
hasrat itu sering kali ada kejatuhan yang dialami oleh manusia yang
berpetualang dalam hasrat. Manusia akan terus berusaha dalam mewujudkan
hasratnya meski pun itu sulit (Sasongko 2016, 31-2). Pendeta diharapkan
memiliki hasrat untuk mencari dan melaksanakan model pelayanan dan kepemimpinan
dengan baik, meski pun hasrat yang bertujuan untuk kemajuan gereja dan
pelayanan sekali pun tidak akan berjalan mudah, karena pemahaman dan
pelaksanaan berbagai hal yang didasari oleh hasrat tidak akan pernah
terpuaskan. Rasa tidak puas di dalam memaknai hasrat diharapkan dapat mendorong
pendeta untuk bekerja lebih baik lagi.
Pendeta yang memiliki hasrat di
dalam dirinya untuk melayani harus menyadari bahwa hasrat juga dapat menggiring
mereka untuk melakukan pelayanan kepada orang-orang yang terpinggirkan. Hasrat
diharapkan berujung pada pemahaman spiritualitas kristiani yang berujung pada
semangat untuk meninggalkan kenyamanan, kemapanan dan kewibawaan dalam
kepemimpinan pendeta untuk mendampingi orang-orang yang disingkirkan dalam
kehidupan. Hasrat diharapkan mampu mendorong pendeta yang menjadi role model bagi jemaat untuk membangun
kepekaan terhadap rintihan orang-orang yang tertindas (Sasongko 2016, 102).
Sisi positif sangat terlihat dalam
pemaknaan hasrat sebagai pemacu untuk pendeta agar bekerja lebih baik lagi.
Akan tetapi hasrat ini seperti tertutupi oleh hasrat-hasrat lain yang sifatnya
negatif. Saya sendiri pernah mendengar sebuah kalimat yang menyatakan bahwa
seribu kebaikan manusia tidak dapat diingat, namun satu kesalahan manusia akan
terus diingat-ingat sampai kapan pun. Nampaknya hal ini juga yang dialami oleh
pendeta dengan cerita yang sedikit berbeda. Hasrat yang negatif dan destruktif
juga ada dalam diri pendeta, dan akan mengganggu jika tidak dapat dikendalikan.
Salah satu contoh hasrat negatif
yang saya ketahui sering dibahas dalam diri pendeta adalah hasrat seksual.
Kasus pemerkosaan 19 mahasiswi Sekolah Bibelvrouw oleh seorang pendeta menunjukkan
bahwa pendeta juga manusia, yang hasratnya dapat menenggelamkan kepemimpinan
kristiani yang coba dibangun dengan perbuatan tercela (Rumametmet website 2016).
Hal ini menunjukkan bahwa seksualitas dan kekerasan seksual adalah forbidden zone atau bagian yang
terlupakan atau bahkan ditabukan dalam kehidupan bergereja. Hal ini semakin
sulit dicegah karena di fase awal kekerasan seksual, pendeta yang tidak dapat
menggendalikan hasrat seksualnya memiliki keuntungan dengan kepercayaan yang
telah terbangun dalam relasinya (Trull 2004, 163).
Hasrat seksual di dalam diri seorang
pendeta jika tidak dapat dikembalikan akan sangat mendistorsi makna dari
kepemimpinan kristiani yang dipahami oleh jemaat. Role model jemaat telah menjadi teladan yang cemar dalam hasrat
seksual yang tak terkendali dan berujung pada pelecehan seksual. Akan tetapi
faktor dari luar diri pendeta disadari atau tidak turut membentuk pendeta
seperti itu. Seksualitas yang dianggap tabu, sosial budaya yang menekan manusia
khususnya perempuan dan berbagai faktor lainnya sangat berpengaruh dalam
pemahaman seksual seorang pendeta (Rumametmet website 2016).
Hasrat adalah hal yang sangat
kompleks dalam kehidupan manusia. Berbagai elemen dalam hasrat yang sifatnya
membangun atau destruktif sekali pun ada di dalam diri manusia. Hal tersebut
membuat pendeta harus memahami dinamika hasrat yang ada dalam dirinya. Pendeta
harus menyadari bahwa tubuh, kejiwaan dan spiritualitas adalah satu kesatuan.
Hasrat menjadi hal yang tidak dapat dipisahkan dari diri pendeta dan hasrat
juga harus dihidupi dan terus dijaga.
Bimbingan Rohani untuk Seorang
Pendeta
Bagaimana bimbingan rohani yang harus diberikan
kepada pendeta untuk memahami dan menyatakan hasrat dalam dirinya? Hal tersebut
mengingat bahwa pendeta adalah manusia yang berada dalam kerapuhan insan, namun
pada saat bersamaan memiliki potensi untuk mengembangkan berbagai hal dalam
dirinya. Inilah yang menjadi pergumulan bagaimana spiritualitas dan hasrat
dalam diri pendeta bagaimana harus diletakkan.
Model bimbingan rohani untuk pendeta
yang saya tawarkan dalam tulisan ini adalah model yang berfokus pada pertanyaan
reflektif. Pertanyaan-pertanyaan ini diberikan untuk untuk memahami atau
merekonstruksi pemahaman potensi dalam diri pendeta di balik kerapuhannya.
Meski pun tahbisan pendeta sudah diterima, namun seorang pendeta diharapkan
terus berhasrat untuk terus bersedia memahami misteri kerapuhan dan potensi
dalam dirinya. Oswald Sanders menawarkan contoh-contoh pertanyaan yang dapat
dipakai dalam model bimbingan rohani seperti model yang saya tawarkan:
1. Apakah kamu pernah merasa kecewa ketika melakukan
hal buruk?
2. Apakah kamu dapat mengontrol diri sendiri ketika
melakukan kesalahan?
3. Apakah kamu berpikir secara independen?
4. Bagaimana kamu menghadapi kritik yang datang padamu?
Apa kamu dapat melakukannya?
5. Dapatkah kamu menunjukkan sikap dispilin tanpa
menggunakan kekuasaanmu?
6. Apakah orang-orang percaya padamu ketika berada
dalam situasi sulit? (Sanders 1994, 36).
Pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat diajukan dalam bimbingan
rohani kepada seorang pendeta. Pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat menjadi
stimulus untuk mengingat kembali bagaimana kepemimpinan yang dijalankan
berjalan. Kehadiran pertanyaan dan proses reflektif dalam pertanyaan-pertanyaan
tersebut diharapkan dapat membangkitkan kembali hasrat kepemimpinan dan
melayani dalam diri pendeta. Hal tersebut bertujuan untuk menggerakkan pendeta
agar di dalam pelayanannya terus berusaha memenuhi hasrat dalam pelayanan yang
tidak akan terpenuhi sepenuhnya.
Bimbingan rohani yang dihadirkan untuk pendeta
diharapkan dapat memberi pemahaman bahwa di dalam kehidupan kependetaan banyak
hal yang harus dipertimbangkan secara realistis. Tujuan yang perfeksionis
sering kali membuat manusia jatuh dalam upayanya mencapai tujuan tersebut. Harus
disadari dengan sungguh bahwa kehidupan di dalam dunia ini tidak berjalan
dengan sempurna (Sanders 1994, 38). Hal tersebut menjadi dasar yang diharapkan
menumbuhkan hasrat dalam diri pendeta untuk terus memperbaiki diri dalam
pelayanan, kepemimpinan dan kehidupannya.
Kesimpulan
Hasrat dalam diri pendeta adalah hal
yang manusiawi. Pendeta juga manusia memiliki hasrat yang menjadi pendorong
untuk menjalankan hal dalam kehidupannya. Setiap orang boleh memiliki standar
tersendiri dalam kehidupannya, termasuk memberi standar kepada seorang pendeta.
Akan tetapi harus dipahami bahwa pendeta juga adalah manusia yang rapuh dan
bukan manusia yang sempurna. Untuk itu diperlukan sinergi yang baik antara
jemaat dalam pendeta dalam kehidupan sehari-hari dan bergereja. Hal tersebut
menjadi penting karena pendeta juga akan dipengaruhi oleh lingkungannya.
Pendeta diharapkan terus memberi
dirinya untuk dibimbing, agar hasrat yang membangun di dalam dirinya tetap
terus dipelihara. Satu bimbingan rohani saja tidak akan mencakup dinamika
hasrat dalam kehidupan kependetaan. Hal tersebut menunjukkan bahwa pendeta
diharapkan bersedia untuk berpetualang dalam dinamika hasrat untuk menemukan
Sang Misteri dalam kehidupannya. Pendeta juga manusia.
Daftar Acuan
Chandra, Robby. 2004. Landasan Pacu Kepemimpinan. Yogyakarta:
Gloria Graffa.
Sanders, J. Oswald.
1994. Spirituality leadership.
Chicago: Moody Press.
Sasongko, Nindyo. 2016.
Embara api jiwa. Manuskrip.
Torrance. T.F. 1993. Royal Priesthood. A theology of ordained
ministry. Edinburg: T&T
Clark.
Trull, Joe E. dan James
E. Carter. 2004. Ministerial ethics:
Moral formation for church leader.
Michigan: Baker Academic.
Website
Bait Online. Pendeta: Hamba Tuhan atau Pelayan
Manusia. http://www.baitonline.org/2016/02/27/pendeta-hamba-tuhan-ataukah-pelayan-manusia/
(diakses 6 Desember 2016).
Ekspos News. HKBP
Didesak Selesaikan Kasus Pelecehan Seks di Sekolah Bibelvrouw. http://eksposnews.com/hukum-kriminal/HKBP-Didesak-Selesaikan-Kasus-Pelecehan-Seks-di-Sekolah-Bibelvrouw (Diakses 6 Desember 2016).
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI Online). Pendeta.
http://kbbi.web.id/pendeta
Ruma metmet. Pelecehan di Rumah Tuhan http://rumametmet.com/2010/02/18/pelecehan-di-rumah-tuhan/
(diakses 6 Desember 2016).
Sabda Space. Pendeta: Profesi atau Panggilan http://www.sabdaspace.org/pendeta_profesi_atau_panggilan (diakses 6 Desember 2016).