Senin, 14 November 2016

Potensi Keterbukaan dan Penerimaan Terhadap Suku Berbeda di Gereja Suku: Analisis terhadap Peluang Perkembangan Pemahaman dan Penerimaan Suku Lain di HKBP pada Era Globalisasi

Potensi Keterbukaan dan Penerimaan Terhadap Suku Berbeda di Gereja Suku:

Analisis terhadap Peluang Perkembangan Pemahaman dan Penerimaan Suku Lain di HKBP pada Era Globalisasi

Pendahuluan
Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) adalah salah satu gereja yang berdiri di Indonesia. Sesuai dengan namanya, HKBP adalah gereja yang sangat erat hubungannya dengan suku Batak Toba. HKBP juga menjadi salah satu gereja suku yang ada di Indonesia. HKBP adalah gereja yang pada mulanya berdiri di daerah Sumatera Utara, yakni daerah Tapanuli dan sekitarnya. Akan tetapi seiring dengan berjalannya waktu HKBP telah berdiri di berbagai tempat. Salah satu faktornya adalah perpindahan yang dilakukan oleh orang-orang dari daerah Sumatera Utara ke daerah lainnya untuk melanjutkan kehidupan.
Saya adalah salah satu jemaat HKBP yang berasal dari daerah Kabupaten Simalungun, sebuah daerah yang banyak kelompok masyarakatnya terdiri dari suku Batak Toba, Simalungun, Karo dan lain-lain. Gereja tempat saya berjemaat di kampung halaman saya memberi perhatian yang cukup besar terhadap kehidupan adat istiadat. Dalam beberapa kesempatan saya melihat dan mengambil bagian dalam beberapa pelaksanaan peribadahan atau pun upacara adat batak yang telah bercampur dengan liturgi gereja. Pemakaian bahasa Batak, khususnya Batak Toba dalam peribadahan adalah hal yang wajib hukumnya di HKBP, termasuk gereja tempat saya berjemaat yaitu HKBP Perumnas Batu VI. Bahkan di gereja ini sering kali cepat tersebar berita miring jika ada pelayan gereja, baik pendeta, calon pendeta atau penatua yang dalam berbahasa Batak masih marpasirpasir atau belum fasih dalam berbahasa Batak.
Kehidupan saya sebagai bagian dari umat Kristen dan bagian dari bangso Batak atau bangsa Batak di saat bersamaan terbentuk selama saya berjemaat di dalam HKBP. Sejak saya menjadi jemaat HKBP saya diarahkan untuk menjadi orang Kristen dan menjadi halak Batak atau orang Batak di saat bersamaan. Berdasarkan pengalaman saya selama berjemaat saya memandang bahwa HKBP adalah gerejanya orang Batak khususnya Batak Toba.
Seiring berjalannya waktu pertanyaan pun muncul dalam diri saya. Apakah HKBP tidak bisa menjadi gereja yang majemuk, meski memiliki istilah Batak di dalam singkatan namanya? Pertanyaan itu semakin muncul ketika saya melihat bahwa di dalam kehidupan berjemaat di gereja tempat saya berjemaat, ada jemaat dari suku lain, seperti Batak Simalungun, Batak Karo, Batak Mandailing bahkan Nias. Akan tetapi mereka harus mengikuti adat Batak Toba yang diterapkan di dalam kehidupan bergereja. Jika ada orang lain yang hendak menjadi jemaat HKBP, namun berasal dari suku lain harus menjadi orang Batak untuk dapat dikatakan sebagai warga jemaat HKBP?
Faktor lain yang membuat saya mengangkat topik mengenai potensi kemajemukan di dalam HKBP adalah karena fenomena berdirinya HKBP di berbagai wilayah yang bukan daerah Batak. Pada satu sisi ada makna positif yang terlihat karena di dalam hal tersebut terlihat bahwa gereja telah menjadi sarana pemersatu bagi masyarakat Batak yang telah terpisah dan mencari kehidupan di sisi lain. Akan tetapi di sisi lain kesan yang muncul adalah HKBP adalah gereja yang ekslusif. Pemahaman tersebut didasari bahwa di berbagai daerah di luar daerah yang menjadi basis masyarakat Batak Toba telah banyak berdiri gereja, baik yang ekumenis atau pun gereja suku lainnya. Berdasarkan hal tersebut maka saya mencoba membahas mengenai potensi keterbukaan terhadap kemajemukan di dalam HKBP.

Deskripsi Situasi
            Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) adalah gereja yang berdiri sejak 7 Oktober 1861 di tanah Batak. HKBP berdiri atas peran atau buah dari pemberitaan Injil oleh misionaris Rheinische Missions Gessellschaft (RMG). Seiring dengan berjalannya waktu, HKP telah berkembang ke berbagai penjuru di tanah Batak, Indonesia bahkan dunia. HKBP dalam pelayanannya berupaya untuk mempersembahkan diri sebagai alat Allah untuk melaksanakan misi Allah yang berdasarkan pada iman, kasih dan pengharapan (HKBP 2015, 7).
            HKBP di dalam Aturan dohot Peraturan atau Tata Dasar dan Tata Laksana HKBP Bab II Pasal 2  juga menjabarkan pemahaman mengenai prinsip persekutuan yang dipegang oleh HKBP:
Huria Kristen Batak Protestan I ma pardomuan ni halak Kristen sian sude marga dohot houm ni bangso Indonesia, dohot nasa bangso di sandok portibi on na tardidi tu bagasan goar ni Debata Ama, Anak dohot Tondi Parbadia. Sada hapataran ni pamatang ni Kristus do HKBP, na manghamham na porsea na marpanindangion di sandok portibi on.
Huria Kristen Batak Protestan adalah persekutuan orang Kristen dari segala suku dan golongan bangsa Indoensia dan segala bangsa di seluruh dunia yang dibaptis ke dalam nama Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus. HKBP adalah satu wujud nyata tubuh Kristus yang mencakup segenap orang percaya dan bersaksi di seluruh dunia (HKBP 2015, 13).
            Apakah HKBP adalah gereja yang jemaatnya harus berasal dari suku yang sama? Gambaran mengenai jawaban dari pertanyaan tersebut dapat dilihat dalam Tata Dasar dan Tata Laksana HKBP tentang warga HKBP. Warga HKBP berdasarkan Tata Dasar dan Tata Laksana HKBP adalah yang sudah dibaptis dalam nama Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus. Selain itu warga HKBP harus menghayati firman Allah dan mengikuti berbagai kegiatan yang berhubungan dengan pembangunan iman jemaat (HKBP 2015, 23-24).
            Tata Dasar dan Tata Laksana HKBP menunjukkan adanya pemahaman yang dapat mendukung HKBP untuk menjadi gereja yang majemuk. Peribadahan yang diatur di dalam Tata Dasar dan Tata Laksana Bab V pasal 2 juga menunjukkan ada poin penting mengenai penghargaan dalam perbedaan atau kemajemukan.
Sipatupaon do parmingguan I di hata Batak, hata Indonesia manang di angka hata na asing na niantusan jala hinangoluhon ni ruas ni huria.
Ibadah dilayankan dalam Bahasa Batak atau Bahasa Indonesia atau bahasa-bahasa lain yang dipahami dan dihayati oleh warga Jemaat (HKBP 2015, 15).
            Jika didasari oleh pemahaman tersebut, dapat dikatakan bahwa ada kesadaran untuk mengakomodir berbagai tradisi dan budaya yang ada di sekitar HKBP. Artinya bahwa ada potensi untuk mengambil nilai-nilai kebaikan lainnya yang ada di luar nilai-nilai kehidupan Batak yang ada di sekitar HKBP. Hal tersebut dapat menjadi gambaran yang cukup memberikan pemahaman bahwa sebenarnya HKBP membuka diri untuk nilai-nilai kebaikan lainnya, yang diharapkan dapat diperlihatkan melalui peribadahan yang dilaksanakan oleh HKBP.           
            Salah satu konteks yang harus dihadapi oleh HKBP saat ini adalah kehidupan di dalam masyarakat yang majemuk. Artinya HKBP yang berdiri dan unsur Batak yang melekat dalam dirinya harus menghadapi dan menghidupi kemajemukan. Akan tetapi sering kali muncul anggapan dari berbagai sumber dan berbagai pihak bahwa HKBP adalah gerejanya orang Batak. HKBP dianggap menjadi sebuah gereja tempat berkumpulnya orang-orang batak dari berbagai penjuru. Kultur batak sangat melekat dalam HKBP, hal tersebut menurut saya menimbulkan kesan adanya eksklusivitas yang terkesan memperlihatkan bahwa HKBP adalah gereja yang hanya boleh diisi oleh orang Batak, yang di satu sisi juga seakan mengingkari sikap keterbukaan dalam Kristus seperti yang tercantum dalam Tata Dasar dan Tata Laksana HKBP. Hal tersebut semakin terasa di era globalisasi yang ditandai dengan berkembangnya berbagai pemikiran dan mobilisasi dari manusia yang semakin terasa.
Analisis Situasi
Konstruksi Sosial Batak Toba
Batak Toba adalah suku yang memiliki norma atau nilai kehidupan di dalam masyarkatnya. Nilai-nilai yang ada dalam masyarakat menjadi pegangan bagi masyarakat Batak Toba dalam menjalankan kehidupan. Berbagai nilai-nilai yang muncul di tengah masyarakat Batak Toba bukanlah kumpulan nilai yang terbentuk dalam sekejap mata. Nilai-nilai tersebut berasal dari tradisi dan falsafah kehidupan yang dihayati oleh masyarakat Batak Toba dalam rentang waktu yang lama.
Suku Batak Toba jika ditelisik asal-usulnya masih sulit untuk menemukan jawaban pastinya. Ada pendapat yang mengatkan bahwa Batak Toba berasal dari salah satu daerah di Myanmar yang bernama Bataha, yang kemudian beralih menjadi Batak. Ada juga pendapat yang menyatakan bahwa Batak berasal dari suku bangsa turunan yang ada di daerah Ilocos Utara di Filipina. Masih ada beberapa lagi penjelasan mengenai asal-usul dari leluhur suku Batak Toba (Sangti 1977, 26-7).
Sistem garis keturunan yang dianut dalam sistem sosial Batak Toba adalah patrilineal, yang ditandai dengan ikatan marga yang berasal dari ayah. Adanya marga di dalam sistem kekerabatan di dalam masyarakat Batak Toba membentuk koneksi antara masyarakat Batak Toba secara personal berdasrkan marga. Ikatan tersebut terbentuk berdasarkan ikatan marga yang terbentuk dalam sistem marga patrilineal, yang menjadi penanda seseorang sebagai bagian dari keturunan Batak Toba (Vergouwen 1964, 2).
J. C. Vergouwen dalam bukunya The Social Organisation and Customary Law of Toba-Batak of Northern Sumatera menjelaskan bahwa ikatan marga tersebut bukanlah sebuah hal yang muncul belum terlalu lama. Ikatan marga di dalam suku Batak Toba sudah terbentuk dari masa lampau. Konsturksi sosial tersebut terbentuk dan bermula dari pemahaman masyarakat Batak Toba pada masa lampau tentang kepercayaan pada Debata Mulajadi Na Bolon, yang kemudian berlanjut pada kemunculan berbagai marga yang membentuk kumpulan-kumpulan marga atau punguan yang terbentuk dengan berbagai latar belakang dan tersebar di berbagai penjuru tanah Batak (Vergouwen 1964, 21-30).
Kebudayaan dalam bahasa Batak Toba-tua adalah Ugari. Jika melihat dari definisi antropologi maka kebudayaan dapat diartikan sebagai keseluruhan dari hasil kelakuan manusia yang diatur oleh tatanan yang ada, yang didapatkan dari hasil belajar yang keseluruhannya tersusun dalam cara hidup masyarakat (Sangti 1977, 30). Jika berdasar pada pernyataan tersebut maka kehidupan masyarakat Batak Toba pada saat ini, termasuk masyrakat Batak Toba yang menjadi jemaat HKBP terbentuk dari berbagai tradisi dan tatanan hidup yang ada di masyarakat sejak masa lampau.
Jika diperhatikan lebih lanjut kebudayaan di Indonesia, termasuk kebudayaan Batak Toba di dalamnya memiliki beberapa nilai-nilai yang sama dalam pelaksanaannya. Nilai nilai yang sama tersebut antara lain kaidah kesusilaan perseorangan, kemasyarakatan, hukum, agama dan kesenian. Berbagai elemen dalam kebudayaan tersebut berpadu menjadi satu di dalam kehidupan masyarakat. Contohnya adalah falsafah hidup masyarakat Batak Toba yang dikenal dengan nama Dalihan Na Tolu (Sangti 1977, 30).
Dalihan Na Tolu secara harfiah diartikan sebagai sebuah tungku yang berdiri atau ditopang oleh tiga buah batu. Batu-batu yang dipakai untuk menopang tungku tersebut harus memiliki ukuran yang sama. Selain itu batu-batu yang dipakai dalam pemahaman ini harus diletakkan dengan jarak yang sama dan dengan tinggi masing-masing batu harus sama. Hal tersebut bertujuan agar isi yang ada di dalam tungku tidak tumpah (GoBatak website 2016).
Ada tiga elemen penting yang terdapat dalam Dalihan Na Tolu. Ketiga elemen tersebut adalah somba marhula-hula, manat mardongan tubu, elek marboru. Somba marhula-hula adalah rasa hormat kepada pihak keluarga laki-laki dari pihak istri atau ibu. Manat mardongan tubu berarti penghormatan kepada orang-orang yang semarga atau berada dalam satu rumpun marga sebagai tanda persaudaraan. Sedangkan elek marboru  dapat diartikan sebagai penghormatan kepada kelompok saudara-saudara perempuan yang ada dalam sistem kekerabatan (GoBatak website 2016).
Jika melihat dari penjelasan singkat mengenai konstruksi sosial suku Batak Toba yang dijelaskan, terlihat bahwa ikatan darah atau hubungan genealogis di dalam konstruksi sosial Batak Toba sangat kental. Hubungan garis keturunan sangat diperhatikan di dalam masyarakat Batak Toba. Berdasarkan penjabaran tersebut saya melihat bahwa sebagian masyarakat Batak Toba masih memegang teguh sistem konstruksi sosial ini. Falsafah Dalihan Na Tolu masih menjadi salah satu bagian penting di dalam kehidupan bermasyarakat, termasuk di dalam gereja. Salah satu contoh fenomena yang saya lihat selama saya berjemaat di HKBP adalah ikatan marga atau kekeluargaan masih menjadi salah satu faktor penentu siapa yang menjadi parhalado atau majelis jemaat. Jika berdasarkan dari penjabaran yang telah dipaparkan, apakah ada potensi atau peluang bagi HKBP untuk menjadi gereja yang terbuka terhadap kehadiran suku lain, di tengah sebagian jemaatnya yang masih memegang teguh konstruksi sosial budaya dan hubungan kekerabatan yang sangat erat?
Rekonstruksi Pemahaman Sosial Batak Toba
Batak Toba memiliki tatanan kehidupan yang diatur di dalam adat istiadat. Adat yang terbentuk di dalam masyarakat Batak Toba bertujuan untuk penyelarasan di dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat Batak Toba. Penyelerasan yang dibentuk di dalam adat istiadat bertujuan untuk kesejahteraan, meski masih terbatas di dalam lingkup masyarakat Batak Toba. Implikasi lain dari kehidupan yang hendak diselaraskan di dalam adat istiadat adalah pemeliharaan adat istiadat di dalam kehidupan (Pedersen 1975, 34).
Kehidupan bergereja yang saya rasakan juga terdapat aspek yang kental mengenai kehidupan sebagai jemaat yang beradat. HKBP sebagai gereja yang membawa Batak di dalam namanya menunjukkan berbagai upaya untuk mempertahankan dan mewariskan adat istiadat melalui kehidupan bergereja. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Pedersen yang menyatakan bahwa dalam kehidupan masyarakat Batak Toba bahwa adat istiadat yang dipegang tidak akan berubah dan akan berusaha untuk dipertahankan, meski terkadang mengesampingkan kemajuan dalam masyarakat. Adat telah menjadi identitas yang melekat dan dipandang sebagai satu kesatuan dengan masyarakat Batak Toba (Pedersen 1975, 35). Pertanyaan yang kembali muncul dari pernyataan tersebut adalah bagaimana HKBP dan masyarakat Batak Toba di dalamnya dapat menjadi gereja yang bertumbuh dan mampu hidup di dalam kemajemukan?
Pendekatan pertama yang coba saya berikan adalah pendekatan historis. Sebelum kekristenan menjadi ajaran yang dianut oleh masyarakat Batak Toba, masyarakat Batak Toba pada masa pekabaran Injil ternyata mampu menunjukkan keterbukaan terhadap kehadiran dari pekabar Injil di tengah kehidupan mereka, meski pada saat itu sentimen negatif terhadap orang asing sangat kuat di tengah masa penjajahan. Misalnya para misionaris yang datang pada awal 1800-an yang menyatakan bahwa masyarakat Batak lebih memiliki rasa ingin tahu terhadap kehadiran mereka disbanding untuk bermusuhan. Bahkan Burton dan Ward, dua orang misionaris pada saat itu suah dianggap sebagai penduduk asli oleh masyarkat setempat. Akan tetapi pada masa awal penginjilan, ajaran yang dibawa oleh para misionaris akan membuat merka meninggalkan kehidupan adat mereka (Pedersen 1975, 46).
Kematian Lyman dan Munson ketika memberitakan Injil di tanah Batak juga menjadi salah satu gambaran prasangka terhadap kedua orang tersebut sebagai orang asing. Lyman dan Munson dianggap sebagai mata-mata yang dikirim Belanda pada saat itu ke tanah Batak, yang mencoba menghancurkan masyarakat Batak pada saat itu. Masih banyak anggapan-anggapan lainnya yang menimbulkan kebencian terhadap kehadiran orang asing di dalam kehidupan masyarkat, padahal tidak semua orang asing yang datang pada saat itu bertujuan untuk berperang (Pedersen 1975, 49).
Pemahaman mengenai kehadiran orang asing dan budaya yang berbeda nampaknya masih ada di dalam pemahaman sebagian masyarakat Batak Toba, termasuk di dalam jemaat HKBP. Ketakutan akan kebudayaan yang dapat tergerus dengan kehadiran budaya asing dan orang asing telah mempengaruhi masyarakat Batak. Padahal di dalam kehidupan adat masyarakat Batak Toba secara khusus telah terdapat adaptasi dalam pemahaman adatnya. Contohnya adalah pemahaman tentang Dalihan Na Tolu. Misalnya penghormatan pada orang yang semarga atau dalam satu rumpun marga tidak terbatas lagi dalam keluarga. Selain itu masuknya kekristenan membuat Allah menjadi pusat dari pemahaman Dalihan Na Tolu (Rumametmet website 2016).
Representasi atau pemahaman subjektif terhadap manusia tidak dapat dijadikan sebagai pegangan mutlak dalam menilai orang lain dan kebudayaan yang dibawa oleh orang tersebut. Ricoeur menjabarkan bahwa representasi tidak selamanya menjadi fakta utama dalam menyikapi nilai-nilai kehidupan sebagai bagian dari refleksi filosofis. Representasi menjadi sesuatu yang harus dipahami untuk melihat fenomena yang ada atau dibawa di dalam representasi yang ditunjukkan oleh manusia (Ricoeur 2000, 212).



Titik berangkat untuk memahami kehidupan yang diatur dalam sistem sosial yang dijalankan manusia adalah wilayah lokal. Hal tersebut bertujuan untuk menyelesaikan berbagai persoalan berdasarkan landasan ilmu kemanusiaan, yang pada akhirnya akan berujung dengan pemahaman akan nilai-nilai kemanusiaan yang universal. Selain itu hal penting yang perlu diingat dalam pencarian nilai-nilai universal dalam keberagaman manusia adalah mengesampingkan prasangka agar berpikir dalam bingkai pemikiran yang berani mengetahui dan pada akhirnya mencapai kedewasaan berpikir (Ricoeur 1981, 88-90).
Pencarian akan pemahaman bersama dalam nilai-nilai kemanusiaan yang beragam menjadi hal yang penting dalam menyikapi kemajemukan. Ricoeur dalam pemahamannya menunjukkan bahwa kehidupan yang baik itu adalah sebuah gambaran yang harus diwujudkan manusia, namun dengan dasar kolektivitas yang dapat diterapkan di dalam kehidupan, sebagai bentuk pemahaman akan universalitas dari nilai moral (Pirovolakis 2010, 115). Pemahaman Ricoeur yang telah dijabarkan dapat menjadi gambaran untuk menjalankan kehidupan berdasarkan falsafah Batak Toba dalam kehidupan bergereja dan masyarakat majemuk. Adat harus terus mencari makna bersama dengan berbagai pemikiran yang sama atau yang berbeda untuk menemukan nilai-nilai moral universal dalam kehidupan, termasuk dalam interaksi dan kehidupan bergereja. Adat yang ada memang hadir untuk mengupayakan kesejahteraan dan kebaikan komunitas, namun konteks pada masa kini yang di antaranya adalah kehidupan yang majemuk tidak dapat dipinggirkan dalam kehidupan masyarakat Batak Toba dan dalam tubuh HKBP.
HKBP dan Kemajemukan di Era Globalisasi
Kemajemukan atau yang biasa disebut juga sebagai pluralisme adalah suatu paham yang mengakui keberagaman sebagai realitas, yang membuatnya harus diterima sebagai fakta sosial yang tidak mungkin dihindari (Sitompul 2014, 25). Berdasarkan pada pandangan tersebut dapat dikatakan bahwa gereja yang ada sekarang harus menghadapi konteks tersebut sebagai sebuah realita yang tidak dapat dihindari dan gereja tidak dapat menutup mata atas keadaan tersebut.
Gereja adalah lembaga sosial yang berdampingan dengan masyarakat atau konteks di sekitarnya, termasuk jemaat di dalam gereja itu sendiri. Masyarakat Batak Toba yang telah banyak merantau membawa berbagai nilai yang didapat dari daerah asal masing-masing, yang sebagian juga dibawa ke dalam kehidupan bergereja dalam hal ini HKBP. Bahkan sudah sejak lama masyarakat Batak Toba menunjukkan tradisi untuk merantau ke luar daerah masing-masing (Sitompul 2014, 23-4).
Pluralisme yang dihadapi oleh HKBP adalah sebuah realita sosial yang harus dihadapi. Nilai-nilai yang dibawa ke daerah yang memiliki konteks majemuk. Bahkan keadaan seperti itu terkadang menimbulkan fundementalisme dalam menyikapi dan membawa tradisi yang ada di tengah masyarkat yang majemuk (Sitompul 2014, 25). Hal tersebut terkadang bahkan berujung pada identitas di dalam gereja yang dipengaruhi oleh fundamentalisme dalam menyikapi tradisi dan adat istiadat. Misalnya HKBP yang terlihat sangat kental tradisi dan filosofi kehidupan Batak Toba, yang seakan tidak dapat membuka ruang untuk suku lainnya.
Pertanyaan mendasar yang diajukan oleh Bungaran Simanjuntak soal bagaimana budaya Batak mewarnai kehidupan yang majemuk dapat dipertanyakan kepada kehadiran HKBP sebagai gereja. Dapatkah HKBP yang diisi oleh sebagian besar masyarakat Batak Toba mewarnai kemajemukan dengan penerimaan suku lain di dalam kehidupan bergereja? (Simajuntak 2011, 135). HKBP harus mampu menyikapi kemajemukan yang dihadapi sembari menunjukkan identitasnya sebagai gereja yang mewujudkan kehadiran Allah di tengah-tengah dunia.
Prasangka sering muncul dalam menjalani relasi di tengah kemajemukan, baik terhadap orang Batak Toba atau kepada halak sileban atau orang di luar masyarakat Batak Toba. Halak sileban sering kali mengidentikkan Batak secara keseluruhan sebagai orang yang kasar, bicara keras dan lain sebagainya. Jika melihat hal tersebut maka perlu diadakan komunikasi atau pembicaraan yang didasari dengan prinsip saling memahami. Hal tersebut menjadi penting karena pada dasarnya pluralisme kebudayaan harus terus dibicarakan sebagai bagian dari proses interaksi manusia (Simanjuntak 2011, 136).
Komunikasi adalah sebuah proses proses interaksi dan pertumbuhan pemikiran manusia terhadap nilai-nilai luhur dan moral. Komunikasi diperlukan untuk mendapatkan informasi tentang berbagai nilai-nilai dalam kehidupan, termasuk di dalam kemajemukan. Berbagai hal dalam kemajemukan yang senantiasa dikomunikasikan dapat membuat masyarakat yang berada di dalam kemajemukan akan menyadari kehadirannya dalam perbedaan dan akan berimplikasi pada upaya untuk menyesuaikan diri dalam kemajemukan (Sitompul 2014, 52-3).
HKBP adalah salah satu gereja yang pada mulanya berdiri di tanah Batak sangat identik dengan suku Batak. Pada abad ke-19 gereja-gereja kesukuan lainnya mulai berdiri di Indonesia. Fenomena yang terlihat adalah masyarakat yang berpindah ke daerah lain yang lebih majemuk mendirikan gereja seperti gereja suku tempat asal mereka untuk mendekatkan diri dengan ikatan persaudaraan berdasarkan adat isitadat yang ada di daerah asal. Gereja yang berbasis kesukuan selain menjadi tempat persekutuan orang-orang yang percaya pada Allah Tritunggal menjadi sarana pemersatu yang memperkuat persaudaraan (Sitompul 2014, 59-61).
Mobilitas masyarakat Batak Toba yang berjumpa dengan kemajemukan membuat masyarakat Batak Toba dan kehidupan bergereja di dalam HKBP harus mampu meyesuaikan diri dengan konteks kemajemukan. Masyarakat dan gereja sebagai bagian dari kehidupan sosial masyarakat harus mampu menempatkan diri dengan baik. Tujuan dari hal tersebut adalah untuk menjaga keharmonisan dalam kehidupan bersama (Sitompul 2014, 84).
Kehadiran gereja yang berbasis kesukuan juga merupakan sebuah fakta sosial yang tidak dapat dihindari. Kehadiran gereja suku mengambil nilai-nilai di dalam kehidupan untuk menjaga keharmonisan di dalam tradisi dan kehidupan beriman selaku umat Kristen. Akan tetapi nilai-nilai kesukuan tidak dijadikan sebagai sebuah keutamaan dalam kehidupan bergereja. Meski pun begitu fakta negatif yang sering kali terlihat adalah adanya sikap superioritas terhadap suku lain atau ekslusivitas yang terbentuk di dalam gereja suku seperti HKBP (Sitompul 2014, 211-2).
Gereja diharapkan menjadi persekutuan yang dapat menghargai kebudayaan dan adat istiadat berbagai suku yang ada. Hal tersebut harus dilandasi dengan pemahaman untuk saling mengasihi sebagai manusia yang seutuhnya. Kesukuan menjadi nilai-nilai kehidupan bagi jemaat. Selain itu budaya juga diharapkan dapat menjadi landasan bagi gereja untuk melihat sikap yang harus dikritisi dalam kehidupan yang dibentuk oleh suku di dalam kemajemukan (Sitompul 2014, 214-6). Gereja diharapkan menunjukkan pemahamannya akan nilai-nilai yang dapat saling melengkapi dalam kemajemukan suku bangsa yang ada, untuk menemukan dan memperlihatkan nilai-nilai kebaikan secara universal dan secara komunal.
Relasi yang dibangun berdasarkan kecurigaan terhadap suku lain harus diminimalisir. Dampak dari kecurigaan yang berlebih terhadap kehadiran suku lain dapat membuat elemen masyarakat, termasuk gereja membentengi diri berdasarkan kesamaan identitas dalam komunalisme, memisahkan diri dari komunitas dengan identitas yang berbeda. Hal tersebut bisa saja semakin parah dengan semangat sektarianisme kesukuan (Sitorus 2011, 294). Semangat komunal ini juga masih sering terlihat di dalam masyarakat Batak Toba, termasuk jemaat HKBP di dalamnya. Gereja yang ikut “berpindah” jika jemaat merantau ke daerah lain menunjukkan adanya semangat komunalisme. Di satu sisi memiliki dampak baik untuk memperkuat tali persaudaraan. Akan tetapi di satu sisi akan memperkuat citra atau representasi gereja yang ekslusif. Hal tersebut juga saya lihat terjadi di HKBP berdasarkan fenomena tersebut.
Perbedaan yang ada di dalam kehidupan manusia disebabkan oleh berbagai faktor yang ada di dalam kehidupan sehari-hari. Stereotype membuat masyarakat, baik di dalam atau di luar komunitas memberikan praduga kepada orang lain. Praduga menjadi hal yang berbahaya dalam upaya membangun masyarakat dan gereja yang memahami dan mempraktikkan nilai-nilai kemajemukan di dalam nilai universal. Stereotype dapat menjadi alat propaganda orang-orang yang tidak bertanggungjawab demi keuntungan pribadi. Selain itu stereotype membuat pemahaman kita akan perbedaan yang ada di dalam kehidupan manusia akan semakin sempit (Simanjuntak 2011, 285). Hal tersebut dapat menjadi batu sandungan bagi HKBP jika ingin menunjukkan identitas sebagai gereja yang dapat berkarya di dalam kemajemukan.
Kesimpulan dan Refleksi
HKBP memiliki potensi yang besar untuk menjadi gereja yang terbuka dengan kehadiran suku lain di dalamnya. HKBP di dalam Tata Dasar dan Tata Laksananya tidak memberi gambaran bahwa hanya suku Batak Toba saja yang dapat menjadi jemaat HKBP. Akan tetapi kehidupan masyarakat yang terkadang masih dipengaruhi ikatan garis keturunan, adat isiadat dan kesamaan identitas menjadi representasi yang tidak dapat dikatakan menjadi gambaran keseluruhan bahwa HKBP adalah gereja yang tertutup. Adat yang dipegang teguh dan menjadi bagian dari HKBP adalah sebuah norma kehidupan yang sebenarnya fleksibel dan masyarakat di dalamnya harus mampu menyesuaikan dengan keadaan yang dihadapi masa kini. Hal tersebut demi kehidupan bergereja yang dibangun untuk menunjukkan kasih Allah di tengah dunia.
      Ketertutupan yang terlihat di dalam HKBP dapat menjadi masalah dalam masyarkat majemuk sebagai konteks masyarakat Indonesia. Hal tersebut dapat terjadi karena di dalam masyarakat majemuk, keberagaman telah menjadi realitas sehari-hari yang harus dihadapi oleh masyarakat. Jika dipandang secara positif, bukanlah ketertutupan yang dimaksud melainkan keterikatan yang kuat dalam identitas. Akan tetapi keterikatan tersebut dapat menjadi pemicu jemaat di dalam HKBP untuk membawa dan membangun kembali keterikatan yang dirasakan di kampung halaman. Jika hal tersebut tidak dapat dikomunikasikan dalam tubuh gereja dan masyarakat, maka identitas yang berinteraksi di dalam kemajemukan akan sulit diimplementasikan.
      Kesukuan menjadi hal yang sangat mengikat di dalam HKBP. Identitas kesukuan menjadi salah satu hal yang mengikat bagi jemaat HKBP selain dari iman yang sama di dalam Allah Trinitas. Hal tersebut menjadi faktor yang membuat HKBP sangat identik dengan kesukuan. Hal tersebut sebenarnya tidak menjadi masalah, karena nilai-nilai kesukuan yang ada di dalam tradisi dan budaya Batak Toba dapat saling melengkapi dengan nilai-nilai kekristenan yang dibawa oleh HKBP. Identitas kesukuan di dalam gereja seperti HKBP tidak menjadi masalah selama identitas kesukuan tidak menjadi legitimasi untuk memandang rendah suku lain dan menutup diri dengan perkembagan zaman yang terjadi di dalam masyarakat majemuk. Kiranya HKBP tetap menilik kekristenan, budaya dan kemajemukan menjadi hal yang terus dikomunikasikan dengan seksama tanpa menjadikan representasi dari budaya Batak Toba dan suku lainnya sebagai dasar pijakan dalam memahami kemajemukan.
           
Daftar Acuan
HKBP. 2015. Aturan dohot peraturan HKBP 2002 dung amandemen paduahon. Tarutung:
            Kantor Pusat HKBP.
Pedersen, Paul Bodholdt. 1975. Darah Batak dan jiwa Protestan: Perkembangan Gereja-gereja
            Batak di Sumatera Utara. Terjemahan Maria Th. Sijabat dan W.B. Sijabat. Jakarta:
            BPK Gunung Mulia.
­­­­Priovolakis, Eftichis. 2010. Reading Derrida & Ricoeur: Imporable encounters between
Deconstruction and hermeneutics. New York: State University of New York Press.
Ricoeur, Paul. 1981. Hermeneutika ilmu-ilmu sosial. Terjemahan Muhammad Syukri. Bantul:
            Kreasi Wacana.
___________. 2000. The conflict of interpretations: Essay in Hermeneutics. London: The
Athlone Press.
Sangti, Batara, 1977. Sejarah Batak: Balige: Karl Sianipar Company
Simanjuntak, Bungaran Antonius. 2011. Dalam Peranan orang Batak di tengah masyarakat
majemuk. Dalam Pemikiran tentang Batak: Setelah 150 Tahun Agama Kristen di
Sumatera Utara. Editor Bungaran Antonius Simanjuntak. 133-141. Jakarta: Obor.
Sitompul, Einar M. 2014. Perjalanan sarat muatan: Buku 1 – 65 tahun Pdt. Dr. Einar M.
Sitompul. Jakarta: UPI STT Jakarta.
Sitorus, Eliakim. 2011. Dalam Pendidikan kemajemukan bagi warga gereja. Dalam Pemikiran
tentang Batak: Setelah 150 Tahun Agama Kristen di Sumatera Utara. Editor Bungaran Antonius Simanjuntak. 293-300.
Vergouwen, J.C. 1964. The social organisation and customary law of Toba-Batak of Northern
            Sumatera. Leiden: The Netherland Institute for International Culture Relations.
Website
GoBatak. Filsafah Orang Batak Toba dalam Dalihan Na Tolu http://www.gobatak.com/filsafah-   orang-batak-toba-dalam-dalihan-natolu/ (Diakses 29 Oktober 2016).
Rumametmet. Dalihan Na Tolu. http://rumametmet.com/2007/11/14/dalihan-na-tolu-2/ (Diakses
26 Oktober 2016).

Autobiografi (yang Masih dan Akan Terus Berjalan)

Nama saya Samuel Gunawan Siallagan. Saat ini saya adalah mahasiswa di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta (Sekolah Tinggi Filsafat Theologi Jakarta). Saya adalah mahasiswa tingkat 5 di perguruan tinggi itu. Kehidupan saya memiliki rangkaian yang saya sadari atau tidak telah membentuk cara saya berpikir, memaknai dan menjalani kehidupan saya hingga saat ini. Mungkin melalui rentetan peristiwa ini apa yang saya tuju dan capai terbentuk berdasarkan rentetan peristiwa di dalam kehidupan saya. Di dalam tulisan ini saya hendak menceritakan secara singkat mengenai kehidupan saya dan berbagai faktor berpengaruh di dalamnya.
            Saya adalah seorang anak laki-laki yang berasal dari keluarga Batak tulen. Bapak dan mama (Panggilan akrab saya untuk ayah dan ibu saya) orang Batak tulen dan besar di Kabupaten Simalungun, Provinsi Sumatera Utara. Akan tetapi perjumpaan mereka terjadi di kota Kendari, Provinsi Sulawesi Tenggara. Pada masa perjumpaan itu mereka berada dalam proses saling mengenal hingga akhirnya mereka membentuk rumah tangga pada bulan Juli 1989 di Kendari.
            Ayah saya bernama Tumpak Siallagan. Profesinya saat ini adalah seorang guru di salah satu Sekolah Menegah Pertama Negeri (SMPN) 8 Pematangsiantar. Sedangkan ibu saya bernama Delvia Hutahaean yang saat ini berprofesi sebagai ibu rumah tangga, yang dulunya sempat berwiraswasta sebagai pengusaha salon di Kota Kendari. Melalui usaha tersebutlah mama saya membantuk bapak saya untuk kuliah sampai lulus hingga pada masa-masa awal bapak saya menjalani pekerjaan sebagai seorang guru. Padahal masa itu mama saya juga baru merintis usahanya. Pengalaman hidup mereka membuat saya kadang iri dan berkata dalam hati, “Masih ada nggak ya cerita begitu zaman sekarang? Apa entar gue bisa ketemu pacar yang nanti jadi istri kaya mama sifatnya ya?” Saya sering tertawa sendiri ketika mengingat hal tersebut.
            Mungkin yang membaca tulisan ini bertanya, kenapa saya harus menceritkan tentang masa lalu hubungan orang tua saya? Hal itu menjadi penting karena saya lahir di tengah keadaan orang tua saya yang saat itu sedang mengalami kesulitan di beberapa segi kehidupan, seperti soal pekerjaan, materi dan beberapa masalah lainnya. Selain itu saya juga lahir ke dunia setelah usia pernikahan orang tua saya berjalan kurang lebih enam tahun. Kelahiran saya yang cukup lama dinanti ternyata menimbulkan prasangka buruk dan membuat orang tua saya, khususnya mama saya merasa sedih dengan keadaan tersebut. Mama saya sempat meminta kepada bapak saya untuk menceraikan dia atau mengadopsi anak, tapi bapak saya berkata kepada mama, “Anak itu pemberian Tuhan, nanti pasti Tuhan kasih ke kita kalau sudah berkehendak.” Mereka tetap berdoa sambil menantikan kehadiran saya. Cerita tersebut saya ketahui karena mama saya menceritakannya kepada saya sejak saya masih kecil.
            Berbagai upaya dilakukan oleh kedua orang tua saya untuk memiliki seorang buah hati dalam kehidupan rumah tangga mereka. Dua tahun sebelum saya lahir, kedua orang tua saya sempat pergi ke Makassar untuk berobat kepada seorang dokter ahli kandungan di sana, yang diperkenalan oleh teman kedua orang tua saya. Dokter tersebut bernama dr. Gunawan. Kedua orang tua saya pun menjalani berbagai pemeriksaan medis dan setelah pulang dari Makassar beberapa waktu kemudian akhirnya ibu saya mengandung dan melahirkan saya.
            Saya lahir di Kendari, 20 April 1996. Pada awalnya saya di bawa ke salah seorang bidan di Kendari pada tanggal 19 April 1996 pada sekitar pukul 23.00 WITA. Akan tetapi karena bidan yang menangami persalinan mama saya mengalami kesulitan, saya pun dirujuk ke Rumah Sakit Santa Maria, Kendari. Hal yang membuat persalinan mama saya berjalan sulit karena berat saya di dalam kandungan lebih besar dari kandungan pada umumnya dan yang semakin mempersulit ternyata kista yang ada di dalam rahim ibu saya semakin membengkang dan harus diangkat pada saat itu juga agar saya bisa dilahirkan. Saya pun terlahir ke dunia dan diberi nama Samuel Gunawan Siallagan. Samuel berarti anak yang diminta dari Tuhan, sementara nama Gunawan adalah untuk mengabadikan nama dokter yang membantu kehadiran saya di dunia.
            Itulah sekelumit kehidupan saya pada masa permulaan saya lahir di dunia. Saya menjalani masa kecil saya di Kendari. Saya menjalani masa kecil saya dengan orang-orang dari beragam latar belakang, mulai dari latar belakang suku, agama, dan lain-lain. Saya menjalani masa kecil saya di tengah keberagaman. Terkadang saya merasa perbedaan bisa menjadi sumber konflik dan sumber perkelahian di antara teman-teman saya yang memiliki perbedaan dengan saya. Akan tetapi saya merasa bahwa keberagaman lebih besar dari permasalahan yang hadir karena perbedaan. Pada masa kecil saya, yaitu pada masa saya menjalani sebagian besar pendidikan dasar saya di Kendari saya merasa bahwa perbedaan yang hadir membuat saya dapat mengerti indahnya perbedaan dan saling menghargai perbedaan orang satu sama lain.
            Perjalanan pergaulan saya selama masa kecil dan pendidikan dasar saya berjalan dengan cukup baik. Saya merasa pergaulan saya berjalan dengan penuh tenggang rasa dan saling menghargai. Meski pun begitu beberapa konflik tidak dapat dihindari, namun hal tersebut membuat saya semakin mampu untuk menyikapi pergaulan saya. Saya merasakan pergaulan yang baik dengan orang-orang di sekitar saya pada saat itu. Akan tetapi setelah saya pindah ke Pematangsiantar saya mulai jarang berkomunikasi dengan mereka karena berbagai hal.
            Saya pun pindah ke Pematangsiantar karena ayah saya yang pindah tugas. Pada awal saya mencoba membangun relasi dengan orang-orang di sekitar saya merasa kaget. Pasalnya orang-orang di sekitar saya membangun pola relasi yang berbeda dengan orang-orang yang saya temui sebelumnya. Meski pun saya sudah diperingatkan oleh orang tua saya tentang perbedaan yang ada, namun saya masih tetap kaget menghadapi cara bergaul yang cukup keras dan blak-blakan yang terbangun di Pematangsiantar dengan cara bergaul yang penuh kehangatan di Kendari. Saya sempat tidak mampu untuk beradaptasi meski akhirnya saya perlahan dapat beradaptasi dengan lingkungan baru saya. Seperti itulah masa kecil saya hingga masa saya melaksanakan pendidikan dasar saya.
            Masa saya menjalani pendidikan di Sekolah Menengah Pertama (SMP) penuh dengan tekanan. Saya masuk di salah satu sekolah katolik favorit di Pematangsiantar. Pada awalnya saya berekspektasi dapat mengembangkan diri saya dengan baik. Saya dapat menyelesaikan pendidikan saya di tempat tersebut dengan cukup baik. Akan tetapi saya merasa bahwa pada masa saya menjalani pendidikan menegah pertama ini ada hal yang membekas di dalam diri saya yang membawa pengaruh besar dalam kehidupan saya.
            Pada masa saya menjalani masa pendidikan di SMP diwarnai dengan berbagai candaan. Akan tetapi saya sering kali menjadi “korban” candaan tersebut. Bahkan saya merasa bahwa candaan tersebut terasa seperti bullying, meski saya tahu bahwa teman-teman saya menganggap semua itu sebagai candaan. Saya diberi nama panggilan Mutem (Muka Tembok) buat saya. Padahal arti dari kiasan tersebut adalah tidak tahu malu. Sampai saat ini saya tidak tahu apa alasan mereka memanggil saya seperti itu, namun saya merasa bahwa hal tersebut mengganggu saya. Meski pun saya sudah mengatakan kepada teman-teman saya bahwa saya tidak suka dipanggil seperti itu, tapi mereka tetap ngotot dan masih memanggil saya dengan panggilan seperti itu. Semakin hari semakin sering saya dipanggil dengan sebutan itu, bahkan saya merasa panggilan itu telah melekat di dalam diri saya pada saat itu.
            Pada masa SMA saya merasakan berbagai hal yang membentuk saya menjadi pribadi seperti yang sekarang. Pada masa SMA saya merasakan pembentukan diri melalui berbagai pengalaman ekstrakulikuler, khususnya di berbagai bidang organisasi di sekolah. Kesempatan yang saya peroleh di dalam organisasi yang saya ikuti membuat saya belajar untuk mengambil berbagai nilai kehidupan dari berbagai fenomena yang terjadi di sekitar kehidupan saya. Selain itu di satu sisi saya juga belajar untuk membangun kehidupan saya dan mengambil pelajaran berharga dari kehidupan dan pemikiran orang lain.
            Pada masa SMA ini juga saya mulai mencari tempat untuk menemukan sebuah wadah yang dapat menjadi tempat saya untuk menjalani perjalanan kehidupan saya, terlebih lagi di dalam perjalanan spiritual. Pada masa awal SMA saya cukup tertarik untuk mengikuti kegiatan kerohanian Kristen yang ada di dalam sekolah. Akan tetapi saya merasa pada saat itu bahwa saya merasa dipaksa untuk mengikuti berbagai program untuk bisa dikatakan sebagai “Anak Tuhan”. Saya merasa tidak nyaman dengan relasi dan cara berpikir yang coba dibangun pada saat itu, sehingga saya memutuskan untuk meninggalkan persekutuan tersebut dan hanya menjadi pendengar di tengah komunitas Kristen tersebut. Rasa kesal saya semakin bertambah ketika Ujian Nasional. Banyak siswa-siswi yang aktif dalam persekutuan siswa Kristen mengatakan untuk tidak menggunakan kunci jawaban sewaktu UN dengan cara yang lebay. Ternyata sebagian besar dari mereka yang saya tahu tidak dapat melaksanakan apa yang mereka katakan. Pada saat itu saya merasa bahwa iman harus ditunjukkan, tidak hanya dikatakan.
            Petualangan saya dalam upaya menjajaki perjalanan spiritual saya perlahan terbentuk di gereja. Saya mulai aktif di remaja gereja yang sebenarnya saya bentuk bersama dengan beberapa teman-teman saya di bawah bimbingan seorang vikaris alumnae Sekolah Tinggi Teologi (STT) Jakarta. Pada saat itu kami berusaha membangun organisasi tersebut mulai dari nol, tanpa ada bantuan apa pun dari gereja. Kesulitan dan kebahagiaan yang datang di saat bersamaan dalam membangun dan menjalankan organisasi remaja di dalam gereja membuat saya meraskan bahwa inilah sebenarnya perjuangan. Sebuah bentuk perjalanan yang mengingatkan saya keyakinan di dalam iman terhadap berbagai hal yang dikerjakan di dalam kehidupan. Saya tertampar melalui perjalanan saya di dalam persekutuan remaja di gereja saya bahwa hidup dan berbagai seluk-beluknya adalah perjuangan.
            Pada masa SMA ini juga saya merasa bahwa cita-cita saya kalah pamor dengan cita-cita teman-teman saya lainnya. Pada saat itu saya memilih untuk tidak mengikuti semua jalur penerimaan mahasiswa baru di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan Perguruan Tinggi Kedinasan (PTK). Saya memutuskan hal tersebut karena saya sudah bertekad untuk mengikuti seleksi penerimaan mahasiswa baru di STT Jakarta. Akan tetapi banyak orang yang mempertanyakan keputusan saya dan bahkan sebagian orang, termasuk beberapa guru saya yang beragama Kristen mentertawakan cita-cita saya. Salah satu perkataan yang saya ingat adalah bahwa saya tidak memiliki bakat sebagai pendeta (salah satu anggapan tentang mahasiswa teologi yang harus jadi pendeta). Hal tersebut membuat saya sempat kurang percaya diri untuk mencoba masuk ke dalam dunia teologi sebagai pilihan saya.
            Pengalaman saya di dalam pelayanan remaja dan pemuda di gereja serta berbagai pandangan yang “memandang sebelah mata” terhadap keinginan saya membuat tekad untuk mencoba peruntungan untuk mengikuti tes di STT Jakarta semakin bulat. Saya merasa bahwa keyakinan saya pada saat itu adalah jawaban dari doa saya terhadap pergumulan yang sedang saya hadapi. Akan tetapi di saat rasa percaya diri itu mulai bertumbuh, rasa percaya diri yang saya butuhkan untuk memantapkan pilihan saya itu pun kembali runtuh. Pasalnya keraguan kembali muncul dari dalam diri saya karena orang-orang terdekat saya. Bahkan keraguan kali ini membuat saya benar-benar pesimis, karena keraguan tersebut muncul dari kedua orang tua saya, terutama ayah saya.
            Motivasi saya perlahan terbangun dengan cara yang tidak terduga. Hal pertama dimulai dari sharing saya dengan dua orang vikaris HKBP yang merupakan alumni STT Jakarta. Teladan yang mereka tunjukkan melalui pelayanan dan kerja sama saya dengan mereka di persekutuan remaja dan pemuda tempat saya berjemaat membuat saya sangat ingin mampu menjadi pendeta yang baik. Terlebih lagi kedua orang tersebut memberikan saya berbagai motivasi untuk dapat mencapai cita-cita saya. Bahkan sampai pada masa saya menjalani kuliah di STT Jakarta, saya selalu mendapat motivasi sampai saat ini agar belajar dengan baik dan membangun pemikiran untuk mempergunakan ilmu yang didapatkan di STT Jakarta dengan baik.
            Salah satu motivasi terbesar yang sangat berbekas bagi saya adalah motivasi dari saudara-saudara yang bukan berasal dari kalangan Kristen Protestan. Saya mendapat motivasi lebih dari teman-teman saya yang beragama Islam dan Katolik. Di saat rekan-rekan saya yang sesama Protestan ragu bahkan sampai ada yang menertawakan cita-cita saya, mereka hadir memberi motivasi dan semangat yang membuat saya sempat heran dengan apa yang mereka berikan. Bahkan seorang guru agama Islam di sekolah saya sangat mendukung saya dan terus memotivasi saya untuk mengejar cita-cita saya untuk belajar teologi dan menjadi pendeta. Bahkan ketika saya pulang ke Pematangsiantar pada tahun 2014 dan 2015, saya disambut oleh beliau dan pada saat yang bersamaan beliau menunjukkan rasa bangganya dengan pencapaian saya. Hal tersebut membuat saya terharu dan berpikir bahwa cara Sang Misteri mengangkat motivasi umat-Nya sungguh penuh dengan misteri.
Ayah saya benar-benar meragukan saya pada saat itu. Dia mengatakan kalau saya tidak akan mampu mengikuti pembelajaran di teologi kalau saya masih mempertahankan cara belajar saya yang super malas di SMA. Selain itu ayah saya menekankan bahwa saya masih kurang berusaha untuk memperbaiki diri. Akan tetapi di satu sisi ayah saya hanya mengizinkan saya untuk menekuni bidang teologi di STT Jakarta, yang menurutnya sebagai tempat belajar teologi terbaik saat ini. Di satu sisi saya melihat keraguan yang besar di dalam diri saya karena kondisi tersebut. Akan tetapi di balik itu saya melihat adanya harapan besar dari orang yang saya kasihi, yaitu ayah saya untuk memacu saya agar dapat belajar teologi di tempat yang terbaik.
            Keraguan lain yang muncul ketika saya mencoba untuk membangun masa depan saya melalui pendidikan teologi muncul dari ibu saya. Kekhawatiran terbesar ibu saya adalah bahwa saya akan kesulitan ketika saya berada di perantauan ketika saya berada di Jakarta. Akan tetapi saya melihat bahwa kekhawatiran ibu saya muncul dari berbagai pandangan di lingkungan sekitarnya. Ibu saya tidak begitu memahami mengenai dunia akademis, hal tersebut membuat ibu saya cenderung mendengarkan pendapat lain di luar dirinya soal akademis atau dunia pendidikan. Hal tersebut sempat membuat ibu saya mendorong saya untuk kuliah di STT HKBP. Akan tetapi ayah saya tidak setuju dengan ibu saya, bahkan mereka sempat bertengkar karena menurut ayah saya STT HKBP tidak akan menghasilkan teolog yang berbudi pekerti dengan keadaan STT HKBP yang menurut ayah saya sedang dalam keadaan kurang baik. Sementara ibu saya pada saat itu belum siap untuk terpisah jarak dan waktu dengan saya, anak satu-satunya di dalam keluarga. Keraguan terhadap diri saya dan impian saya terus bermunculan dalam upaya saya membangun mimpi saya untuk menjadi seorang pendeta dan teolog.
            Saya pun tetap memberanikan diri saya untuk mengikuti tes di STT Jakarta, dengan keraguan dari berbagai pihak dan rasa percaya diri yang minim di dalam diri saya. Akan tetapi ayah dan ibu saya tetap memberikan dukungan mereka kepada saya, meski ayah saya hingga pada hari terakhir saya mengikuti tes terlihat sekali keraguannya terhadap kemampuan saya. Meski pun begitu ayah saya tetap mengantar dan mendampingi saya untuk mengikuti tes masuk STT Jakarta. Sementara ibu saya tetap mendukung saya meski sebenarnya hatinya berat untuk jarang bertemu dengan saya dan pada akhirnya ketika saya telah diterima menjadi mahasiswa STT Jakarta dan melengkapi administrasi saya, ibu saya mengantar dan menemani saya di masa awal sebagai seorang mahasiswa.
            Mungkin bagi sebagian orang pencapaian atau kelulusan tes masuk sekolah teologi adalah hal biasa. Akan tetapi bagi saya hal tersebut termasuk hal yang sangat membahagiakan dalam hidup saya. Salah satu hal yang membuat saya bahagia adalah belajar teologi merupakan langkah awal untuk menggapai cita-cita saya untuk menjadi seorang pendeta. Saya juga melihat bahwa di balik pencapaian saya sebenarnya saya telah membalikkan anggapan-anggapan yang menyudutkan dan meremehkan kemampuan saya. Bahkan ayah saya sendiri terheran ketika tahu bahwa anaknya sekarang diterima sebagai mahasiswa STT Jakarta. Meski pun begitu nilai motivasi sangat terasa di dalam keraguan dari berbagai pihak jika diambil sisi positifnya. Saya merasa bahwa keraguan membuat kita akan berusaha dengan sekuat dan secerdas mungkin untuk menggapai cita-cita atau keinginan, dan mempersiapkan diri dengan segala kemungkinan yang dapat terjadi.
            Pada saat ini saya menjalani proses belajar di STT Jakarta. Akan tetapi saya kembali tenggelam dalam keraguan dan kepercayaan diri yang rendah. Meski pun begitu saya mencoba untuk memberikan yang terbaik selama saya menjalani proses studi ini. Saya selalu berharap, berusaha dan berdoa agar dimampukan melewati dan memaknai setiap proses yang ada agar dapat memberikan yang terbaik nantinya di dalam kehidupan saya sehari-hari. Saya telah menjawab salah satu hal yang diragukan orang lain terhadap saya di dalam kehidupan yang saya jalani. Saya juga telah melewati hidup yang penuh candaan namun menyakitkan hati dari teman-teman saya sendiri. Akan tetapi saya masih belum mampu membangun kepercayaan diri saya. Kiranya melalui proses berteologi yang saya telah jalani, sedang jalani dan akan saya lanjutkan dapat membangun diri saya untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Kiranya misteri kehidupan dari Sang Misteri dapat membuat saya lebih memaknai kehidupan.

Ahok, Bom Samarinda dan Curhatan Si Minoritas

Disclaimer: Tulisan ini terserah pada pembaca apakah mau diseriusin apa tidak. Ini hanya curahan hati yang tidak menggunakan studi ilmiah, jadi santai aja vroh bacanya. Enaknya dibaca sambil nyeruput kopi, makan gorengan dkk.

Semenjak bapak Basuki Tjahja Purnama a.k.a Ahok mencalonkan diri menjadi Gubernur DKI Jakarta, media massa di Indonesia mendadak terasa seperti tv series yang peran utamanya adalah Ahok. Bapak Gubernur petahana yang satu ini dicecar mulu oleh berbagai pihak, mulai dari kritik dan saran yang berisi sampai cacian dan hinaan yang nggak jelas apa faedahnya. Tapi tenang dulu bro, sis. Pembahasannya bukan soal politik kok. Lagian gue juga enggak begitu paham politik, entar kalau gue salah nulis di blog ini, tulisan gue dipelintir terus dibilang penistaan (Ups maaf, kecepelosan).

Pertarungan politik antara bapak Ahok dan lawan-lawannya bagi saya termasuk di dalamnya sangat terasa unsur SARA di dalamnya. Gara-gara itu gue jadi mikir, apakah politik sekejam itu, sampai-sampai agama yang menurut gue itu penuh dengan kasih (meski pun dalam kitab suci beberapa agama, termasuk Kristen di dalamnya terdapat unsur kekerasan yang harus diinterpretasi dengan baik) itu bisa dengan seenak jidat dipelintir demi libido politik, kepentingan dan superioritas para pemegang kepentingan di negeri kepingan surga ini?

Media massa di negeri ku ini gak berhenti blow up berita tentang perkembangan pilkada DKI Jakarta. Ada yang pro banget sama pak Ahok, ada juga yang kontra. Media semakin panas memberitakan tentang kiprah pak Ahok setelah video tentang pernyataan pak Ahok (yang katanya) menistakan agama. Perdebatan semakin hari semakin panjang karena satu kasus ini. Energi masyarakat di berbagai penjuru negeri ikut tersita dengan kasus ini. Gue sendiri juga sempat panas kok liat kasus model begini. Tapi gue coba berusaha setidaknya untuk mikir bahwa permasalahan sebenarnya bukan penistaan agama. Ah sudahlah! capek bahas ginian, udah capek gak bisa bikin badan langsing pulak (maap yang nulis curhatan ini perutnya ....... ah sudahlah!).

Kasus pak Ahok yang dianggap menistakan agama ini semakin hari semakin panas. Bahkan semakin hari semakin terasa juga adanya "joki" yang menunggangi pembelaan ini untuk "hasrat" mereka yang belum tersalurkan. Di tengah hiruk pikuk kasus yang tidak jelas simpul benang kusutnya ini, ddddddddddddduuuuuuuuuaaaaaaaarrrrrrrr. Bom meledak di sebuah gereja di Samarinda. Akan tetapi entah ini perasaan gue doang atau nggak, berita ini rasa-rasanya kurang di blow up sama media. Apa karena berita ini tidak membawa keuntungan materil? (Tuh kan, jadi buruk sangka duluan gue).

Bom telah meledak di Samarinda. Berdasarkan beberapa informasi yang gue dapat, pelakunya adalah seorang yang melakukan peledakan tersebut adalah seorang yang memakai baju yang menjelaskan Jihad sebagai jalannya hidupnya (tapi ente ga boleh berprasangka buruk dulu coy soal jihad!!!!). Gue sih nggak tau pasti apa motif dari pelaku kejadian itu. Tapi entah kenapa gue percaya kalau kejadian itu tidak sesederhana yang dibayangkan. Bisa jadi kan ada banyak motif di dalam perbuatan itu. Jangan seenak jidat aja kita bilang ini itu tanpa bukti, yang ada malah bikin suasana makin keruh, udah gitu makin gak karuan.

Satu hal yang menyayat hati gue saat ini adalah korban meninggal dan luka waktu bom meledak di gereja di daerah Samarinda itu yang terekspos media adalah ANAK-ANAK. Kenapa tulisannya huruf gede semua? Capslock gue gak jebol kok, biar pun ini laptop mulai banyak penyakitnya. Gue rada bingung aja lihat peristiwa ini. Kasian amat itu bocah-bocah masih kecil, masih manis-manisnya, lugu-lugunya, asyik-asyiknya main sudah diajak berkenalan sama bom. Mana ada satu anak yang harus meregang nyawa karena perbuatan yang gue juga makin burem liatnya. Adek intan sudah dipaksa meregang nyawa, melawan luka bakar yang menggerogoti tubuh mungilnya itu. Di tengah kebahagiaan beberapa anak di tempat lain yang didatangi oleh sukacita, dia justru didatangi oleh seseorang yang membawa oleh-oleh berupa bom, yang sialnya memaksa intan meregang nyawa, Astaga dek, ngeri kali lah orang itu memang sama mu. Semoga tenang di sisi-Nya ya, doakan kami yang masih berjuang buat paham apa itu makna perdamaian.

Dua peristiwa itu, fenomena pak Ahok dan ledakan bom di Samarinda membuat gue mikir, dimana itu rasa saling menghargai yang gue dengar selama ini? Toleransi hanya menjadi kata manis sampe buat yang dengar rasa rasa kaya kelebihan gula untuk mengajak masyarakat yang beragam ini untuk hidup dalam damai. Sebuah konstruksi kedamaian yang masih buram kesinambungan antara makna dan pelaksanaannya. Mayoritas harus menghargai minoritas, duh ini lagi yang buat gue makin bingung, keliatan seperti ada pihak yang lemah dan ada pihak yang kuat, yang banyak bersuara yang sedikit terbungkam, termasuk dalam hal agama. Padahal (katanya) di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ini semua orang dijamin kehidupannya, tapi sebagian dari kita sudah tahu jawabannya.

Gue cuma bisa berharap di tengah kisruh bangsa ini soal penistaan agama, kebenaran siapa yang paling benar, bangsa kita dapat belajar dari peristiwa yang terjadi belakangan ini. Tapi kalau gue liat bakal susah malah cenderung mustahil kalau masyarakat tidak mau membuka mata soal perbedaan dan adanya kebenaran yang lain di tengah kehidupan sehari-hari. Ini celoteh gue soal keadaan yang carut marut belakangan ini. Kalau banyak salah-salah kata mohon dimaafkan. Tulisan ini tidak lebih dari luapan emosi yang coba diceritakan. Luapan emosi akan memori indah dan syair indah tentang sebuah negeri kepingan surga, yang hidup rukun damai dalam rasa saling menghargai, tanpa ada embel-embel mayoritas-minoritas, retorika soal toleransi dan antek-anteknya.




Kamis, 26 Mei 2016

Christian Nurture Bushnell dan Perjalanan Iman dan Kehidupan Anak

Setiap manusia akan terus mengalami perkembangan dalam kehidupan. Perkembangan yang dialami oleh manusia terdiri dari berbagai aspek, mulai dari perkembangan fisik, psikis hingga perkembangan iman. Jika mengingat pentingnya pertumbuhan di dalam diri manusia, maka perlu untuk merumuskan mengenai pertumbuhan yang membuat manusia bertumbuh menjadi semakin baik.
            Tulisan ini akan mencoba membahas mengenai pertumbuhan berdasarkan perspektif Pendidikan Kristiani. Pembahasan dalam tulisan ini akan menggunakan teori pertumbuhan dalam buku Horace Bushnell, yaitu Christian Nurture. Teori Bushnell di dalam tulisan ini akan menjadi “kacamata” untuk melihat pertumbuhan anak, khususnya pertumbuhan anak pada masa kini. Hal tersebut menjadi penting mengingat masa kanak-kanak menjadi salah satu masa krusial dalam pertumbuhan manusia.    
Riwayat Hidup Horace Bushnell
            Horace Bushnell adalah seorang teolog yang membawa pengaruh signifikan bagi Pendidikan Kristiani. Bushnell lahir pada tanggal 14 April 1802. Bushnel adalah anak sulung dari tiga bersaudara. Bushnell adalah anak dari ayah seorang petani, tapi Bushnell dibesarkan dalam keluarga yang beriman dan dididik dengan bijaksana oleh kedua orang tuanya. Keluarga mereka menjadi keluarga yang harmonis (Boehlke 2011, 439).
            Masa kanak-kanak Bushnell dapat dikatakan cukup bahagia. Bushnell dididik dalam keluarga yang bijaksana dan dapat bekerja sama satu dengan yang lain. Selain itu Bushnell juga dididik dalam lingkungan keluarga yang beriman. Akan tetapi pada masa inilah Bushnell merasakan kemerdekaan seorang anak yang dapat mengambil keputusan sendiri yang berkaitan dengan iman. Pada usia sembilan belas tahun Bushnell akhirnya menjadi anggota jemaat Kongregasional. Setelah itu dia melanjutkan pendidikannya di Yale University. Pada saat menjadi mahasiswa dia dikenal sebagai mahasiswa yang rajin, cerdas, bijaksana dan aktif dalam berbagai kegiatan (Boehlke 2011, 439-441).  
            Kebangunan rohani yang melanda Yale University pada saat itu turut mempengaruhi pengalaman iman Bushnell. Pada masa munculnya kebangunan rohani tersebut, Bushnell memutuskan untuk beralih dari bidang hukum ke dalam jabatan pendeta. Ketika sudah menjadi pendeta Bushnell mengkritik cara berkhotbah para pendeta pada masa kebangunan rohani. Menurut Bushnell cara berkhotbah yang banyak dipertunjukkan pada masa itu. Bushnell melihat adanya siasat untuk membuat jemaat memenuhi maksud dari penginjil. Pertentangan tersebut didasari oleh pemahaman Bushnell bahwa iman akan bertumbuh secara alamiah di dalam kehidupan, termasuk di dalam rumah tangga (Boehlke 2011, 442-433).
            Perjalanan iman Bushnell semakin berat ketika dia terus mengalami gangguan kesehatan yang mengganggu aktivitasnya. Di tengah sakit yang dialaminya, Bushnell terus berkarya, baik dalam karya akademis melalui pemikiran-pemikirannya atau melalui karya nyata di tengah lingkungannya. Bushnell tetap fokus dalam pelayanan Rohani dan petualangan imannya. Sampai akhirnya pada 17 Februari 1876 dia menghembuskan nafas terakhirnya dengan meninggalkan banyak buah pemikiran (Boehlke 2011, 448-449).
Pemahaman Bushnell tentang Pendidikan Agama Kristen
            Bushnell adalah salah satu tokoh yang membawa pengaruh di dalam pendidikan kristiani. Bushnell menekankan mengenai pentingnya penanaman nilai-nilai Kristiani. Penanaman nilai di dalam diri manusia yang dilakukan sedini mungkin. Nilai-nilai yang ditanamkan fokus kepada bagaimana membuat naradidik mencintai hal-hal baik sedini mungkin (Bushnell 1960, 4). Jika berdasar pada pemahaman Bushnell maka pendidikan Kristiani fokus pada penanaman nilai-nilai kebaikan.
            Teori yang dipaparkan oleh Bushnell pada saat itu berdasarkan konteks kebangunan rohani. Pada saat itu gereja dan orang tua cenderung mengabaikan pengajaran dan pertumbuhan dalam Iman Kristen. Padahal tuntunan dalam pertumbuhan anak mampu membuat anak mengenal berbagai hal di dunia. Pemahaman yang berkembang pada saat itu justru menekankan mengenai kuasa Roh yang mengubahkan pemahaman iman orang-orang, termasuk anak-anak secara radikal (Lawson 2001, 23).

Pertumbuhan sangat dipengaruhi oleh lingkungan sekitar. Pertumbuhan anak ditentukan juga oleh didikan di sekitarnya. Orang tua menjadi pendidik terdekat bagi anak. Akan tetapi orang tua juga bisa membawa pengaruh kurang baik dalam pertumbuhan anak. Bushell dalam teorinya membahas mengenai peran orang tua dalam pertumbuhan anak. Menurut Bushnell orang tua jangan memaksakan harapan pada anak dalam masa pertumbuhan. Anak bertindak sesuai dengan perasaan yang dialami saat itu juga. Hal tersebut akan menjadi masalah, karena pada masa anak-anak manusia dapat ditanamkan berbagai nilai-nilai, termasuk nilai kekristenan yang dipaksakan  (Bushnell 1960, 5).
            Harapan dan ajaran mengenai berbagai nilai hanya diberikan dari satu sudut pandang. Pertumbuhan di dalam iman Kristen jangan dipandang hanya dalam satu sisi. Sebagai pendidik, manusia tidak dapat memusatkan pemahaman nilai hanya kepada dirinya saja. Gereja atau orang-orang yang memiliki kuasa atas pendampingan dalam pertumbuhan harus mampu mewujudnyatakan nilai-nilai Kristiani. Masa anak-anak diharapkan menjadi masa manusia melihat bentuk kebaikan, tidak hanya definisi kebaikan (Bushnell 1960, 7).
Penekanan mengenai kemerdekaan anak jangan sampai disalahartikan oleh orang tua. Pasalnya orang tua tetap harus menciptakan kondisi yang baik untuk pertumbuhan anak. Orang tua di dalam proses pendidikan anak harus menunjukkan nilai-nilai kasih di tengah keluarga. Perbuatan baik yang dilakukan oleh anak tidak hanya berasal dari keputusan pribadi yang diambil oleh anak. Pengalaman yang baik mengenai hidup dalam kasih dan dalam nilai-nilai Kristiani yang membuat anak memahami pengalaman imannya (Boehlke 2011, 467).
            Nilai-nilai Kristiani yang harus ditanamkan menurut Bushnell harus dimulai sejak usia dini. Manusia sejak usia dini harus ditanamkan mengenai cara hidup di dalam iman Kristiani. Penanaman nilai-nilai Kristiani sejak dini dapat dimulai dari kedua orang tuanya. Jika hal tersebut sudah terpenuhi, maka manusia tidak memerlukan perubahan iman yang radikal. Iman anak akan bertumbuh secara bertahap melalui pengalaman hidup mereka sehari-hari (Lawson 2001, 23). Hal tersebut juga dapat didukung dengan kebebasan anak dalam melewati dan menentukan pilihannya dalam perjalanan iman mereka.
Bushnell juga menekankan mengenai pengajaran akan perbuatan yang baik dan benar. Ketika membicarakan mengenai perbuatan yang baik dan benar, orang tua atau pendidik perlu membedakan antara perenungan mengenai apa itu yang baik dan ketaatan yang dapat diperlihatkan atau dipraktikkan dalam nilai-nilai kebaikan. Anak-anak jangan hanya diberi penekanan emosional mengenai hal yang baik dan benar. Akan tetapi anak harus memahami dan mencintai perbuatan baik melalui hal-hal yang konkret. Ketika hal tersebut tercapai maka nilai-nilai kebaikan akan menjadi nilai yang vital dalam kehidupan anak-anak, sebagai bagian dari perjalanan iman anak-anak (Bushnell 1960, 16).
            Teologi Bushnell mengenai pengalaman pribadi turut menentukan pemahaman Bushnell mengenai Pendidikan Kristiani. Menurut Bushnell proses pertumbuhan dan pemahaman iman seseorang ditentukan oleh pengalaman pribadi. Pemahaman khas akan sesuatu di dalam kehidupan sangat tergantung dari pengalaman seseorang. Boehlke memberi ilustrasi seperti dua orang yang mencoba membandingkan rasa manis sebuah duku, satu menganggap rasanya manis akan tetapi yang lain tidak. Seperti itulah kira-kira bagaimana pengalaman pribadi menentukan pemahaman akan nilai kebaikan dan iman (Boehlke 2011, 453).
            Bahasa keagamaan hanya dapat diucapkan melalui kiasan atau ibarat. Ibarat dapat diartikan sebagai sebuah upaya untuk menggambarkan pemahaman-pemahaman tertentu dengan cara yang lebih mudah dipahami. Akan tetapi sifat dari bahasa keagamaan hanya sebagai ibarat untuk menjelaskan pengalaman iman. Ibarat itu tidak sama dengan kenyataan-kenyataan yang hendak ditunjukkan melalui ibarat tersebut (Boehlke 2011, 454). Berdasarkan pemahaman tersebut maka ibarat tidak sepenuhnya dapat menggambarkan pemahaman iman melalui pengalaman pribadi.  Pemahaman pribadi tetap menjadi bagian penting dalam pertumbuhan iman.
            Bushnell yang menekankan pada Pendidikan Kristiani yang fokus pada anak menjabarkan bahwa anak-anak adalah bagian dari organisme dalam keluarga. Boehlke menjelaskan bahwa Pendidikan Kristiani di dalam keluarga adalah bagian dari organisme yang belajar bersama. Belajar bersama akan membuat setiap bagian dari keluarga, termasuk anak akan lebih dekat dengan prakarsa Allah. Mereka akan memperkuat fondasi kehidupan yang saling melengkapi satu sama lain, bukan saling mendominasi dan mengupayakan hidup yang mengutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi (Boehlke 2011, 485).
             Jika kita melihat penjabaran dari Bushnell, maka terlihat bahwa anak-anak dalam perkembangan imannya harus tetap dalam pendampingan lingkungan sekitarnya. Orang tua yang menjadi pendamping paling dekat bagi anak dalam petualangan imannya. Orang tua harus mampu menyediakan ruang bagi anak untuk pertumbuhan iman mereka. Kesadaran akan pentingnya pertumbuhan iman harus disadari betul oleh orang tua. Karena iman anak tidak akan tumbuh dengan sendirinya.
            Kesimpulan yang dapat diambil dari teori Bushnell adalah pengembangan diri. Harapan yang hendak dicapai melalui pendekatan ini adalah iman akan bertumbuh menjadi iman yang tidak statis. Pola asuhan yang hendak diterapkan oleh Bushnell bukan hanya sekedar penambahan pengetahuan. Akan tetapi yang hendak ditekankan oleh Bushnell adalah teori dan praktik dalam nilai Kekristenan (Boehlke 2011, 462).
Pertumbuhan Iman Anak pada Masa Kini
            Ada anggapan yang menyatakan bahwa pada masa kanak-kanak adalah masa yang mudah untuk membentuk seorang manusia. Masa kanak-kanak dianggap sebagai masa yang paling mudah untuk memasukkan berbagai nilai kehidupan dalam diri manusia. Jika anggapan tersebut benar, maka pada masa kanak-kanak tidak tertutup kemungkinan akan mudah membentuk iman manusia. Untuk memahami perkembangan anak dapat dibantu dengan melihat berdasarkan tiga tahap perkembangan dalam teori perkembangan kepercayaan James W. Fowler:
·         Eksistensial tak Terdiferensiasi
Pada masa ini anak-anak berada dalam masa bayi. Artinya pada masa ini adalah masa penjajakan hubungan dengan lingkungan sekitar. Pada masa ini anak akan mulai terbentuk rasa percayanya terhadap orang tua dan lingkungan sekitar. Pada masa ini sulit untuk diteliti secara empiris mengenai perkembangan iman anak  (Downs 1995, 77).
·         Kepercayaan Intuitif-Proyektif
Anak dalam masa ini berada pada usia enam atau tujuh tahun. Anak pada masa ini lebih menekankan pada pengalaman inderawi dalam membentuk pemikirannya. Sehingga penjelasan mengenai orang tua yang sifatnya sebab-akibat sulit untuk dipahami oleh anak-anak. Pada masa ini juga anak-anak dalam cara berpikirnya masih egosentris, karena belum mampu untuk mengakomodir dua pemikiran yang berbeda. Pada masa ini pertumbuhan akan berbahaya jika anak terlalu dieksploitasi untuk memperkuat ajaran moral doktrinal (Supratiknya 1995, 115-117, 131). Hal tersebut juga tidak menutup kemungkinan terjadi pada pertumbuhan iman.
·         Kepercayaan Mistik-Harfiah
Pada masa ini anak akan memiliki pemikiran yang lebih logis dan terstruktur. Pada masa ini juga anak akan belajar untuk memisahkan hal-hal yang nyata dan semu. Pertumbuhan pada masa mistis harafiah akan mampu membantu anak untuk memadukan pengalaman ke dalam bentuk cerita. Pada masa ini juga anak-anak telah mampu mengambil perspektif dari orang-orang dewasa di sekitarnya dan membandingkan dengan pengalaman mereka (Supratiknya 1995, 132-133).
            Penjabaran mengenai teori perkembangan kepercayaan dari James W. Fowler tersebut dapat dikatakan mendukung teori Bushnell tentang pertumbuhan iman dalam kehidupan. Tiga bagian tahapan perkembangan iman dalam teori Fowler menunjukkan adanya proses pemaknaan dalam ketiga tahap tersebut.
Pemaknaan di dalam kehidupan dapat memunculkan pengalaman pribadi bagi anak. Pengalaman pribadi akan menentukan bagaimana cara seorang anak memaknai iman mereka melalui proses perkembangan (Boehlke 2011, 453). Terlepas dari perbedaan cara memaknai hal-hal yang terjadi di dalam kehidupan, yang terpenting adalah dari proses tersebut anak dapat memahami dan membentuk cara berpikirnya mengenai hidup mereka, termasuk iman mereka.
Pendidikan yang hendak ditanamkan oleh Bushnell bertujuan agar perkembangan iman anak dapat berlangsung secara dinamis (Boehlke 2011, 462). Akan tetapi apakah prinsip dari Bushnell masih dapat diterapkan pada zaman globalisasi seperti sekarang ini? Pertanyaan tersebut muncul mengingat perbedaan konteks pada masa Bushnell dan masa kini yang terlihat sangat kontras.
  Prinsip dasar yang perlu diingat dalam pendidikan anak di keluarga dalam teori Bushnell adalah membuat kehidupan yang kondusif bagi anak. Orang tua harus memberi perhatian yang baik kepada anak-anaknya. Pasalnya jika orang tua jarang memberikan waktu dan perhatian untuk anaknya, maka masa-masa untuk melatih kepekaan iman anak dan berproses bersama anak tidak akan terulang lagi (Boehlke 2011, 480-481).
Anak-anak semakin dekat dengan media informasi, misalnya televisi. Anak-anak tidak dapat terhindarkan dari berbagai informasi yang dapat mempengaruhi perkembangan pribadi dan iman mereka. Jika anak-anak tidak didampingi dalam pertumbuhan mereka, maka anak-anak akan memiliki sensitivitas yang kurang peka (Carrol 1990, 258-259). Akan tetapi hal tersebut akan sulit terealisasi jika orang tua tidak memahami betapa pentingnya pendampingan dalam tumbuh kembang anak, termasuk dalam pertumbuhan iman melalui proses dan pengalaman dalam kehidupan.
Orang tua seharusnya tidak melalaikan tanggungjawab untuk mendampingi pertumbuhan anak. Orang tua juga disatu sisi tidak boleh otoriter terhadap anak. Orang tua dituntut harus menjadi orang tua yang berwibawa dalam mendidik anaknya. Jika hendak melakukan pendekatan seperti ini maka perlu disadari oleh orang tua bahwa mereka harus menjadi pihak yang paling peka terhadap kebutuhan anak. Akan tetapi dalam batas-batas tertentu berdasarkan situasi dan kondisi yang terjadi pada proses pertumbuhan anak (Collins 1990, 103).  
            Jika orang tua telah mampu bijaksana dalam menyikapi perkembangan anak. Maka orang tua dapat melaksanakan berbagai hal-hal yang mendukung dalam pertumbuhan iman anak. Usaha orang tua untuk menjadi lebih bijaksana adalah bentuk upaya mewujudkan orang tua yang mendidik berdasarkan nilai-nilai Kristen. Orang tua juga harus menyikapi perkembangan iman anak dengan bijaksana. Selain itu orang tua harus menyadari bahwa orang tua harus menyediakan sarana yang tepat dan mampu mengembangkan daya berpikir anak mengenai iman mereka (Boehlke 2011, 481, 488). Akan tetapi yang terpenting adalah orang tua harus mempraktikkan pemahaman iman mereka agar anak-anak memiliki contoh yang konkret dalam perkembangan iman (Katolisitas website 2016).
Kesimpulan dan Refleksi
             Teori Bushnell mengenai pertumbuhan secara kristiani berfokus pada anak dan orang tua. Hal tersebut menunjukkan bahwa orang tua dan anak adalah satu kesatuan dalam keluarga. Perkembangan anak turut ditentukan oleh orang tua dan lingkungan sekitar. Akan tetapi upaya anak untuk menemukan nilai-nilai kehidupan dan imannya tidak dapat disisihkan oleh orang tua. Pemahama-pemahaman yang coba dijabarkan oleh Bushnel masih relevan untuk masa kini, yang menekankan anak yang terus mengeksplorasi iman dan orang tua yang peka terhadap anak.

Daftar Acuan
Boehlke, Robert R. 2011. Sejarah perkembangan pikiran dan praktek Pendidikan Agama
Kristen: Dari Yohanes Amos Comenius sampai perkembangan PAK di Indonesia.
Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Bushnell, Horace. 1960. Christian Nurture. New Haven: Yale University Press.
Carrol, David. 1990. Spiritual Parenting: A loving guide for the new age parent. New York:
            Paragon House.
Downs, Perry G. 1995. In The power of Fowler. In Nurture that is Christian: Developmental
            Perspectives on Christian Education. Ed. James C. Willhoit & John M. Dettoni. 75-90.
            Grand Rapids: Baker Books.
Lawson, Kevin E. 2001. In Historical foundation of Christian Education. In Introducing
Christian Education: Foundations for the twenty-first Century. Ed. Michael J. Anthony.
17-34. Grand Rapids: Baker Academic.
Supratiknya, A. Peny. 1995. Teori perkembangan kepercayaan: Karya-karya penting James W.
            Fowler. Terj. Agus Cremers. Yogyakarta: Kanisius.
Website
Katolisitas. Peran Orang Tua dalam Pembinaan Iman Anak http://www.katolisitas.org/peran

orang-tua-dalam-pembinaan-iman-anak/ (diakses 4 Mei 2016)