Potensi
Keterbukaan dan Penerimaan Terhadap Suku Berbeda di Gereja Suku:
Analisis terhadap Peluang Perkembangan
Pemahaman dan Penerimaan Suku Lain di HKBP pada Era Globalisasi
Pendahuluan
Huria Kristen
Batak Protestan (HKBP) adalah
salah satu gereja yang berdiri di Indonesia. Sesuai dengan namanya, HKBP adalah
gereja yang sangat erat hubungannya dengan suku Batak Toba. HKBP juga menjadi
salah satu gereja suku yang ada di Indonesia. HKBP adalah gereja yang pada
mulanya berdiri di daerah Sumatera Utara, yakni daerah Tapanuli dan sekitarnya.
Akan tetapi seiring dengan berjalannya waktu HKBP telah berdiri di berbagai
tempat. Salah satu faktornya adalah perpindahan yang dilakukan oleh orang-orang
dari daerah Sumatera Utara ke daerah lainnya untuk melanjutkan kehidupan.
Saya adalah salah satu jemaat HKBP yang berasal dari
daerah Kabupaten Simalungun, sebuah daerah yang banyak kelompok masyarakatnya
terdiri dari suku Batak Toba, Simalungun, Karo dan lain-lain. Gereja tempat
saya berjemaat di kampung halaman saya memberi perhatian yang cukup besar
terhadap kehidupan adat istiadat. Dalam beberapa kesempatan saya melihat dan
mengambil bagian dalam beberapa pelaksanaan peribadahan atau pun upacara adat
batak yang telah bercampur dengan liturgi gereja. Pemakaian bahasa Batak,
khususnya Batak Toba dalam peribadahan adalah hal yang wajib hukumnya di HKBP,
termasuk gereja tempat saya berjemaat yaitu HKBP Perumnas Batu VI. Bahkan di
gereja ini sering kali cepat tersebar berita miring jika ada pelayan gereja,
baik pendeta, calon pendeta atau penatua yang dalam berbahasa Batak masih marpasirpasir atau belum fasih dalam
berbahasa Batak.
Kehidupan saya sebagai bagian dari umat Kristen dan
bagian dari bangso Batak atau bangsa
Batak di saat bersamaan terbentuk selama saya berjemaat di dalam HKBP. Sejak
saya menjadi jemaat HKBP saya diarahkan untuk menjadi orang Kristen dan menjadi
halak Batak atau orang Batak di saat
bersamaan. Berdasarkan pengalaman saya selama berjemaat saya memandang bahwa
HKBP adalah gerejanya orang Batak khususnya Batak Toba.
Seiring berjalannya waktu pertanyaan pun muncul
dalam diri saya. Apakah HKBP tidak bisa menjadi gereja yang majemuk, meski
memiliki istilah Batak di dalam singkatan namanya? Pertanyaan itu semakin
muncul ketika saya melihat bahwa di dalam kehidupan berjemaat di gereja tempat
saya berjemaat, ada jemaat dari suku lain, seperti Batak Simalungun, Batak
Karo, Batak Mandailing bahkan Nias. Akan tetapi mereka harus mengikuti adat
Batak Toba yang diterapkan di dalam kehidupan bergereja. Jika ada orang lain
yang hendak menjadi jemaat HKBP, namun berasal dari suku lain harus menjadi
orang Batak untuk dapat dikatakan sebagai warga jemaat HKBP?
Faktor lain yang membuat saya mengangkat topik
mengenai potensi kemajemukan di dalam HKBP adalah karena fenomena berdirinya
HKBP di berbagai wilayah yang bukan daerah Batak. Pada satu sisi ada makna
positif yang terlihat karena di dalam hal tersebut terlihat bahwa gereja telah
menjadi sarana pemersatu bagi masyarakat Batak yang telah terpisah dan mencari
kehidupan di sisi lain. Akan tetapi di sisi lain kesan yang muncul adalah HKBP
adalah gereja yang ekslusif. Pemahaman tersebut didasari bahwa di berbagai daerah
di luar daerah yang menjadi basis masyarakat Batak Toba telah banyak berdiri
gereja, baik yang ekumenis atau pun gereja suku lainnya. Berdasarkan hal
tersebut maka saya mencoba membahas mengenai potensi keterbukaan terhadap
kemajemukan di dalam HKBP.
Deskripsi Situasi
Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) adalah gereja
yang berdiri sejak 7 Oktober 1861 di tanah Batak. HKBP berdiri atas peran atau
buah dari pemberitaan Injil oleh misionaris Rheinische
Missions Gessellschaft (RMG). Seiring dengan berjalannya waktu, HKP telah
berkembang ke berbagai penjuru di tanah Batak, Indonesia bahkan dunia. HKBP
dalam pelayanannya berupaya untuk mempersembahkan diri sebagai alat Allah untuk
melaksanakan misi Allah yang berdasarkan pada iman, kasih dan pengharapan (HKBP
2015, 7).
HKBP di dalam Aturan dohot Peraturan atau Tata Dasar dan Tata Laksana HKBP Bab II
Pasal 2 juga menjabarkan pemahaman
mengenai prinsip persekutuan yang dipegang oleh HKBP:
Huria Kristen Batak Protestan I ma pardomuan ni
halak Kristen sian sude marga dohot houm ni bangso Indonesia, dohot nasa bangso
di sandok portibi on na tardidi tu bagasan goar ni Debata Ama, Anak dohot Tondi
Parbadia. Sada hapataran ni pamatang ni Kristus do HKBP, na manghamham na
porsea na marpanindangion di sandok portibi on.
Huria
Kristen Batak Protestan adalah persekutuan orang Kristen dari segala suku dan
golongan bangsa Indoensia dan segala bangsa di seluruh dunia yang dibaptis ke
dalam nama Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus. HKBP adalah satu wujud nyata tubuh
Kristus yang mencakup segenap orang percaya dan bersaksi di seluruh dunia (HKBP
2015, 13).
Apakah HKBP adalah gereja yang jemaatnya harus
berasal dari suku yang sama? Gambaran mengenai jawaban dari pertanyaan tersebut
dapat dilihat dalam Tata Dasar dan Tata Laksana HKBP tentang warga HKBP. Warga
HKBP berdasarkan Tata Dasar dan Tata Laksana HKBP adalah yang sudah dibaptis
dalam nama Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus. Selain itu warga HKBP harus
menghayati firman Allah dan mengikuti berbagai kegiatan yang berhubungan dengan
pembangunan iman jemaat (HKBP 2015, 23-24).
Tata
Dasar dan Tata Laksana HKBP menunjukkan adanya pemahaman yang dapat mendukung
HKBP untuk menjadi gereja yang majemuk. Peribadahan yang diatur di dalam Tata
Dasar dan Tata Laksana Bab V pasal 2 juga menunjukkan ada poin penting mengenai
penghargaan dalam perbedaan atau kemajemukan.
Sipatupaon do parmingguan I di hata Batak, hata
Indonesia manang di angka hata na asing na niantusan jala hinangoluhon ni ruas
ni huria.
Ibadah
dilayankan dalam Bahasa Batak atau Bahasa Indonesia atau bahasa-bahasa lain
yang dipahami dan dihayati oleh warga Jemaat (HKBP 2015, 15).
Jika didasari oleh pemahaman tersebut, dapat
dikatakan bahwa ada kesadaran untuk mengakomodir berbagai tradisi dan budaya
yang ada di sekitar HKBP. Artinya bahwa ada potensi untuk mengambil nilai-nilai
kebaikan lainnya yang ada di luar nilai-nilai kehidupan Batak yang ada di
sekitar HKBP. Hal tersebut dapat menjadi gambaran yang cukup memberikan
pemahaman bahwa sebenarnya HKBP membuka diri untuk nilai-nilai kebaikan
lainnya, yang diharapkan dapat diperlihatkan melalui peribadahan yang
dilaksanakan oleh HKBP.
Salah satu konteks yang harus dihadapi oleh HKBP
saat ini adalah kehidupan di dalam masyarakat yang majemuk. Artinya HKBP yang
berdiri dan unsur Batak yang melekat dalam dirinya harus menghadapi dan
menghidupi kemajemukan. Akan tetapi sering kali muncul anggapan dari berbagai
sumber dan berbagai pihak bahwa HKBP adalah gerejanya orang Batak. HKBP
dianggap menjadi sebuah gereja tempat berkumpulnya orang-orang batak dari
berbagai penjuru. Kultur batak sangat melekat dalam HKBP, hal tersebut menurut
saya menimbulkan kesan adanya eksklusivitas yang terkesan memperlihatkan bahwa
HKBP adalah gereja yang hanya boleh diisi oleh orang Batak, yang di satu sisi
juga seakan mengingkari sikap keterbukaan dalam Kristus seperti yang tercantum
dalam Tata Dasar dan Tata Laksana HKBP. Hal tersebut semakin terasa di era
globalisasi yang ditandai dengan berkembangnya berbagai pemikiran dan
mobilisasi dari manusia yang semakin terasa.
Analisis Situasi
Konstruksi Sosial Batak Toba
Batak Toba adalah suku yang memiliki norma atau
nilai kehidupan di dalam masyarkatnya. Nilai-nilai yang ada dalam masyarakat
menjadi pegangan bagi masyarakat Batak Toba dalam menjalankan kehidupan.
Berbagai nilai-nilai yang muncul di tengah masyarakat Batak Toba bukanlah
kumpulan nilai yang terbentuk dalam sekejap mata. Nilai-nilai tersebut berasal
dari tradisi dan falsafah kehidupan yang dihayati oleh masyarakat Batak Toba
dalam rentang waktu yang lama.
Suku Batak Toba jika ditelisik asal-usulnya masih
sulit untuk menemukan jawaban pastinya. Ada pendapat yang mengatkan bahwa Batak
Toba berasal dari salah satu daerah di Myanmar yang bernama Bataha, yang
kemudian beralih menjadi Batak. Ada juga pendapat yang menyatakan bahwa Batak
berasal dari suku bangsa turunan yang ada di daerah Ilocos Utara di Filipina. Masih
ada beberapa lagi penjelasan mengenai asal-usul dari leluhur suku Batak Toba
(Sangti 1977, 26-7).
Sistem garis keturunan yang dianut dalam sistem
sosial Batak Toba adalah patrilineal, yang ditandai dengan ikatan marga yang
berasal dari ayah. Adanya marga di dalam sistem kekerabatan di dalam masyarakat
Batak Toba membentuk koneksi antara masyarakat Batak Toba secara personal
berdasrkan marga. Ikatan tersebut terbentuk berdasarkan ikatan marga yang
terbentuk dalam sistem marga patrilineal, yang menjadi penanda seseorang
sebagai bagian dari keturunan Batak Toba (Vergouwen 1964, 2).
J. C. Vergouwen dalam bukunya The Social Organisation and Customary Law of Toba-Batak of Northern
Sumatera menjelaskan bahwa ikatan marga tersebut bukanlah sebuah hal yang
muncul belum terlalu lama. Ikatan marga di dalam suku Batak Toba sudah
terbentuk dari masa lampau. Konsturksi sosial tersebut terbentuk dan bermula dari
pemahaman masyarakat Batak Toba pada masa lampau tentang kepercayaan pada Debata Mulajadi Na Bolon, yang kemudian
berlanjut pada kemunculan berbagai marga yang membentuk kumpulan-kumpulan marga
atau punguan yang terbentuk dengan
berbagai latar belakang dan tersebar di berbagai penjuru tanah Batak (Vergouwen
1964, 21-30).
Kebudayaan dalam bahasa Batak Toba-tua adalah Ugari. Jika melihat dari definisi
antropologi maka kebudayaan dapat diartikan sebagai keseluruhan dari hasil
kelakuan manusia yang diatur oleh tatanan yang ada, yang didapatkan dari hasil
belajar yang keseluruhannya tersusun dalam cara hidup masyarakat (Sangti 1977,
30). Jika berdasar pada pernyataan tersebut maka kehidupan masyarakat Batak
Toba pada saat ini, termasuk masyrakat Batak Toba yang menjadi jemaat HKBP
terbentuk dari berbagai tradisi dan tatanan hidup yang ada di masyarakat sejak
masa lampau.
Jika diperhatikan lebih lanjut kebudayaan di
Indonesia, termasuk kebudayaan Batak Toba di dalamnya memiliki beberapa
nilai-nilai yang sama dalam pelaksanaannya. Nilai nilai yang sama tersebut
antara lain kaidah kesusilaan perseorangan, kemasyarakatan, hukum, agama dan
kesenian. Berbagai elemen dalam kebudayaan tersebut berpadu menjadi satu di
dalam kehidupan masyarakat. Contohnya adalah falsafah hidup masyarakat Batak
Toba yang dikenal dengan nama Dalihan Na
Tolu (Sangti 1977, 30).
Dalihan Na Tolu secara harfiah diartikan sebagai sebuah tungku yang
berdiri atau ditopang oleh tiga buah batu. Batu-batu yang dipakai untuk
menopang tungku tersebut harus memiliki ukuran yang sama. Selain itu batu-batu
yang dipakai dalam pemahaman ini harus diletakkan dengan jarak yang sama dan
dengan tinggi masing-masing batu harus sama. Hal tersebut bertujuan agar isi
yang ada di dalam tungku tidak tumpah (GoBatak website 2016).
Ada tiga elemen penting yang terdapat dalam Dalihan Na Tolu. Ketiga elemen tersebut
adalah somba marhula-hula, manat
mardongan tubu, elek marboru. Somba
marhula-hula adalah rasa hormat kepada pihak keluarga laki-laki dari pihak
istri atau ibu. Manat mardongan tubu berarti
penghormatan kepada orang-orang yang semarga atau berada dalam satu rumpun
marga sebagai tanda persaudaraan. Sedangkan elek
marboru dapat diartikan sebagai
penghormatan kepada kelompok saudara-saudara perempuan yang ada dalam sistem
kekerabatan (GoBatak website 2016).
Jika melihat dari penjelasan singkat mengenai
konstruksi sosial suku Batak Toba yang dijelaskan, terlihat bahwa ikatan darah
atau hubungan genealogis di dalam konstruksi sosial Batak Toba sangat kental.
Hubungan garis keturunan sangat diperhatikan di dalam masyarakat Batak Toba.
Berdasarkan penjabaran tersebut saya melihat bahwa sebagian masyarakat Batak
Toba masih memegang teguh sistem konstruksi sosial ini. Falsafah Dalihan Na Tolu masih menjadi salah satu
bagian penting di dalam kehidupan bermasyarakat, termasuk di dalam gereja.
Salah satu contoh fenomena yang saya lihat selama saya berjemaat di HKBP adalah
ikatan marga atau kekeluargaan masih menjadi salah satu faktor penentu siapa
yang menjadi parhalado atau majelis
jemaat. Jika berdasarkan dari penjabaran yang telah dipaparkan, apakah ada
potensi atau peluang bagi HKBP untuk menjadi gereja yang terbuka terhadap
kehadiran suku lain, di tengah sebagian jemaatnya yang masih memegang teguh
konstruksi sosial budaya dan hubungan kekerabatan yang sangat erat?
Rekonstruksi Pemahaman Sosial Batak
Toba
Batak Toba memiliki tatanan kehidupan yang diatur di
dalam adat istiadat. Adat yang terbentuk di dalam masyarakat Batak Toba
bertujuan untuk penyelarasan di dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat Batak
Toba. Penyelerasan yang dibentuk di dalam adat istiadat bertujuan untuk
kesejahteraan, meski masih terbatas di dalam lingkup masyarakat Batak Toba.
Implikasi lain dari kehidupan yang hendak diselaraskan di dalam adat istiadat
adalah pemeliharaan adat istiadat di dalam kehidupan (Pedersen 1975, 34).
Kehidupan bergereja yang saya rasakan juga terdapat
aspek yang kental mengenai kehidupan sebagai jemaat yang beradat. HKBP sebagai
gereja yang membawa Batak di dalam namanya menunjukkan berbagai upaya untuk
mempertahankan dan mewariskan adat istiadat melalui kehidupan bergereja. Hal
ini diperkuat dengan pernyataan Pedersen yang menyatakan bahwa dalam kehidupan
masyarakat Batak Toba bahwa adat istiadat yang dipegang tidak akan berubah dan
akan berusaha untuk dipertahankan, meski terkadang mengesampingkan kemajuan
dalam masyarakat. Adat telah menjadi identitas yang melekat dan dipandang
sebagai satu kesatuan dengan masyarakat Batak Toba (Pedersen 1975, 35).
Pertanyaan yang kembali muncul dari pernyataan tersebut adalah bagaimana HKBP
dan masyarakat Batak Toba di dalamnya dapat menjadi gereja yang bertumbuh dan
mampu hidup di dalam kemajemukan?
Pendekatan pertama yang coba saya berikan adalah
pendekatan historis. Sebelum kekristenan menjadi ajaran yang dianut oleh
masyarakat Batak Toba, masyarakat Batak Toba pada masa pekabaran Injil ternyata
mampu menunjukkan keterbukaan terhadap kehadiran dari pekabar Injil di tengah
kehidupan mereka, meski pada saat itu sentimen negatif terhadap orang asing
sangat kuat di tengah masa penjajahan. Misalnya para misionaris yang datang
pada awal 1800-an yang menyatakan bahwa masyarakat Batak lebih memiliki rasa
ingin tahu terhadap kehadiran mereka disbanding untuk bermusuhan. Bahkan Burton
dan Ward, dua orang misionaris pada saat itu suah dianggap sebagai penduduk
asli oleh masyarkat setempat. Akan tetapi pada masa awal penginjilan, ajaran
yang dibawa oleh para misionaris akan membuat merka meninggalkan kehidupan adat
mereka (Pedersen 1975, 46).
Kematian Lyman dan Munson ketika memberitakan Injil
di tanah Batak juga menjadi salah satu gambaran prasangka terhadap kedua orang
tersebut sebagai orang asing. Lyman dan Munson dianggap sebagai mata-mata yang
dikirim Belanda pada saat itu ke tanah Batak, yang mencoba menghancurkan
masyarakat Batak pada saat itu. Masih banyak anggapan-anggapan lainnya yang
menimbulkan kebencian terhadap kehadiran orang asing di dalam kehidupan
masyarkat, padahal tidak semua orang asing yang datang pada saat itu bertujuan
untuk berperang (Pedersen 1975, 49).
Pemahaman mengenai kehadiran orang asing dan budaya
yang berbeda nampaknya masih ada di dalam pemahaman sebagian masyarakat Batak
Toba, termasuk di dalam jemaat HKBP. Ketakutan akan kebudayaan yang dapat tergerus
dengan kehadiran budaya asing dan orang asing telah mempengaruhi masyarakat
Batak. Padahal di dalam kehidupan adat masyarakat Batak Toba secara khusus
telah terdapat adaptasi dalam pemahaman adatnya. Contohnya adalah pemahaman
tentang Dalihan Na Tolu. Misalnya
penghormatan pada orang yang semarga atau dalam satu rumpun marga tidak
terbatas lagi dalam keluarga. Selain itu masuknya kekristenan membuat Allah
menjadi pusat dari pemahaman Dalihan Na
Tolu (Rumametmet website 2016).
Representasi atau pemahaman subjektif terhadap
manusia tidak dapat dijadikan sebagai pegangan mutlak dalam menilai orang lain
dan kebudayaan yang dibawa oleh orang tersebut. Ricoeur menjabarkan bahwa
representasi tidak selamanya menjadi fakta utama dalam menyikapi nilai-nilai kehidupan
sebagai bagian dari refleksi filosofis. Representasi menjadi sesuatu yang harus
dipahami untuk melihat fenomena yang ada atau dibawa di dalam representasi yang
ditunjukkan oleh manusia (Ricoeur 2000, 212).
Titik berangkat untuk memahami kehidupan yang diatur
dalam sistem sosial yang dijalankan manusia adalah wilayah lokal. Hal tersebut
bertujuan untuk menyelesaikan berbagai persoalan berdasarkan landasan ilmu
kemanusiaan, yang pada akhirnya akan berujung dengan pemahaman akan nilai-nilai
kemanusiaan yang universal. Selain itu hal penting yang perlu diingat dalam
pencarian nilai-nilai universal dalam keberagaman manusia adalah
mengesampingkan prasangka agar berpikir dalam bingkai pemikiran yang berani
mengetahui dan pada akhirnya mencapai kedewasaan berpikir (Ricoeur 1981, 88-90).
Pencarian akan pemahaman bersama dalam nilai-nilai
kemanusiaan yang beragam menjadi hal yang penting dalam menyikapi kemajemukan.
Ricoeur dalam pemahamannya menunjukkan bahwa kehidupan yang baik itu adalah
sebuah gambaran yang harus diwujudkan manusia, namun dengan dasar kolektivitas
yang dapat diterapkan di dalam kehidupan, sebagai bentuk pemahaman akan
universalitas dari nilai moral (Pirovolakis 2010, 115). Pemahaman Ricoeur yang
telah dijabarkan dapat menjadi gambaran untuk menjalankan kehidupan berdasarkan
falsafah Batak Toba dalam kehidupan bergereja dan masyarakat majemuk. Adat
harus terus mencari makna bersama dengan berbagai pemikiran yang sama atau yang
berbeda untuk menemukan nilai-nilai moral universal dalam kehidupan, termasuk
dalam interaksi dan kehidupan bergereja. Adat yang ada memang hadir untuk
mengupayakan kesejahteraan dan kebaikan komunitas, namun konteks pada masa kini
yang di antaranya adalah kehidupan yang majemuk tidak dapat dipinggirkan dalam kehidupan
masyarakat Batak Toba dan dalam tubuh HKBP.
HKBP dan Kemajemukan di Era
Globalisasi
Kemajemukan atau yang biasa disebut juga sebagai
pluralisme adalah suatu paham yang mengakui keberagaman sebagai realitas, yang
membuatnya harus diterima sebagai fakta sosial yang tidak mungkin dihindari
(Sitompul 2014, 25). Berdasarkan pada pandangan tersebut dapat dikatakan bahwa
gereja yang ada sekarang harus menghadapi konteks tersebut sebagai sebuah
realita yang tidak dapat dihindari dan gereja tidak dapat menutup mata atas
keadaan tersebut.
Gereja adalah lembaga sosial yang berdampingan
dengan masyarakat atau konteks di sekitarnya, termasuk jemaat di dalam gereja
itu sendiri. Masyarakat Batak Toba yang telah banyak merantau membawa berbagai
nilai yang didapat dari daerah asal masing-masing, yang sebagian juga dibawa ke
dalam kehidupan bergereja dalam hal ini HKBP. Bahkan sudah sejak lama
masyarakat Batak Toba menunjukkan tradisi untuk merantau ke luar daerah
masing-masing (Sitompul 2014, 23-4).
Pluralisme yang dihadapi oleh HKBP adalah sebuah
realita sosial yang harus dihadapi. Nilai-nilai yang dibawa ke daerah yang
memiliki konteks majemuk. Bahkan keadaan seperti itu terkadang menimbulkan
fundementalisme dalam menyikapi dan membawa tradisi yang ada di tengah masyarkat
yang majemuk (Sitompul 2014, 25). Hal tersebut terkadang bahkan berujung pada
identitas di dalam gereja yang dipengaruhi oleh fundamentalisme dalam menyikapi
tradisi dan adat istiadat. Misalnya HKBP yang terlihat sangat kental tradisi
dan filosofi kehidupan Batak Toba, yang seakan tidak dapat membuka ruang untuk
suku lainnya.
Pertanyaan mendasar yang diajukan oleh Bungaran
Simanjuntak soal bagaimana budaya Batak mewarnai kehidupan yang majemuk dapat
dipertanyakan kepada kehadiran HKBP sebagai gereja. Dapatkah HKBP yang diisi
oleh sebagian besar masyarakat Batak Toba mewarnai kemajemukan dengan
penerimaan suku lain di dalam kehidupan bergereja? (Simajuntak 2011, 135). HKBP
harus mampu menyikapi kemajemukan yang dihadapi sembari menunjukkan identitasnya
sebagai gereja yang mewujudkan kehadiran Allah di tengah-tengah dunia.
Prasangka sering muncul dalam menjalani relasi di
tengah kemajemukan, baik terhadap orang Batak Toba atau kepada halak sileban atau orang di luar
masyarakat Batak Toba. Halak sileban sering
kali mengidentikkan Batak secara keseluruhan sebagai orang yang kasar, bicara
keras dan lain sebagainya. Jika melihat hal tersebut maka perlu diadakan
komunikasi atau pembicaraan yang didasari dengan prinsip saling memahami. Hal
tersebut menjadi penting karena pada dasarnya pluralisme kebudayaan harus terus
dibicarakan sebagai bagian dari proses interaksi manusia (Simanjuntak 2011,
136).
Komunikasi adalah sebuah proses proses interaksi dan
pertumbuhan pemikiran manusia terhadap nilai-nilai luhur dan moral. Komunikasi
diperlukan untuk mendapatkan informasi tentang berbagai nilai-nilai dalam
kehidupan, termasuk di dalam kemajemukan. Berbagai hal dalam kemajemukan yang
senantiasa dikomunikasikan dapat membuat masyarakat yang berada di dalam
kemajemukan akan menyadari kehadirannya dalam perbedaan dan akan berimplikasi
pada upaya untuk menyesuaikan diri dalam kemajemukan (Sitompul 2014, 52-3).
HKBP adalah salah satu gereja yang pada mulanya
berdiri di tanah Batak sangat identik dengan suku Batak. Pada abad ke-19
gereja-gereja kesukuan lainnya mulai berdiri di Indonesia. Fenomena yang
terlihat adalah masyarakat yang berpindah ke daerah lain yang lebih majemuk
mendirikan gereja seperti gereja suku tempat asal mereka untuk mendekatkan diri
dengan ikatan persaudaraan berdasarkan adat isitadat yang ada di daerah asal. Gereja
yang berbasis kesukuan selain menjadi tempat persekutuan orang-orang yang
percaya pada Allah Tritunggal menjadi sarana pemersatu yang memperkuat
persaudaraan (Sitompul 2014, 59-61).
Mobilitas masyarakat Batak Toba yang berjumpa dengan
kemajemukan membuat masyarakat Batak Toba dan kehidupan bergereja di dalam HKBP
harus mampu meyesuaikan diri dengan konteks kemajemukan. Masyarakat dan gereja
sebagai bagian dari kehidupan sosial masyarakat harus mampu menempatkan diri
dengan baik. Tujuan dari hal tersebut adalah untuk menjaga keharmonisan dalam
kehidupan bersama (Sitompul 2014, 84).
Kehadiran gereja yang berbasis kesukuan juga
merupakan sebuah fakta sosial yang tidak dapat dihindari. Kehadiran gereja suku
mengambil nilai-nilai di dalam kehidupan untuk menjaga keharmonisan di dalam
tradisi dan kehidupan beriman selaku umat Kristen. Akan tetapi nilai-nilai
kesukuan tidak dijadikan sebagai sebuah keutamaan dalam kehidupan bergereja. Meski
pun begitu fakta negatif yang sering kali terlihat adalah adanya sikap superioritas
terhadap suku lain atau ekslusivitas yang terbentuk di dalam gereja suku
seperti HKBP (Sitompul 2014, 211-2).
Gereja diharapkan menjadi persekutuan yang dapat
menghargai kebudayaan dan adat istiadat berbagai suku yang ada. Hal tersebut
harus dilandasi dengan pemahaman untuk saling mengasihi sebagai manusia yang
seutuhnya. Kesukuan menjadi nilai-nilai kehidupan bagi jemaat. Selain itu
budaya juga diharapkan dapat menjadi landasan bagi gereja untuk melihat sikap
yang harus dikritisi dalam kehidupan yang dibentuk oleh suku di dalam
kemajemukan (Sitompul 2014, 214-6). Gereja diharapkan menunjukkan pemahamannya
akan nilai-nilai yang dapat saling melengkapi dalam kemajemukan suku bangsa
yang ada, untuk menemukan dan memperlihatkan nilai-nilai kebaikan secara
universal dan secara komunal.
Relasi yang dibangun berdasarkan kecurigaan terhadap
suku lain harus diminimalisir. Dampak dari kecurigaan yang berlebih terhadap
kehadiran suku lain dapat membuat elemen masyarakat, termasuk gereja
membentengi diri berdasarkan kesamaan identitas dalam komunalisme, memisahkan
diri dari komunitas dengan identitas yang berbeda. Hal tersebut bisa saja
semakin parah dengan semangat sektarianisme kesukuan (Sitorus 2011, 294).
Semangat komunal ini juga masih sering terlihat di dalam masyarakat Batak Toba,
termasuk jemaat HKBP di dalamnya. Gereja yang ikut “berpindah” jika jemaat
merantau ke daerah lain menunjukkan adanya semangat komunalisme. Di satu sisi
memiliki dampak baik untuk memperkuat tali persaudaraan. Akan tetapi di satu sisi
akan memperkuat citra atau representasi gereja yang ekslusif. Hal tersebut juga
saya lihat terjadi di HKBP berdasarkan fenomena tersebut.
Perbedaan yang ada di dalam kehidupan manusia
disebabkan oleh berbagai faktor yang ada di dalam kehidupan sehari-hari. Stereotype membuat masyarakat, baik di
dalam atau di luar komunitas memberikan praduga kepada orang lain. Praduga
menjadi hal yang berbahaya dalam upaya membangun masyarakat dan gereja yang
memahami dan mempraktikkan nilai-nilai kemajemukan di dalam nilai universal. Stereotype dapat menjadi alat propaganda
orang-orang yang tidak bertanggungjawab demi keuntungan pribadi. Selain itu stereotype membuat pemahaman kita akan
perbedaan yang ada di dalam kehidupan manusia akan semakin sempit (Simanjuntak
2011, 285). Hal tersebut dapat menjadi batu sandungan bagi HKBP jika ingin
menunjukkan identitas sebagai gereja yang dapat berkarya di dalam kemajemukan.
Kesimpulan dan Refleksi
HKBP memiliki potensi yang besar untuk menjadi
gereja yang terbuka dengan kehadiran suku lain di dalamnya. HKBP di dalam Tata
Dasar dan Tata Laksananya tidak memberi gambaran bahwa hanya suku Batak Toba
saja yang dapat menjadi jemaat HKBP. Akan tetapi kehidupan masyarakat yang
terkadang masih dipengaruhi ikatan garis keturunan, adat isiadat dan kesamaan
identitas menjadi representasi yang tidak dapat dikatakan menjadi gambaran
keseluruhan bahwa HKBP adalah gereja yang tertutup. Adat yang dipegang teguh
dan menjadi bagian dari HKBP adalah sebuah norma kehidupan yang sebenarnya
fleksibel dan masyarakat di dalamnya harus mampu menyesuaikan dengan keadaan
yang dihadapi masa kini. Hal tersebut demi kehidupan bergereja yang dibangun
untuk menunjukkan kasih Allah di tengah dunia.
Ketertutupan
yang terlihat di dalam HKBP dapat menjadi masalah dalam masyarkat majemuk
sebagai konteks masyarakat Indonesia. Hal tersebut dapat terjadi karena di
dalam masyarakat majemuk, keberagaman telah menjadi realitas sehari-hari yang
harus dihadapi oleh masyarakat. Jika dipandang secara positif, bukanlah
ketertutupan yang dimaksud melainkan keterikatan yang kuat dalam identitas.
Akan tetapi keterikatan tersebut dapat menjadi pemicu jemaat di dalam HKBP
untuk membawa dan membangun kembali keterikatan yang dirasakan di kampung
halaman. Jika hal tersebut tidak dapat dikomunikasikan dalam tubuh gereja dan
masyarakat, maka identitas yang berinteraksi di dalam kemajemukan akan sulit
diimplementasikan.
Kesukuan
menjadi hal yang sangat mengikat di dalam HKBP. Identitas kesukuan menjadi
salah satu hal yang mengikat bagi jemaat HKBP selain dari iman yang sama di
dalam Allah Trinitas. Hal tersebut menjadi faktor yang membuat HKBP sangat
identik dengan kesukuan. Hal tersebut sebenarnya tidak menjadi masalah, karena
nilai-nilai kesukuan yang ada di dalam tradisi dan budaya Batak Toba dapat
saling melengkapi dengan nilai-nilai kekristenan yang dibawa oleh HKBP. Identitas
kesukuan di dalam gereja seperti HKBP tidak menjadi masalah selama identitas
kesukuan tidak menjadi legitimasi untuk memandang rendah suku lain dan menutup
diri dengan perkembagan zaman yang terjadi di dalam masyarakat majemuk. Kiranya
HKBP tetap menilik kekristenan, budaya dan kemajemukan menjadi hal yang terus
dikomunikasikan dengan seksama tanpa menjadikan representasi dari budaya Batak
Toba dan suku lainnya sebagai dasar pijakan dalam memahami kemajemukan.
Daftar Acuan
HKBP. 2015. Aturan dohot peraturan HKBP 2002 dung
amandemen paduahon. Tarutung:
Kantor Pusat HKBP.
Pedersen, Paul
Bodholdt. 1975. Darah Batak dan jiwa
Protestan: Perkembangan Gereja-gereja
Batak
di Sumatera Utara. Terjemahan Maria
Th. Sijabat dan W.B. Sijabat. Jakarta:
BPK Gunung Mulia.
Priovolakis,
Eftichis. 2010. Reading Derrida &
Ricoeur: Imporable encounters between
Deconstruction and
hermeneutics. New York: State University of New York Press.
Ricoeur, Paul.
1981. Hermeneutika ilmu-ilmu sosial.
Terjemahan Muhammad Syukri. Bantul:
Kreasi Wacana.
___________.
2000. The conflict of interpretations:
Essay in Hermeneutics. London: The
Athlone
Press.
Sangti, Batara,
1977. Sejarah Batak: Balige: Karl
Sianipar Company
Simanjuntak,
Bungaran Antonius. 2011. Dalam Peranan orang
Batak di tengah masyarakat
majemuk. Dalam Pemikiran tentang Batak: Setelah 150 Tahun
Agama Kristen di
Sumatera
Utara. Editor Bungaran Antonius Simanjuntak. 133-141. Jakarta: Obor.
Sitompul, Einar
M. 2014. Perjalanan sarat muatan: Buku 1
– 65 tahun Pdt. Dr. Einar M.
Sitompul. Jakarta: UPI STT Jakarta.
Sitorus, Eliakim.
2011. Dalam Pendidikan kemajemukan bagi
warga gereja. Dalam Pemikiran
tentang Batak: Setelah 150 Tahun Agama Kristen di
Sumatera Utara. Editor Bungaran Antonius Simanjuntak. 293-300.
Vergouwen, J.C.
1964. The social organisation and customary
law of Toba-Batak of Northern
Sumatera.
Leiden: The Netherland Institute
for International Culture Relations.
Website
GoBatak.
Filsafah Orang Batak Toba dalam Dalihan Na Tolu http://www.gobatak.com/filsafah- orang-batak-toba-dalam-dalihan-natolu/
(Diakses 29 Oktober 2016).
26 Oktober 2016).