Kamis, 26 Mei 2016

Christian Nurture Bushnell dan Perjalanan Iman dan Kehidupan Anak

Setiap manusia akan terus mengalami perkembangan dalam kehidupan. Perkembangan yang dialami oleh manusia terdiri dari berbagai aspek, mulai dari perkembangan fisik, psikis hingga perkembangan iman. Jika mengingat pentingnya pertumbuhan di dalam diri manusia, maka perlu untuk merumuskan mengenai pertumbuhan yang membuat manusia bertumbuh menjadi semakin baik.
            Tulisan ini akan mencoba membahas mengenai pertumbuhan berdasarkan perspektif Pendidikan Kristiani. Pembahasan dalam tulisan ini akan menggunakan teori pertumbuhan dalam buku Horace Bushnell, yaitu Christian Nurture. Teori Bushnell di dalam tulisan ini akan menjadi “kacamata” untuk melihat pertumbuhan anak, khususnya pertumbuhan anak pada masa kini. Hal tersebut menjadi penting mengingat masa kanak-kanak menjadi salah satu masa krusial dalam pertumbuhan manusia.    
Riwayat Hidup Horace Bushnell
            Horace Bushnell adalah seorang teolog yang membawa pengaruh signifikan bagi Pendidikan Kristiani. Bushnell lahir pada tanggal 14 April 1802. Bushnel adalah anak sulung dari tiga bersaudara. Bushnell adalah anak dari ayah seorang petani, tapi Bushnell dibesarkan dalam keluarga yang beriman dan dididik dengan bijaksana oleh kedua orang tuanya. Keluarga mereka menjadi keluarga yang harmonis (Boehlke 2011, 439).
            Masa kanak-kanak Bushnell dapat dikatakan cukup bahagia. Bushnell dididik dalam keluarga yang bijaksana dan dapat bekerja sama satu dengan yang lain. Selain itu Bushnell juga dididik dalam lingkungan keluarga yang beriman. Akan tetapi pada masa inilah Bushnell merasakan kemerdekaan seorang anak yang dapat mengambil keputusan sendiri yang berkaitan dengan iman. Pada usia sembilan belas tahun Bushnell akhirnya menjadi anggota jemaat Kongregasional. Setelah itu dia melanjutkan pendidikannya di Yale University. Pada saat menjadi mahasiswa dia dikenal sebagai mahasiswa yang rajin, cerdas, bijaksana dan aktif dalam berbagai kegiatan (Boehlke 2011, 439-441).  
            Kebangunan rohani yang melanda Yale University pada saat itu turut mempengaruhi pengalaman iman Bushnell. Pada masa munculnya kebangunan rohani tersebut, Bushnell memutuskan untuk beralih dari bidang hukum ke dalam jabatan pendeta. Ketika sudah menjadi pendeta Bushnell mengkritik cara berkhotbah para pendeta pada masa kebangunan rohani. Menurut Bushnell cara berkhotbah yang banyak dipertunjukkan pada masa itu. Bushnell melihat adanya siasat untuk membuat jemaat memenuhi maksud dari penginjil. Pertentangan tersebut didasari oleh pemahaman Bushnell bahwa iman akan bertumbuh secara alamiah di dalam kehidupan, termasuk di dalam rumah tangga (Boehlke 2011, 442-433).
            Perjalanan iman Bushnell semakin berat ketika dia terus mengalami gangguan kesehatan yang mengganggu aktivitasnya. Di tengah sakit yang dialaminya, Bushnell terus berkarya, baik dalam karya akademis melalui pemikiran-pemikirannya atau melalui karya nyata di tengah lingkungannya. Bushnell tetap fokus dalam pelayanan Rohani dan petualangan imannya. Sampai akhirnya pada 17 Februari 1876 dia menghembuskan nafas terakhirnya dengan meninggalkan banyak buah pemikiran (Boehlke 2011, 448-449).
Pemahaman Bushnell tentang Pendidikan Agama Kristen
            Bushnell adalah salah satu tokoh yang membawa pengaruh di dalam pendidikan kristiani. Bushnell menekankan mengenai pentingnya penanaman nilai-nilai Kristiani. Penanaman nilai di dalam diri manusia yang dilakukan sedini mungkin. Nilai-nilai yang ditanamkan fokus kepada bagaimana membuat naradidik mencintai hal-hal baik sedini mungkin (Bushnell 1960, 4). Jika berdasar pada pemahaman Bushnell maka pendidikan Kristiani fokus pada penanaman nilai-nilai kebaikan.
            Teori yang dipaparkan oleh Bushnell pada saat itu berdasarkan konteks kebangunan rohani. Pada saat itu gereja dan orang tua cenderung mengabaikan pengajaran dan pertumbuhan dalam Iman Kristen. Padahal tuntunan dalam pertumbuhan anak mampu membuat anak mengenal berbagai hal di dunia. Pemahaman yang berkembang pada saat itu justru menekankan mengenai kuasa Roh yang mengubahkan pemahaman iman orang-orang, termasuk anak-anak secara radikal (Lawson 2001, 23).

Pertumbuhan sangat dipengaruhi oleh lingkungan sekitar. Pertumbuhan anak ditentukan juga oleh didikan di sekitarnya. Orang tua menjadi pendidik terdekat bagi anak. Akan tetapi orang tua juga bisa membawa pengaruh kurang baik dalam pertumbuhan anak. Bushell dalam teorinya membahas mengenai peran orang tua dalam pertumbuhan anak. Menurut Bushnell orang tua jangan memaksakan harapan pada anak dalam masa pertumbuhan. Anak bertindak sesuai dengan perasaan yang dialami saat itu juga. Hal tersebut akan menjadi masalah, karena pada masa anak-anak manusia dapat ditanamkan berbagai nilai-nilai, termasuk nilai kekristenan yang dipaksakan  (Bushnell 1960, 5).
            Harapan dan ajaran mengenai berbagai nilai hanya diberikan dari satu sudut pandang. Pertumbuhan di dalam iman Kristen jangan dipandang hanya dalam satu sisi. Sebagai pendidik, manusia tidak dapat memusatkan pemahaman nilai hanya kepada dirinya saja. Gereja atau orang-orang yang memiliki kuasa atas pendampingan dalam pertumbuhan harus mampu mewujudnyatakan nilai-nilai Kristiani. Masa anak-anak diharapkan menjadi masa manusia melihat bentuk kebaikan, tidak hanya definisi kebaikan (Bushnell 1960, 7).
Penekanan mengenai kemerdekaan anak jangan sampai disalahartikan oleh orang tua. Pasalnya orang tua tetap harus menciptakan kondisi yang baik untuk pertumbuhan anak. Orang tua di dalam proses pendidikan anak harus menunjukkan nilai-nilai kasih di tengah keluarga. Perbuatan baik yang dilakukan oleh anak tidak hanya berasal dari keputusan pribadi yang diambil oleh anak. Pengalaman yang baik mengenai hidup dalam kasih dan dalam nilai-nilai Kristiani yang membuat anak memahami pengalaman imannya (Boehlke 2011, 467).
            Nilai-nilai Kristiani yang harus ditanamkan menurut Bushnell harus dimulai sejak usia dini. Manusia sejak usia dini harus ditanamkan mengenai cara hidup di dalam iman Kristiani. Penanaman nilai-nilai Kristiani sejak dini dapat dimulai dari kedua orang tuanya. Jika hal tersebut sudah terpenuhi, maka manusia tidak memerlukan perubahan iman yang radikal. Iman anak akan bertumbuh secara bertahap melalui pengalaman hidup mereka sehari-hari (Lawson 2001, 23). Hal tersebut juga dapat didukung dengan kebebasan anak dalam melewati dan menentukan pilihannya dalam perjalanan iman mereka.
Bushnell juga menekankan mengenai pengajaran akan perbuatan yang baik dan benar. Ketika membicarakan mengenai perbuatan yang baik dan benar, orang tua atau pendidik perlu membedakan antara perenungan mengenai apa itu yang baik dan ketaatan yang dapat diperlihatkan atau dipraktikkan dalam nilai-nilai kebaikan. Anak-anak jangan hanya diberi penekanan emosional mengenai hal yang baik dan benar. Akan tetapi anak harus memahami dan mencintai perbuatan baik melalui hal-hal yang konkret. Ketika hal tersebut tercapai maka nilai-nilai kebaikan akan menjadi nilai yang vital dalam kehidupan anak-anak, sebagai bagian dari perjalanan iman anak-anak (Bushnell 1960, 16).
            Teologi Bushnell mengenai pengalaman pribadi turut menentukan pemahaman Bushnell mengenai Pendidikan Kristiani. Menurut Bushnell proses pertumbuhan dan pemahaman iman seseorang ditentukan oleh pengalaman pribadi. Pemahaman khas akan sesuatu di dalam kehidupan sangat tergantung dari pengalaman seseorang. Boehlke memberi ilustrasi seperti dua orang yang mencoba membandingkan rasa manis sebuah duku, satu menganggap rasanya manis akan tetapi yang lain tidak. Seperti itulah kira-kira bagaimana pengalaman pribadi menentukan pemahaman akan nilai kebaikan dan iman (Boehlke 2011, 453).
            Bahasa keagamaan hanya dapat diucapkan melalui kiasan atau ibarat. Ibarat dapat diartikan sebagai sebuah upaya untuk menggambarkan pemahaman-pemahaman tertentu dengan cara yang lebih mudah dipahami. Akan tetapi sifat dari bahasa keagamaan hanya sebagai ibarat untuk menjelaskan pengalaman iman. Ibarat itu tidak sama dengan kenyataan-kenyataan yang hendak ditunjukkan melalui ibarat tersebut (Boehlke 2011, 454). Berdasarkan pemahaman tersebut maka ibarat tidak sepenuhnya dapat menggambarkan pemahaman iman melalui pengalaman pribadi.  Pemahaman pribadi tetap menjadi bagian penting dalam pertumbuhan iman.
            Bushnell yang menekankan pada Pendidikan Kristiani yang fokus pada anak menjabarkan bahwa anak-anak adalah bagian dari organisme dalam keluarga. Boehlke menjelaskan bahwa Pendidikan Kristiani di dalam keluarga adalah bagian dari organisme yang belajar bersama. Belajar bersama akan membuat setiap bagian dari keluarga, termasuk anak akan lebih dekat dengan prakarsa Allah. Mereka akan memperkuat fondasi kehidupan yang saling melengkapi satu sama lain, bukan saling mendominasi dan mengupayakan hidup yang mengutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi (Boehlke 2011, 485).
             Jika kita melihat penjabaran dari Bushnell, maka terlihat bahwa anak-anak dalam perkembangan imannya harus tetap dalam pendampingan lingkungan sekitarnya. Orang tua yang menjadi pendamping paling dekat bagi anak dalam petualangan imannya. Orang tua harus mampu menyediakan ruang bagi anak untuk pertumbuhan iman mereka. Kesadaran akan pentingnya pertumbuhan iman harus disadari betul oleh orang tua. Karena iman anak tidak akan tumbuh dengan sendirinya.
            Kesimpulan yang dapat diambil dari teori Bushnell adalah pengembangan diri. Harapan yang hendak dicapai melalui pendekatan ini adalah iman akan bertumbuh menjadi iman yang tidak statis. Pola asuhan yang hendak diterapkan oleh Bushnell bukan hanya sekedar penambahan pengetahuan. Akan tetapi yang hendak ditekankan oleh Bushnell adalah teori dan praktik dalam nilai Kekristenan (Boehlke 2011, 462).
Pertumbuhan Iman Anak pada Masa Kini
            Ada anggapan yang menyatakan bahwa pada masa kanak-kanak adalah masa yang mudah untuk membentuk seorang manusia. Masa kanak-kanak dianggap sebagai masa yang paling mudah untuk memasukkan berbagai nilai kehidupan dalam diri manusia. Jika anggapan tersebut benar, maka pada masa kanak-kanak tidak tertutup kemungkinan akan mudah membentuk iman manusia. Untuk memahami perkembangan anak dapat dibantu dengan melihat berdasarkan tiga tahap perkembangan dalam teori perkembangan kepercayaan James W. Fowler:
·         Eksistensial tak Terdiferensiasi
Pada masa ini anak-anak berada dalam masa bayi. Artinya pada masa ini adalah masa penjajakan hubungan dengan lingkungan sekitar. Pada masa ini anak akan mulai terbentuk rasa percayanya terhadap orang tua dan lingkungan sekitar. Pada masa ini sulit untuk diteliti secara empiris mengenai perkembangan iman anak  (Downs 1995, 77).
·         Kepercayaan Intuitif-Proyektif
Anak dalam masa ini berada pada usia enam atau tujuh tahun. Anak pada masa ini lebih menekankan pada pengalaman inderawi dalam membentuk pemikirannya. Sehingga penjelasan mengenai orang tua yang sifatnya sebab-akibat sulit untuk dipahami oleh anak-anak. Pada masa ini juga anak-anak dalam cara berpikirnya masih egosentris, karena belum mampu untuk mengakomodir dua pemikiran yang berbeda. Pada masa ini pertumbuhan akan berbahaya jika anak terlalu dieksploitasi untuk memperkuat ajaran moral doktrinal (Supratiknya 1995, 115-117, 131). Hal tersebut juga tidak menutup kemungkinan terjadi pada pertumbuhan iman.
·         Kepercayaan Mistik-Harfiah
Pada masa ini anak akan memiliki pemikiran yang lebih logis dan terstruktur. Pada masa ini juga anak akan belajar untuk memisahkan hal-hal yang nyata dan semu. Pertumbuhan pada masa mistis harafiah akan mampu membantu anak untuk memadukan pengalaman ke dalam bentuk cerita. Pada masa ini juga anak-anak telah mampu mengambil perspektif dari orang-orang dewasa di sekitarnya dan membandingkan dengan pengalaman mereka (Supratiknya 1995, 132-133).
            Penjabaran mengenai teori perkembangan kepercayaan dari James W. Fowler tersebut dapat dikatakan mendukung teori Bushnell tentang pertumbuhan iman dalam kehidupan. Tiga bagian tahapan perkembangan iman dalam teori Fowler menunjukkan adanya proses pemaknaan dalam ketiga tahap tersebut.
Pemaknaan di dalam kehidupan dapat memunculkan pengalaman pribadi bagi anak. Pengalaman pribadi akan menentukan bagaimana cara seorang anak memaknai iman mereka melalui proses perkembangan (Boehlke 2011, 453). Terlepas dari perbedaan cara memaknai hal-hal yang terjadi di dalam kehidupan, yang terpenting adalah dari proses tersebut anak dapat memahami dan membentuk cara berpikirnya mengenai hidup mereka, termasuk iman mereka.
Pendidikan yang hendak ditanamkan oleh Bushnell bertujuan agar perkembangan iman anak dapat berlangsung secara dinamis (Boehlke 2011, 462). Akan tetapi apakah prinsip dari Bushnell masih dapat diterapkan pada zaman globalisasi seperti sekarang ini? Pertanyaan tersebut muncul mengingat perbedaan konteks pada masa Bushnell dan masa kini yang terlihat sangat kontras.
  Prinsip dasar yang perlu diingat dalam pendidikan anak di keluarga dalam teori Bushnell adalah membuat kehidupan yang kondusif bagi anak. Orang tua harus memberi perhatian yang baik kepada anak-anaknya. Pasalnya jika orang tua jarang memberikan waktu dan perhatian untuk anaknya, maka masa-masa untuk melatih kepekaan iman anak dan berproses bersama anak tidak akan terulang lagi (Boehlke 2011, 480-481).
Anak-anak semakin dekat dengan media informasi, misalnya televisi. Anak-anak tidak dapat terhindarkan dari berbagai informasi yang dapat mempengaruhi perkembangan pribadi dan iman mereka. Jika anak-anak tidak didampingi dalam pertumbuhan mereka, maka anak-anak akan memiliki sensitivitas yang kurang peka (Carrol 1990, 258-259). Akan tetapi hal tersebut akan sulit terealisasi jika orang tua tidak memahami betapa pentingnya pendampingan dalam tumbuh kembang anak, termasuk dalam pertumbuhan iman melalui proses dan pengalaman dalam kehidupan.
Orang tua seharusnya tidak melalaikan tanggungjawab untuk mendampingi pertumbuhan anak. Orang tua juga disatu sisi tidak boleh otoriter terhadap anak. Orang tua dituntut harus menjadi orang tua yang berwibawa dalam mendidik anaknya. Jika hendak melakukan pendekatan seperti ini maka perlu disadari oleh orang tua bahwa mereka harus menjadi pihak yang paling peka terhadap kebutuhan anak. Akan tetapi dalam batas-batas tertentu berdasarkan situasi dan kondisi yang terjadi pada proses pertumbuhan anak (Collins 1990, 103).  
            Jika orang tua telah mampu bijaksana dalam menyikapi perkembangan anak. Maka orang tua dapat melaksanakan berbagai hal-hal yang mendukung dalam pertumbuhan iman anak. Usaha orang tua untuk menjadi lebih bijaksana adalah bentuk upaya mewujudkan orang tua yang mendidik berdasarkan nilai-nilai Kristen. Orang tua juga harus menyikapi perkembangan iman anak dengan bijaksana. Selain itu orang tua harus menyadari bahwa orang tua harus menyediakan sarana yang tepat dan mampu mengembangkan daya berpikir anak mengenai iman mereka (Boehlke 2011, 481, 488). Akan tetapi yang terpenting adalah orang tua harus mempraktikkan pemahaman iman mereka agar anak-anak memiliki contoh yang konkret dalam perkembangan iman (Katolisitas website 2016).
Kesimpulan dan Refleksi
             Teori Bushnell mengenai pertumbuhan secara kristiani berfokus pada anak dan orang tua. Hal tersebut menunjukkan bahwa orang tua dan anak adalah satu kesatuan dalam keluarga. Perkembangan anak turut ditentukan oleh orang tua dan lingkungan sekitar. Akan tetapi upaya anak untuk menemukan nilai-nilai kehidupan dan imannya tidak dapat disisihkan oleh orang tua. Pemahama-pemahaman yang coba dijabarkan oleh Bushnel masih relevan untuk masa kini, yang menekankan anak yang terus mengeksplorasi iman dan orang tua yang peka terhadap anak.

Daftar Acuan
Boehlke, Robert R. 2011. Sejarah perkembangan pikiran dan praktek Pendidikan Agama
Kristen: Dari Yohanes Amos Comenius sampai perkembangan PAK di Indonesia.
Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Bushnell, Horace. 1960. Christian Nurture. New Haven: Yale University Press.
Carrol, David. 1990. Spiritual Parenting: A loving guide for the new age parent. New York:
            Paragon House.
Downs, Perry G. 1995. In The power of Fowler. In Nurture that is Christian: Developmental
            Perspectives on Christian Education. Ed. James C. Willhoit & John M. Dettoni. 75-90.
            Grand Rapids: Baker Books.
Lawson, Kevin E. 2001. In Historical foundation of Christian Education. In Introducing
Christian Education: Foundations for the twenty-first Century. Ed. Michael J. Anthony.
17-34. Grand Rapids: Baker Academic.
Supratiknya, A. Peny. 1995. Teori perkembangan kepercayaan: Karya-karya penting James W.
            Fowler. Terj. Agus Cremers. Yogyakarta: Kanisius.
Website
Katolisitas. Peran Orang Tua dalam Pembinaan Iman Anak http://www.katolisitas.org/peran

orang-tua-dalam-pembinaan-iman-anak/ (diakses 4 Mei 2016)

Etika Luther dalam Meninjau Fenomena Kepemimpinan Ahok

Latar Belakang Pengajaran Luther
Martin Luther adalah seorang pemikir Kristen yang mempelopori lahirnya reformasi. Martin Luther adalah seorang pengkhotbah dan guru yang saleh. Luther menekankan pengajarannya pada pemahaman kekristenan yang didasari pada kebenaran kitab suci. Pandangannya ini tidak hanya membawa pengaruh di gereja. Ajaran-ajaran yang dibawa oleh Luther membawa pengaruh bagi dunia pada zamannya (Grosshans 2001, 13).
            Luther bertumbuh dalam masa yang penuh dengan perubahan. Luther bertumbuh pada masa dinasti Charles V (1500-1558). Pada masa itu terjadi ledakan ekonomi dan kapitalisme. Banyak penduduk yang berhasil mengembangkan usaha mereka. Luther dalam hidupnya memperoleh perjalanan iman yang membuatnya menyadari akan kebesaran Allah. Luther juga melawan praktek Indulgensia yang menunjukkan penerapan otoritas berlebihan di dalam gereja katolik. Pendirian Luther untuk mempertahankan prinsipnya menjadikan kitab suci sebagai pembaru terus dipertahankan meski banyak rintangan menghadang perjalanan hidupnya (Grosshans 2001, 15-25).
            Ajaran-ajaran Martin Luther sangat dipengaruhi oleh konteks yang terjadi pada masa hidup Luther. Pengaruh ajaran-ajaran Luther sangat dipengaruhi oleh pergolakan yang terjadi selama masa reformasi gereja. Luther saat itu berada dalam keadaan yang penuh dengan otoritas di dalam gereja. Pada masa itu Luther mengkritik pemikiran-pemikiran gereja yang menurutnya kurang tepat dan tidak menunjukkan perbuatan yang baik (White, 1981).
Ajaran Martin Luther mengenai Kebaikan
            Manusia menurut Martin Luther harus terus berbuat baik. Manusia harus terus berbuat baik agar membawa dampak di dalam kehidupan. Dampak baik dari kehidupan terhadap orang lain akan terlihat saat manusia berusaha untuk lebih baik lagi di dalam kehidupannya. Hal tersebut memperlihatkan bahwa manusia tidak menjalani kehidupan yang statis, karena manusia akan senantiasa terus memperbaiki diri (White 1981, 153).
            Ajaran Luther mengenai etika sangat terkait dengan ajaran Luther mengenai iman Kristen. Ajaran etika Luther menekankan mengenai kehidupan di dalam Tuhan. Perbuatan baik yang dilakukan oleh manusia adalah perbuatan yang didasari oleh keyakinan iman yang dimiliki oleh manusia. Perbuatan baik bukan semata-mata hanya sebagai cara agar manusia dapat diterima Allah di kerajaan surga. Kebaikan manusia akan dilengkapi di dalam kematian dan kebangkitan Yesus (Gritsch & Jenson 1976, 137).
             Luther juga sangat menekankan mengenai hukum dalam kehidupan manusia. Menurut Luther manusia memiliki hukum alamiah. Hukum alamiah yang dimaksud berasal dari kebijaksanaan, pengalaman pribadi dan korporasi politik. Hukum alamiah hadir di tengah iklim kehidupan yang penuh dengan berbagai permasalahan. Akan tetapi hukum Allah tetap menjadi yang utama bagi manusia. Maka dari itu menurut Luther sangat penting hukum untuk diajarkan kepada manusia, agar manusia memiliki kebijaksanaan untuk menentukan yang baik dan yang buruk (White 1981, 158).
            Manusia menurut Martin Luther memiliki kebebasan dalam kehidupannya. Akan tetapi kebebasan yang dimiliki oleh manusia berada bersamaan dengan dosa manusia. Untuk itu keselamatan dari Allah akan melengkapi kebebasan dalam diri setiap manusia. Akan tetapi kebebasan yang dimili oleh manusia akan membawa pengaruh pada manusia. Kebebasan manusia akan mempengaruhi perbuatan baik manusia. Kebebasan manusia akan tetap berada dalam lingkaran dosa bila kepentingan pribadi dan rasa ingin memiliki masih mendominasi manusia (Grosshans 2001, 78). Penjabaran pemahaman Luther mengenai kebebasan memunculkan pemahaman bahwa kebaikan akan sulit terlihat bila latar belakangnya adalah kepentingan pribadi. Kebaikan juga tidak akan terlihat bila manusia tidak menggunakan kebebasan dalam dirinya untuk kebaikan bersama.
Luther dan Pemahaman Politik
            Manusia di dalam kehidupannya tidak terlepas dari politik. Pada dasarnya politik tidak hanya berada pada level pemerintahan. Politik menjadi hal yang diusahakan di dalam kehidupan oleh banyak orang. Alasan mendasar dari pendapat tersebut karena politik dapat membentuk struktur di dalam kehidupan manusia. Kehidupan manusia dapat berjalan sesuai kondisi politik yang coba diterapkan dan diperlihatkan di dalam kehidupan (Rendtorff 1989, 14).
            Pemahaman politis yang ditawarkan di dalam pemahaman Luther berfokus pada upaya mereduksi konsep politik yang penuh dengan otoritas dan kekuasaan pengadilan.  Berdasarkan pemahaman tersebut Luther mencoba memberikan pemahaman baru mengenai konsep berpolitik. Dalam teologi Lutheran konsep politik tetap berfokus pada Allah dan manusia sebagai mahluk yang berdosa. Politik menjadi sarana manusia untuk menjauhkan diri dari kekerasan yang berdasarkan pada proses penyaliban Yesus Kristus (Rendtorff 1989, 15).
            Pandangan lain mengenai politik dalam kerangka berpikir Luther adalah soal pelayanan. Politik dapat menjadi sarana untuk melaksanakan hidup yang baik bagi orang lain. Politik dapat menjadi sarana untuk mewujudkan kehidupan yang baik bersama dengan orang-orang di sekitar. Hal tersebut didasari pada pengajaran dari Allah melalui hukum Allah yang dipahami oleh manusia (Gritsch & Jenson 1976, 185). Hukum Allah menjadi dasar manusia untuk bertindak mewujudkan politik yang berdampak baik bagi kehidupan semua orang (White 1981, 158).
            Pengakuan akan penyertaan Allah dalam diri manusia menjadi faktor yang sangat penting dalam hidup manusia, termasuk di dalam pilihan politis manusia. Allah menciptakan manusia menjadi penggerak kehidupan di dunia, meski dengan berbagai pemahaman yang berbeda-beda. Intinya bukan pada mempersatukan pemahaman, melainkan pada mengakui kehadiran Allah dan menguatkan pilihan untuk berbuat kebaikan di tengah pergumulan dan polarisasi. Politik berdasarkan interpretasi firman Allah membuat manusia beroritentasi pada masa depan bersama yang lebih baik (Gritsch & Jenson 1976, 185-186).
                Pemahaman mengenai politik berdasarkan kerangka berpikir etik Luther memberi pemahaman mengenai bagaimana proses politis di dalam kehidupan. Proses politik yang ditunjukkan oleh Luther adalah sebuah kerangka berpikir untuk memahami politik yang didasarkan pada Allah dan firman-Nya sebagai pusat dari pemahaman politik secara Kristiani.
            Etika yang diajarkan oleh Lutheran sangat dipengaruhi oleh ajaran-ajaran mengenai kuasa Allah dan hukum Allah. Perbuatan baik di dalam kehidupan, termasuk di dalam politik adalah bagian dari tanggungjawab moral manusia. Manusia diharapkan tidak hanya mampu memahami dan mengajarkan berbagai nilai-nilai kebaikan di dalam kekristenan. Manusia diharapkan mampu menunjukkan hal-hal baik di dalam kehidupan, termasuk di dalam politik. Akan tetapi satu hal yang tidak boleh dilupakan adalah soal kebersamaan. Manusia senantiasa harus mengupayakan kebaikan di dalam kehidupan politis secara bersama-sama (Ulrich 2005, 34).  Hal tersebut perlu diperhatikan dan dilaksanakan karena politik akan membawa dampak sosial. Politik harus membawa pengaruh baik bagi semua orang.
Tinjauan terhadap Perjalanan Politik Ahok berdasarkan Etika Luther
            Indonesia belakangan ini mengalami pergolakan dalam dunia politik. Banyak sekali pemberitaan di media massa mengenai politik di Indonesia. Berita-berita yang disampaikan di media massa sangat beragam, mulai dari berita pencapaian program kerja, hingga berbagai skandal di dunia politik yang menghebohkan negeri. Pergolakan politik yang terjadi di Indonesia membuat mata tertuju pada para pemimpin di negeri ini, mulai dari tingkat tertinggi hingga tingkat terendah.
            Kondisi politik di Indonesia yang tidak stabil dan penuh kepentingan membuat dimensi sosial politik harus direfleksikan kembali. Politik yang dilandasi oleh pemahaman akan dimensi politis manusia yang baik menjadi penting. Pembahasan yang alot dan berbelit-belit di dalam politik akan menjadi nihil jika tidak menyadari dimensi politis manusia di dalam pelaksanaan politik.
            Dimensi politis manusia adalah dimensi masyarakat yang ada di dalam sistem politik secara keseluruhan. Dimensi politis manusia menjadi salah satu landasan di dalam berpolitik. Itu artninya di dalam pendekatan yang politis perlu memikirkan aspek kemanusiaan di dalamnya. Artinya berbagai hal yang dilaksanakan dan diputuskan di dalam politik harus mengacu pada masyarakat secara keseluruhan (Magnis-Susesno 1994, 19-20).
            Pemahaman nilai moral perlu di dalam melaksanakan sistem politik, baik di dalam negara atau pun di dalam tatanan sosial masyarakat yang lain. Nilai moral dapat dijadikan sebagai ukuran untuk menentukan patut atau tidaknya keputusan yang diambil di dalam sistem politis yang terbentuk (Magnis-Suseno 1994, 15). Artinya setiap pengambilan keputusan harus berdasarkan pertimbangan moral. Pertimbangan moral menjadi sarana untuk melihat apakah keputusan tersebut patut dilaksanakan atau tidak. Pertimbangan moral yang baik dapat diperoleh salah satunya dengan penghayatan iman manusia. Manusia sebagai perpanjangan tangan Sang Kuasa untuk menunjukkan nilai-nilai kebaikan di tengah kehidupan.
Kondisi yang dihadapi Luther pada masanya mirip dengan kondisi di Indonesia. Tentu saja konteks permasalahan yang dihadapi sangat berbeda. Luther melawan kebijakan indulgensi atau penjualan surat pengampunan dosa, karena surat pengampunan dosa membawa dampak buruk bagi umat pada saat itu. Hal tersebut bertentangan dengan prinsip Luther yang menekankan keselamatan berasal dari Allah. Meski pun pada akhirnya Luther tetap mendapatkan perlawanan dari berbagai kalangan (Grosshans 2001, 19). Luther pada saat itu juga terus mengupayakan kitab suci yang dapat dibaca oleh semua orang. Artinya Luther mengupayakan penerjemahan Perjanjian Baru dari bahasa Yunani ke bahasa Jerman agar firman Allah dapat dipahami semua orang dan menjadi dasar kehidupan umat Kristen (Grosshans 2001, 21). Hal tersebut bertujuan agar dampak baik dari mengetahui firman Allah terasa bagi semua orang.
            Penjabaran pada bagian sebelumnya menunjukkan bahwa Luther ingin mengubah paradigma mengenai politik di dalam gereja. Politik dapat membawa dampak sosial bagi manusia. Untuk itu politik lebih ditekankan sebagai upaya untuk mewujudkan kehidupan bersama yang lebih baik. Peristiwa yang dialami oleh Luther di dalam gereja juga menunjukkan bahwa politik bukan hanya mempertahankan idealisme semata.
            Pengambilan kebijakan sebagai bagian dari politik yang membawa dampak bagi masyarakat menjadi sorotan. Politik di Indonesia pada saat ini hanya menjadi panggung perebutan kekuasaan. Banyak pejabat publik yang lupa akan tanggungjawab untuk melayani masyarakat. Kebijakan politik kurang membawa dampak sosial dan pemikiran yang baik bagi masyarakat (Hargen website 2016).
            Kondisi yang demikian rumit memunculkan sikap apatis dengan keadaan politik Indonesia. Akan tetapi beberapa waktu belakangan muncul tokoh-tokoh politik yang membawa harapan baru bagi Indonesia. Salah satunya adalah Basuki Tjahja Purnama, atau yang biasa disapa Ahoh. Saat ini Ahok menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta. Ahok saat ini menjadi public figure yang cukup terkenal di Indonesia.
            Ahok dengan kebijakan publiknya berupaya untuk mengintegrasikan program pemerintah dengan masyakarat. Salah satu contoh kebijakan politik yang membawa pengaruh bagi masyarakat adalah bantuan untuk masyarakat Jakarta yang kurang mampu. Misalnya, Ahok meneruskan program-program pendahulunya, Joko Widodo dalam bantuan untuk masyarakat seperti Kartu Jakarta Pintar (KJP) dan lain-lain (Deustche Welle website 2016).
            Selain kebijakan politik yang terintegrasi dengan masyarakat, Ahok juga melawan praktik korupsi di pemerintahan dan membeberkannya di media. Hal tersebut menjadi daya tarik Ahok lainnya di dalam masa jabatannya. Ahok tidak segan memecat orang-orang yang kedapatan melalukan pelanggaran yang merugikan pemerintahan (Riaugreen website 2016).
            Manuver-manuver yang dilakukan oleh Ahok terasa seperti harapan baru di tengah perpolitikan Indonesia. Ahok menunjukkan sikap untuk berbuat baik kepada orang banyak. Perbuatan baik untuk orang banyak tersebut berasal dari kebijakan-kebijakan publik yang dibuat oleh Ahok.  Kebijakan Ahok juga membawa pengaruh kepada orang-orang yang berada di dalam pemerintahan, sebagai upaya untuk memberikan pemahaman mengenai pemerintahan yang berlangsung kepada masyarakat, sebagai bagian dari politik yang membawa dampak sosial.   
            Apa yang dilakukan Ahok pada saat ini jika dipandang dari sudut pandang Martin Luther dapat dikatakan sebagai bentuk sebuah reformasi. Martin Luther dalam pemahaman mengenai konsekuensi moral menekankan bahwa iman yang menyelamatkan harus terwujud dalam kasih dan perbuatan baik yang bermanfaat bagi semua orang. Perbuatan-perbuatan tersebut harus berujung pada perbuatan yang aktual. Contohnya adalah melawan ketidakadilam di berbagai bidang dan melawan penguasa yang melupakan tanggungjawab yang mereka miliki, sebagai bagian dari iman. (White 1981, 171).
            Luther menekan juga mengenai kekuasaan dalam politik. Kekuasaan yang dimiliki di dalam sistem politik akan selalu berhubungan dengan kebijakan-kebijakan yang hendak diambil oleh pihak-pihak yang berkuasa. Hal yang menjadi prioritas di dalam kekuasaan politik didasari dengan nilai-nilai Kristen. Politik yang didasari oleh iman Kristen menurut Luhter adalah politik yang nyata berupa aksi terhadap sesama. Aksi terhadap sesama yang menjadi makna dari kewarganegaraan (Ulrich 2005, 37).
            Jika melihat kinerja Ahok berdasarakan perspektif Martin Luther, dapat dikatakan bahwa Ahok sedang mengupayakan kebaikan bersama di dalam jabatan dan wewenang yang dia miliki. Sebenarnya pada dasarnya politik harusnya membawa dampak sosial yang baik bagi semua orang. Akan tetapi itu adalah sebuah pemahaman di dalam pemikiran, di dalam praktiknya hal tersebut sulit terjadi. Di tengah kesulitan tersebut Ahok dianggap sebagai pelopor dari gerakan politik yang membawa dampak bagi sesama.
            Perlawanan Ahok terhadap penyalahgunaan kekuasaan terlihat di dalam upayanya membongkar penyelewengan di DPRD DKI Jakarta (Riaugreen website 2016). Ahok menggunakan otoritas yang dia miliki sebagai gubernur untuk membongkar tatanan yang keliru di dalam pemerintahan yang dia pimpin. Selain itu dia juga menggunakan otoritas yang ada untuk mengambil sikap dalam penentuan kebijakan apakah sesuai dengan kebaikan bersama untuk warga Jakarta atau tidak. Warga Jakarta pun puas dengan kinerja yang ditunjukkan oleh gubernur mereka tersebut. Tingkat kepuasan warga Jakarta terhadap gubernur mereka tersebut mencapai 81,5 persen, yang mengalami peningkatan dari survei-survei sebelumnya (Liputan 6 website 2016) .
Kesimpulan
            Kebaikan dan kehidupan politik menjadi beberapa bagian dari etika Kristen Luther. Kebaikan menurut Luther adalah sebuah proses untuk memperbaiki hidup dan mengupayakan hal-hal yang sifatnya baik (White 1981, 153). Selain itu kebaikan yang dimaksud juga harus di dasari pada hukum Allah (White 1981, 158) dan menyadari pentingnya menjadi agen perubahan untuk kehidupan yang lebih baik (Gritsch & Jenson 1976, 185-186). Dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa politik yang membawa pengaruh harus berjalan seiring dengan kebaikan bersama berdasarkan hukum Allah, agar manusia memperoleh keselamatan dan kehidupan yang lebih baik.
            Ahok menunjukkan nilai-nilai kekristenan dari etos kerjanya. Etos kerja yang mementingkan kepentingan bersama menjadi nilai lebih Ahok dimata masyarakat. Selain itu keberanian dan kegigihan untuk meluruskan kembali makna otoritas dalam politik pun menjadi nilai lebih Ahok yang lain di tengah masyarakat. Politik yang mementingkan rakyat dan membawa nilai kebaikan bagi semua orang menjadi kebutuhan utama masyarakat Indonesia saat ini. Apa yang membuat Ahok dipuja oleh masyarakat pada saat ini disebabkan karena melalui kebijakannya lebih mampu mengakomodir kebutuhan masyarakat.
            Ahok memberikan gambaran bagi masyarakat Indonesia mengenai apa yang harus dilakukan untuk memperbaiki kehidupan bangsa. Ahok menunjukkan pentingnya nilai-nilai kebaikan bersama. Sementara Etika Luther juga mengajarkan hal yang serupa melalui ajaran Etika Kristen. Nilai penting dalam etika Kristen Luther mengenai kebaikan adalah pentingnya untuk mendasari perbuatan baik atas dasar keyakinan akan keselamatan dan hukum yang berasal dari Allah (White 1981, 158). Etika Kristen Luther tersebut dapat membantu kita menyimpulkan bahwa kebaikan yang harus dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari harus didasari iman sebelum membawa dampak bagi orang lain, salah satunya melalui politik. Politik yang baik akan didukung oleh kebaikan untuk semua orang dan keyakinan dalam iman.
Daftar Acuan
Gritsch, Eric W and Robert W. Jenson: 1976. Lutheranism: The theological movement and its
            confessional writings. Philadelphia: Fortress Press.
Grosshans, Hans-Peter, 2001. Tokoh pemikir Kristen: Luther. Editor Peter Vardy.
            Yogyakarta: Kanisius.
Magnis-Suseno, Frans. 1994. Etika politik: Prinsip-prinsip moral dasar kenegaraan modern.
            Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Rendtorff, Truzt. 1989. Ethics vol. 2: Applications of an ethical theology. Translated by
            Keith Crim. Minneapolis: Fortress Press.
Ulrich, Hans G. 2005. In On the grammar of Lutheran ethics. In Lutheran ethics at
            The intersections of God’s one world,  Ed. Karen L. Bloomquist, 27-48. Geneva:
            The Lutheran World Federation Departement for Theology and Studies.
White, R.E.O. 1981. The changing continuity of Christian Ethics Vol. 2: The insights of story.
Exeter: The Paternoster Press.
Website
Hargen. Maraknya Kondisi Politik di Indonesia di Kalangan Masyarakat.
Deutsche Welle. Ahok, Gubernur Pertama Etnis Tionghoa. http://www.dw.com/id/ahok-   gubernur-pertama-etnis-tionghoa/a-17856713 (diakses 2 Mei 2016).
Liputan 6. Survei Tingkat Kepuasan Warga Terhadap Ahok 81,5 Persen
Riaugreen. Bongkar Korupsi DPRD DKI, Ahok Dipuji Menteri, Gubernur dan Pejabat

Rabu, 25 Mei 2016

Apakah Aku Berarti?

Untuk sahabat yang kukasihi.

Hati, perasaan setiap insan berbeda
Bagiku, perasaan ku hanya ruang hampa namun bernoda
Perasaan yang tidak ada artinya bagi yang lain
Hanya diisi dengan noda penolakan

Detik demi detik, hela demi hela nafas
Aku berusaha untuk menemukan arti hidupku
Aku berusaha memaknai makna kehadiranku
Hanya satu pertanyaanku, "Apa arti kehadiranku di dunia ini?"
"Apa arti kehadiranku bagi orang lain, orang lain selain sepasang manusia yang menyayangi aku dengan sepenuh hati, yang kupanggil ayah dan ibu?"

Aku berpetualang dalam kehidupan
Menjalani lika-liku, turun-naik kehidupan
Aku terus melangkah dan melangkah
Meski aku sadar, terus melangkah tanpa semangat dan arti.

Aku tak tahu ada rasa syukur di hari yang lalu
Aku telah melihat dia dalam beberapa waktu
Aku semakin sering melihat wajahnya
Aku semakin sering melihat gerak tubuhnya.

Aku merasa biasa saja
Semua awalnya berjalan biasa saja
Tapi lama kelamaan aku melihat sesuatu
Aku melihat sesuatu yang berbeda darinya.

Seiring berjalannya waktu aku mengenalnya
Wanita tangguh yang sungguh menginspirasi
Pemikir yang mengubah hidupku
Pemikirannya membuatku semangat untuk menjadi berarti

Aku merasa ada yang berbeda lagi.
Aku merasa dekat dan senang
Meski jarang bertemu, jarang bersama
Tapi aku merasa bahagia.
Hati ku dengan tulus berkata
"Aku mau memberikan kasih sayang ku yang kecil ini untukmu"

Aku mencoba memberi tanda
Aku hendak mengatakan langsung kepadanya
Tapi, apa daya ku
Waktu belum mempertemukan raga kami

dia mengatakan padaku ingin menjadi sahabatnya
Aku sangat paham bukan itu jawaban yang kuinginkan
Hatiku sakit, mimpi ku hancur, galau menghampiri
Tapi, aku harus rela
"Aku mau memberikan kasih sayang ku yang rapuh dan apa adanya ini untukmu, sahabatku"
"Aku rela mengubah harapanku, agar kau bahagia dan mimpi mu tercapai, sahabatku"

Apa yang terlintas dipikiranku saat ini?
Mungkin bisa ditebak, bahkan terlihat jelas.
Aku tak dapat menyembunyikan apa pun.
"Aku hanya ingin menghabiskan waktu berdua dengan sahabatku".

Tapi, waktu tidak jua berpihak padaku.
Aku dan dia tidak dapat bertatapan langsung.
Hari ku semakin resah, hatiku semakin tak karuan
Tak ayal pikiran negatif menguasai ku.

Pertanyaan paling mencekam pun muncul
Pertanyaan yang menghantui ku
Pertanyaan yang terngiang jelas di benak ku
"Apakah aku berarti bagi dia, seorang yang ku kasihi itu?"

Aku terkadang iri dengan yang lain
Aku terkadang gundah dengan keadaan ku
Aku ingin bertemu dengan dia, seperti yang mereka rasakan.
Untuk menjawab satu pertanyaan lainnya
"Apakah engkau mengasihi aku, sahabat?"

Ketika aku melihat kegembiraannya
Ketika aku dapat merasakan kebahagiaannya
Keceriaan saat bertemu dengan orang-orang yang dia kasihi
Aku kembali bertanya di dalam hati.
"Apakah kehadiranku membuat dia bahagia? Atau malah mengganggu hidupnya?"

Aku pun ingin meluangkan waktuku bersama dia.
Aku rela mendengarkan keluh kesahnya
Aku akan dengan senang hati menjadi tempatnya mengadu.
Aku akan menyediakan hati, pikiran dan tenaga.
"Hanya agar aku berguna bagi mu, sahabat yang sangat ku kasihi."

Engkau merasa dirimu rapuh.
Kau katakan bahwa dirimu dihantui bayang kelam masa lalu.
Aku tidak akan memaksamu, aku ingin engkau sembuh dari lukamu
Aku ingin bersama mu dan menemani mu.
Dengan besar hati akan ku korbankan keinginanku yang lain bersama mu.
Tapi, "apakah kau bersedia ditemani oleh manusia kecil dan tak bisa apa-apa seperti ku?"

Apakah aku disayangi olehnya? Aku tidak tahu
Apakah dia peduli pada ku? Aku pun tak tahu.
Apakah dia ingin aku pergi dari hidupnya? Kalimat yang menghantui ku
Apakah aku berarti baginya? Hanya dia dan Sang Misteri kehidupan yang mengetahui nya.


Jakarta 26 Mei 2016



Pemimpi yang Keras dan Rapuh



P.S.
Mungkin coretan ini terlihat lucu, bahkan mungkin aneh
Coretan yang dibuat oleh seorang lelaki
Lelaki berperawakan tinggi besar, wajah seram, keras kepala.
Tapi perasaannya lembut bahkan cenderung rapuh
Luluh kerasnya hati itu ketika bersama orang yang dikasihinya.




Kamis, 12 Mei 2016

Aku Tak Mau Menepuk Angin

Aku tak mau menepuk angin
Aku tak mau menjalankan kesia-siaan
Aku ingin semua rencana terjalin
tapi, apa semua tinggal harapan?

Aku tak mau menepuk angin
Aku ingin konstruksi hidup yang menyenangkan
Aku ingin kehidupan yang terpimpin
tapi, apakah semua tinggal angan?

Aku tak mau menepuk angin
Aku ingin meraih mu, wahai kesayangan
Aku berusaha jadi pengaduanmu
tapi, apakah kau menyadarinya?

Aku tak mau menepuk angin
Aku ingin bersama mu, wahai pujaan
Aku mencoba jadi sahabat hatimu
tapi, apa kau sudi menerimanya?

Aku tak mau menepuk angin
Jika angin sudah tertepuk
mungkin si hina akan terpuruk
karena rasa terasa bagai angin lalu

Aku tak mau menepuk angin
Si hina hanya mau kebahagiaan
Aku hanya berusaha jadi yang terbaik
Aku tak mau sang kesayangan ditusuk kekecewaan

Aku tak mau menepuk angin
Aku tak mau berprasangka
Aku tak mau berputus asa
Sungguh! Aku tak mau

Jakarta, 12 Mei 2016



Pemimpi yang Tenggelam
S.G.S

Pemahaman Teologis Liturgi Baptisan Anak dalam Gereja Lutheran

Pengantar
Baptisan adalah sebuah bentuk pemberian materai kepada seseorang sebagai tanda bahwa orang yang dibaptis telah menerima dan mengakui iman percaya mereka kepada Kristus. Baptisan secara sederhana dapat diartikan sebagai simbol pengakuan iman untuk terus menjalani kehidupan di dalam Iman Kristen.
Baptisan menjadi hal yang penting dalam kekristenan. Baptisan merupakan sakramen yang dijalankan oleh berbagai aliran gereja. Jika baptisan dilakukan oleh gereja dan diakui sebagai sakramen, maka di dalam baptisan pasti ada makna yang dalam mengenai Allah dan manusia.
             Baptisan merupakan bahasan yang sangat luas. Penulis membatasi bahasan mengenai baptisan pada anak. Selain itu pembahasan mengenai baptisan dalam tulisan ini juga dibatasi pada pemahaman baptisan dalam gereja Lutheran dengan mengacu pada pemikiran Martin Luther. Penulis juga menjabarkan pemahaman gereja HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) memandang baptisan anak sebagai salah satu gereja beraliran Lutheran. Pembahasan baptisan anak juga ditinjau dari penerapannya dalam ibadah. Pertimbangan pernyataan tersebut adalah bahwa baptisan dewasa dilakukan atas permintan orang yang ingin dibaptis. Selain itu dalam baptisan dewasa terdapat makna kelahiran kembali melalui konversi iman yang dilakukan (Kuyper 2009, 224).
Pembahasan
1.      Baptisan Anak pada Masa Reformasi Gereja
Ibadah yang terbentuk dalam gereja-gereja Lutheran adalah pola ibadah yang terbentuk sejak zaman Reformasi gereja. Pada abad 16 para Reformator mengkritik ritus yang dilakukan oleh gereja-gereja Latin tentang baptisan pada masa itu. Menurut para reformator pada dasarnya baptisan harus dilakukan menggunakan air dan dilakukan dalam nama Allah Tritunggal. Berbagai penambahan dalam pembaptisan akan membawa pada ketahkyulan (Fisher 1978, 120).
Para Reformator mengkritik gereja pada masa itu. Baptisan yang diterapkan di dalam gereja juga tidak lepas dari perhatian para Reformator. Pada masa itu para Reformator mencari makna pada skala praktik di gereja pada masa itu. Para reformator mencoba untuk mengkonsentrasikan dan menyederhanakan ritus yang sudah ada pada masa itu. (Wainright 1974, 38).
Pembaptisan pada masa itu dilakukan kepada anak-anak. Para reformator mengambil dasar pemahaman mereka dari hal-hal yang dijelaskan dalam alkitab mengenai penerusan kekristenan kepada anak. Prinsip pembaptisan anak yang dipahami oleh para Reformator adalah sejak Allah membuat perjanjian dengan Abraham untuk menjadikan Allah sebagai Tuhan dari anaknya. Anak yang berasal dari orang tua Kristen memiliki perjanjian baru dalam hidupnya setelah menerima baptisan untuk anak mereka. Saat anak sudah dibaptis maka anak telah menjadi anggota gereja, sebagai dampak dari baptisan maka anak-anak yang sudah dibaptis telah menjadi anggota gereja (Fisher 1978, 121).
Ritus yang dilakukan oleh Martin Luther mulai dilakukan pada tahun 1522. Peribadahan yang dilakukan saat itu adalah pembaptisan anak untuk menjadi anggota gereja. Peribadahan yang dilakukan saat itu berdasarkan agenda Magdeburg. Ibadah pembaptisan ini memasukkan unsur eksorsisme di dalamnya.Unsur eksorsisme dimaksud sebagai simbol dari penolakan terhadap setan  (Fisher 1978, 121). Pada bagian ini terlihat penekanan bahwa melalui baptisan ada penyertaan dari Allah. Anak yang telah dibaptis dan menjadi anggota gereja akan memperoleh penyertaan Allah di dalam kehidupannya.
Baptisan pada dasarnya adalah makna penerimaan ke dalam Gereja. Dasar dari baptisan bahkan diambil dari perjanjian antara Abraham dengan Allah. Perjanjian tersebut menjadi tanda bahwa Baptisan adalah simbol perjanjian manusia kepada Allah untuk menjadi anggota dalam persekutuan dengan Allah. Jika melihat dari cara pandang Calvin yang juga merupakan seorang reformator gereja mengenai baptisan, Calvin dalam pemahamannya memandang baptisan sebagai bentuk penyertaan Allah kepada manusia terhadap berbagai hal-hal yang jahat di dunia ini. (Fisher 1978, 123).

2.      Makna Baptisan Anak dalam Liturgi
Baptisan memiliki makna penting dalam ajaran kekristenan. Baptisan bahkan menurut Martin Luther dalam Luther’s Large Cathecism bahwa baptisan adalah perintah dari Allah. Bagian terakhir dari Injil Matius yang merupakan “Amanat Agung” menjadi salah satu dasar pemikiran Luther mengenai baptisan. Pernyataaan tersebut memunculkan pemahaman bahwa baptisan adalah perintah Allah dan tidak perlu ragu mengenai asal Baptisan tersebut (Luther 2015, 183-184).
Penjabaran pada bagian sebelumnya menunjukkan bahwa baptisan merupakan hal yang penting dalam kehidupan Kristen. Baptisan pada umumnya dilakukan oleh pendeta kepada anak-anak yang masih berusia sangat dini. Anak-anak yang hendak dibaptis oleh pendeta dibawa oleh orang tua mereka untuk dibaptiskan. Baptisan dilakukan oleh pendeta di gereja yang disaksikan oleh jemaat yang menghadiri ibadah tersebut.
Pertanyaan yang muncul adalah apakah makna dari baptisan berdasarkan situasi yang telah dijabarkan pada bagian sebelumnya? Baptisan pada anak menjadi simbol rasa syukur orang tua atas kehadiran anak di tengah keluarga Kristen. Selain itu di dalam keluarga tersebut ada pelayanan baru terhadap kehadiran anak tersebut. Baptisan dalam Kristen kepada anak dibuat dalam penekanan konteks penguatan makna bagi kehadiran anak di tengah keluarga Kristen (Crowe 1980, 16).
Baptisan pada anak dapat dikatakan menjadi sebuah bentuk ucapan syukur keluarga Kristen atas kehadiran seorang anak. Akan tetapi ada makna terdalam dari baptisan yang dilakukan kepada anak. Baptisan yang dilakukan pada anak berbeda dengan baptisan yang diberikan kepada orang dewasa. Baptisan yang diberikan kepada orang dewasa adalah baptisan karena keyakinan iman yang telah dipegang oleh orang yang ingin dibaptis. Anak yang menerima baptisan memperoleh kepercayaan mereka dari orang tua mereka. Oleh karena itu baptisan mereka harus berdasarkan pada konteks keluarga Kristen (Crowe 1980, 17).
Pemaknaan baptisan dalam liturgi Kristen adalah sebagai simbol penyambutan atas bertambahnya anggota baru dalam Kristen. Analogi yang dibentuk adalah dengan mengibaratkan anak sebagai manusia dan gereja sebagai orang tua. Bapa menerima  kehadiran anak di tengah komunitas umat-Nya, seperti itulah analogi manusia yang telah menerima baptisan. Baptisan berperan sebagai simbol yang memberi makna penerimaan bagi kedatangan orang-orang baru termasuk anak-anak dalam komunitas Kristen (Crowe 1980, 69).
Gereja menunjukkan penyambutan mereka dalam praktik liturgi di dalam ibadah yang di dalamnya dilangsungkan ritus pembaptisan dalam peribadahan Kristen. Philip Crowe menjelaskan bentuk penerimaan gereja dalam liturgi gereja keseluruhan dalam baptisan anak yang dapat diartikan sebagai berikut sebagai berikut:
“We welcome you into the Lord’s family. We are members together of the body of the Christ: we are children of the same heavenly father, we are inheritors together of the kingdom of God. We welcome you.”  (Crowe 1980, 68).
            Praktik baptisan dilakukan oleh gereja pada ibadah minggu. Pada mulanya baptisan dilakukan pada pelayanan khusus pada minggu siang. Gereja secara keseluruhan menerapkan baptisan sebagai bagian dari pelayanan publik, baptisan tidak dilakukan sebagai upacara khusus. Pada ibadah yang menyelenggarakan baptisan anak akan terlihat penegasan akan pernyataan gereja untuk memelihara anak yang telah di baptis. Anak yang telah menjadi anggota gereja yang telah dimateraikan melalui baptisan harus mendapat pemeliharan gereja sebagai bentuk pemenuhan gereja terhadap jemaatnya (Crowe 1980, 71). Baptisan yang dilakukan di ibadah gereja adalah baptisan yang menggunakan air. Selain itu di dalam baptisan menjadi simbol terdapat penyertaan roh kudus (Yoh 3:5) (Stauffer 1998, 57).
Baptisan Anak dalam Gereja Lutheran
Baptisan anak dilakukan di banyak gereja, termasuk di gereja beraliran Lutheran. Jika kita hendak melihat baptisan melalui sudut pandang gereja Lutheran, maka harus ada penjabaran pemahaman baptisan tersebut. Baptisan mustahil dilakukan jika tidak ada argumentasi yang menjadi pondasi baptisan. Pemahaman mengenai baptisan menunjukkan betapa bermaknanya baptisan yang dilakukan oleh gereja kepada umatnya, termasuk dalam melaksanakan baptisan pada anak.
Pemahaman Luther mengenai baptisan terlihat bahwa pentingnya makna baptisan secara umum. Pandangan lainnya yang ditunjukkan oleh Martin Luther bahwa sebenarnya baptisan tersebut adalah perintah Tuhan. Luther meyakini bahwa Allah telah memerintahkan manusia untuk menerima baptisan. Jadi secara tidak langsung timbul makna bahwa baptisan bukan hasil rekaan manusia yang dilakukan oleh Tuhan. Baptisan menjadi cara untuk memperoleh kesukaan kekal dari Tuhan (Luther 2015, 184-185).
Baptisan yang dilakukan pada anak dilakukan di dalam gereja HKBP yang beraliran Lutheran. HKBP memandang baptisan sebagai anugrah Allah berupa penempatan manusia masuk ke dalam kerajaan surga di dalam Kristus (Roma 6: 3-5). HKBP memandang baptisan sama seperti sunat yang dilakukan pada konteks masa perjanjian baru menurut tradisi Yahudi (Luk 2:21 ; Im: 12:3). Makna baptisan di dalam gereja HKBP adalah sebagai penghapusan dosa manusia (Lumbantobing 2013, 76).   
 Anak-anak yang dibaptis adalah bukti penyertaan Roh Kudus kepada manusia, termasuk kepada anak-anak. Baptisan yang diterima oleh anak-anak bukan hanya sekedar menunjukkan adanya penyertaan Roh Kudus. Anak-anak yang telah dibaptis menurut Martin Luther memiliki Roh Kudus di dalam dirinya (Luther 2015, 196). Meski pun baptisan pada anak-anak sifatnya pasif karena anak yang dibaptis belum mampu untuk bergerak secara mandiri, namun tetap ada pemaknaan iman yang mendalam dalam proses baptisan terhadap anak. Iman yang lahir kembali dan harus dijaga dalam diri anak yang dibaptis yang coba diperlihatkan melalui sakramen baptisan (Kuyper 2009, 224).
Permasalahan yang muncul di gereja HKBP yang beraliran Lutheran pada masa kini adalah mengenai keimanan dari anak yang dibaptis. Selain itu pertanyaan lain yang muncul adalah bagaimana mengenai anak yang lahir di tengah keluarga Kristen namun belum sempat dibaptis karena meninggal sebelum dibaptis, bagaimana sikap HKBP memandang hal tersebut? Pertanyaan-pertanyaan tersebut berdampak pada bagaimana keabsahan dan makna baptisan pada anak yang dianggap belum mampu menyatakan imannya.  
            Pertanyaan mendasar yang penting mengenai baptisan anak adalah apakah baptisan tersebut akan memberikan makna kepada anak yang menerima baptisan. Bahkan jika ditelusuri akan timbul pendapat bahwa baptisan yang dilakukan pada anak tidak berarti. Baptisan yang dilakukan kepada anak hanya menjadi simbol penerimaan tanpa pemahaman. Baptisan yang dilakukan kepada anak pun akan dimaknai sebagai simbol semata, bukan penghayatan iman dalam kehidupan.
            Baptisan menurut Martin Luther merupakan hal yang penting, baik di dalam peribadahan mau pun pemahaman iman Kristen.  Orang tua yang membawa anak-anak mereka untuk melakukan baptisan sebagai sebuah permohonan kepada Tuhan agar anak yang dibawa diberikan iman dan pemahaman iman yang kuat kepada anak tersebut. Pendapat tersebut kembali didasari pada pemahaman bahwa Allah memerintahkan manusia untuk membawa anak-anak dan membaptis mereka. Baptisan yang diberikan kepada anak akan tetap kudus meski pada nantinya anak-anak yang dibaptis akan melakukan berbagai kesalahan (Luther 2015, 198-199).
            Baptisan anak yang dipahami oleh gereja HKBP sama seperti sunat yang dilakukan sejak usia dini. Akan tetapi sunat diganti dengan penggenapan Kristus sebagai keselamatan. Selain itu pandangan lain yang ditawarkan HKBP mengenai baptisan adalah sebagai hak prerogatif Allah. Pemahaman tersebut menunjukkan bahwa Allah berhak untuk memberikan anugerah-Nya kepada siapa pun termasuk kepada anak-anak (Lumbantobing 2013, 78).
            Masalah lain yang timbul di dalam gereja khususnya HKBP mengenai baptisan adalah status anak-anak keluarga Kristen yang telah meninggal sebelum dibaptis. Anak-anak Kristen yang telah meninggal namun belum dibaptis tidak dapat dilayani gereja secara penuh. Solusi yang coba ditawarkan adalah tardidi na hinipu atau baptisan darurat. Pemahaman teologis yang coba diterangkan HKBP mengenai permasalahan ini adalah bahwa anak-anak yang berasal dari keluarga yang mengakui iman kepada Kristus akan memperoleh keselamatan (Lumbantobing 2013, 80).  
3.      Kesimpulan dan Refleksi
Kesimpulan yang dapat diambil melalui tulisan ini adalah baptisan anak menjadi simbol penerimaan gereja kepada anak di dalam persekutuan gereja. Pelayanan baptisan dalam ibadah di rgereja menjadi penegas komitmen gereja untuk menerima kehadiran anak yang baru lahir menjadi anggota gereja. Baptisan anak juga menjadi penegas bahwa Allah telah memberikan karunia-Nya kepada semua orang termasuk kepada anak-anak (Lumbantobing 2013, 78).
Jika baptisan anak memiliki nilai sebagai karunia Allah  karunia Allah, maka gereja harus memelihara karunia tersebut. Baptisan yang diterapkan sudah seharusnya menunjukkan makna dari penyertaan Allah. Baptisan pada anak bukan hanya sekedar penerimaan anak ke dalam komunitas Kristen. Baptisan anak menjadi pengikat janji orang tua dan gereja untuk menjaga dan memelihara anak tersebut.
Anak yang dibaptis meski pun belum mampu menyatakan imannya secara verbal dan menghayati imannya, namun jika bertolak dari pemahaman baptisan sebagai karunia Allah maka anak berhak mendapatkan baptisan. Penulis tidak sependapat dengan pernyataan bahwa anak-anak yang dibaptis tidak akan memahami makna baptisan. Anak berhak merasakan penerimaan di dalam komunitas gereja (Luther 2015, 198-199).
Penulis kurang setuju dengan pandangan bahwa anak yang belum di baptis tidak diberikan pelayanan penuh ketika meninggal (Lumbantobing 2013, 80). Semua orang termasuk anak-anak akan memperoleh keselamatan. Kesan yang ditimbulkan dari keengganan gereja untuk melayani anak yang meninggal namun belum dibaptis sebagai penolakan secara halus. Solusi untuk baptisan darurat yang ditawarkan pun menurut penulis hanya upaya praktis untuk menenangkan hati orang tua yang kehilangan anaknya. Akan tetapi dari kasus tersebut terlihat bahwa makna baptisan dalam kekristenan baik secara teologis atau praktis memiliki makna yang berarti.
Baptisan anak tidak berakhir setelah anak selesai dibaptis di gereja. Baptisan menjadi pengingat bagi gereja dan orang tua untuk mendidik anak-anak yang telah dibaptis berdasarkan iman Kristen. Anak sebagai anugrah harus terus disemai agar tetap bertumbuh dan berkembang di dalam berbagai aspek termasuk dalam perkembangan iman mereka. Baptisan pada anak menjadi simbol komitmen untuk bertumbuh di dalam iman agar anugerah itu menjadi Kristen yang beriman.


Daftar Acuan
Bromiley, Geoffrey W. 1979. Children of promise: The case for baptizing infants. Edinburgh:
            T&T Clarck Ltd.
Crowe, Philip.1980. Christian Baptism. Oxford: A.R. Mowbray & Co Ltd.
Fischer, J. D. S. 1978. Dalam Lutheran, Anglican and Reformed Rites. Dalam The study of
            Litugi. Editor. Cheslyn Jones, Geoffrey Wainwright and Edward Yarnold, SJ,
            120-132. New York: Oxford University Press.
Kuyper, Abraham. 2009. Our worship. Editted by Harry Boonstra. Michigan: Wm. B.
Eerdsman Publishing Company.
Lumbantobing, Darwin. 2013. Burning and current  theologial Issues: Isu-isu teologi hangat
dan  terkini di Huria Kristen Batak Protestan (HKBP). Pematangsiantar; Lembaga
Studi Agama dan Pembangunan.
Luther, Martin. 2015. Katekismus besar Martin Luther. Terjemahan Anwar Tjen. Jakarta:
            BPK Gunung Mulia.
Stauffer, Anita S. 1998. Dalam Cultural setting of architecture for baptism in the early
church. Dalam Lutheran World Federation Studies: Worship and culture in dialogue.
Jenewa: Departement for Theology and studies The Lutheran World Federation.
Wainright, Geoffrey. 1978. Dalam The periods of liturgical history. Dalam The study of
            Litugi. Editor. Cheslyn Jones, Geoffrey Wainwright and Edward Yarnold, SJ,

            33-38. New York: Oxford University Press.