Jumat, 17 Februari 2017

Pendeta Juga Manusia: Analisis tentang Gejolak dalam Gambaran dan Kenyataan Kependetaan dari Fenomena Hawa Nafsu

Pendahuluan
            Pendeta adalah bagian penting yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan bergereja. Pendeta menjadi pilar penting dalam kehidupan bergereja dan pembangunan iman jemaat. Berdasarkan pemahaman tersebut dan berbagai pendapat yang muncul, pendeta diharapkan dapat menjadi role model kehidupan beriman dalam pemahaman kekristenan. Selain itu pendeta juga diharapkan memiliki berbagai sikap yang dapat menjadi pedoman bagi jemaat untuk mendekatkan diri dengan Tuhan. Bahkan pemahaman yang beberapa kali saya dengar tentang konsep seorang pendeta adalah sebagai “wakil Tuhan”. Pendeta dianggap sebagai orang yang hidupnya suci dan tidak bercela. Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana seorang pendeta harus memposisikan dirinya sebagai pemimpin dan seorang pelayan Tuhan di saat bersamaan?
            Pandangan lain yang muncul dalam sosok pendeta adalah sebagai Hamba Tuhan. Hal ini berujung pada tanggungjawab bahkan tuntutan bahwa pendeta harus melayani jemaatnya. Akan tetapi pemahaman ini bergeser pada pandangan lainnya bahwa pendeta adalah orang yang harus menuruti keinginan jemaat. Meski pun begitu pendeta haruslah tetap mendahulukan suara Tuhan (Bait Online website 2016). Memang sudah sewajarnya pendeta mendengarkan aspirasi jemaat untuk pembangunan dan penatalayanan yang lebih baik. Akan tetapi pertanyaannya adalah sampai di mana pendeta harus mendengar kata jemaat harus di dengar?  Hal tersebut dapat berpotensi menimbulkan ketidakjelasan bagi pendeta, mengingat topangan materi dari jemaat memiliki potensi untuk mempengaruhi kinerja seorang pendeta.
            Pendeta juga dianggap sebagai sebuah pelayanan yang berasal dari hati yang terpanggil. Hal tersebut juga menjadi berbagai pemahaman yang sering disampaikan dalam pelayanan gereja, baik dalam khotbah, katekisasi dan lain-lain. Pendeta juga dianggap adalah pekerjaan yang berhubungan dengan urusan surgawi. Akan tetapi pada satu sisi pendeta juga sering kali dipisahkan dengan profesi, karena anggapan bahwa profesi adalah pekerjaan duniawi (Sabda Space website 2016).
            Kesucian yang dianggap telah menjadi bagian dari diri pendeta bahkan memperlihatkan bahwa sisi kemanusiaan pendeta juga semakin terkikis. Pendeta bahkan dianggap sebagai manusia sempurna. Guncangan akan terjadi baik di dalam gereja atau pun di berbagai aspek lainnya jika pendeta kedapatan melakukan kesalahan. Seperti kasus pelecehan yang terjadi di Sekolah Bibelvrow HKBP, yang dilakukan oleh dosen di sekolah yang notabene seorang pendeta terhadap 19 mahasiswi di sekolah tersebut beberapa tahun lalu (Ekspos News website 2016). Fenomena tersebut menunjukkan bahwa hasrat ada di dalam setiap diri manusia, bahkan di dalam diri pendeta sekalipun terlepas hasrat tersebut dapat dikendalikan atau tidak.
            Tulisan ini akan mencoba membahas mengenai dinamika kependetaan. Tulisan ini akan mencoba menjabarkan mengenai pandangan tentang pendeta yang ideal. Akan tetapi di dalam tulisan ini juga saya mengupayakan penjabaran mengenai realita dalam kehidupan kependetaan. Hal penting dalam tulisan ini yang coba diangkat adalah bagaimana hubungan antara pemahaman tentang pendeta yang ideal dan kenyataan. Perspektif yang digunakan adalah penjabaran dari sisi hawa nafsu atau hasrat (desire). Bagaimana hasrat membawa pengaruh dalam kehidupan kependetaan. Tulisan ini juga mencoba menawarkan mengenai model bimbingan rohani untuk pendeta dengan tujuan agar pendeta dapat memahami tugas dan panggilannya sebagai pendeta dan menegaskan sisi kemanusiaannya agar dapat bersinergi dengan hasrat dan spiritualitasnya sebagai seorang pendeta berdasarkan nilai-nilai kekristenan.
Pendeta di antara Harapan dan Kenyataan
            Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menjabarkan pendeta sebagai orang yang pandai, pertapa, pemuka agama atau pemimpin jemaat, rohaniwan dan guru agama. KBBI juga menjabarkan kependetaan adalah berbagai hal yang berhubungan dengan pendeta (KBBI Online website 2016). Pendeta atau dalam bahasa Inggris disebut priest berasal dari kata Yunani ιερεύς yang juga dipengaruhi tradisi Perjanjian Lama. Pendeta yang dimaksud adalah orang yang telah merespon panggilan Tuhan di dalam dirinya (Torrance 1993, 1).
            Sosok pendeta diharapkan menjadi sosok yang mampu memimpin jemaatnya. Pendeta diharapkan menjadi teladan dalam kehidupan juga melalui kepemimpinan yang ditunjukkannya. Spiritualitas seperti apa yang diharapkan dalam diri seorang pendeta? Hal tersebut menjadi penting karena seorang pendeta yang menjadi pemimpin umat harus menunjukkan pemahaman dan praktik spiritualitasnya kepada jemaat agar firman yang disampaikan dan diajarkan pendeta menjadi hidup.
            Yesus dalam pelayanannya menjadi role model  dalam pelayanan dan pekerjaan sebagai pendeta. Yesus adalah seorang yang revolusioner dalam hidupnya. Akan tetapi revolusioner yang dimaksud bukan sebagai gerakan gerilya yang berasal dari hasrat untuk berperang. Sisi revolusioner dalam diri Yesus muncul dalam pengajaran-Nya. Hal tersebut sangat terlihat jelas ketika Yesus memposisikan diri-Nya sebagai pelayan. Pemahaman tersebut menggeser paradigma imam yang selalu ditinggikan dalam berbagai hal pada masa itu (Sanders 1994, 21).
            Yeremia 45: 5 bahkan menunjukkan bahwa sebagai pemimpin harus memiliki ambisi. Keberdosaan tidak dapat dilekatnya begitu saja terhadap ambisi. Kehadiran Ambisi membuat seseorang memiliki keinginan untuk mengupayakan berbagai hal yang baik. Ambisi juga yang menjadi pendorong untuk menerapkan pemikiran Yesus yang menunjukkan bahwa pemimpin harus menjadi figur yang melayani. Akan tetapi ambisi dapat menjadi faktor yang dapat menganggu berbagai hal dalam diri manusia, termasuk kepemimpinan yang ada dalam diri manusia. Ambisi akan menjadi tidak baik ketika dijadikan sebagai dasar kehidupan manusia yang dibungkus sikap egois (Sanders 1994, 14-5).
            Pemimpin yang melayani diharapkan memiliki berbagai sifat yang menggambarkan dan menunjukkan berbagai hal yang berhubungan dengan sikap melayani. Oswald Sanders memberi gambaran mengenai pemimpin yang melayani berdasarkan teladan yang diberikan oleh Kristus:
1.      Dependence
Dependence atau dapat diartikan sebagai ketergantungan bukan berarti bahwa pemimpin adalah orang yang senantiasa bergantung pada hal tertentu. Dependence yang dimaksud adalah penyerahan diri di dalam kehendak Allah. Keterbukaan yang dibungkus oleh hasrat untuk menghadirkan Allah dalam kemanusiaan seorang pendeta atau pemimpin gereja dalam penyerahan diri kepada Allah dan dalam penyerahan diri akan tuntunan Roh Kudus.
2.      Approval
Pemimpin gereja atau seorang pendeta harus menerima tanggungjawab dan melaksanakannya sebagai bagian dari kehidupan mereka yang meneladani Kristus.
3.      Modesty
Modesty atau kerendahan hati adalah aspek lain yang harus dimiliki pendeta. Kerendahan hati dalam pelayanan di dalam bingkai profesionalitas, yang dharapkan dapat mengarahkan pada pekerjaan yang merangkul jemaat dan berbagai aspek di dalam kehidupan bergereja yang dijalani, namun tidak didasari dengan hal-hal yang sifatnya egosentris.
4.      Emphaty
Empati dari pemimpin jemaat atau pendeta yang diharapkan hadir dalam kehidupan bergereja. Empati yang dapat dirasakan oleh jemaat diharapkan mampu membawa kebaikan dalam kehidupan. Hal tersebut berdasarkan apa yang dilakukan oleh Yesus kepada orang yang lemah, dipinggirkan dan tak dipandang pada masanya. Akan tetapi pendeta harus mampu melakukannya dengan ikhlas.
5.      Optimisme
Harapan dan optimisme dalam pelayanan sebagai pemimpin adalah esensi dari kualitas pelayan Tuhan. Hal tersebut menjad penting karena pelayan Tuhan harus masuk dalam ranah yang gelap dan penuh dengan pertempuran dalam berbagai aspek. Optimisme adalah sikap yang harus dipelihara untuk menunjukkan kehadiran Allah dalam dunia.
6.      Anointing
Anointing menjadi wadah bersatunya kelima hal sebelumnya. Sentuhan dan berkat yang diberikan oleh pendeta dengan berdasar pada kelima aspek ini akan membuat semua  yang telah diberikan dalam pelayanan akan menjadi lebih hidup dan tidak kering (Sanders 1994, 23-5).
            Penjabaran Sanders mengenai teladan dalam kepemimpinan Kristen dalam diri Yesus ini dapat menjadi dambaan bagi setiap jemaat. Akan tetapi seluruh hal yang telah dijabarkan tentang kepemimpinan di dalam kependetaan berdasarkan teladan Kristus itu akan terlaksana semua dengan baik? Harus disadari dan diakui bahwa pendeta juga adalah manusia. Pendeta juga memiliki keterbatasan, termasuk keterbatasan dalam memenuhi idealisme yang harus dijalankan sebagai seorang pendeta.
            Tuntutan juga menjadi faktor lain yang sangat mempengaruhi kependetaan seseorang. Tuntutan ini muncul dari berbagai sumber, termasuk dari jemaat. Akan tetapi tuntutan ini telah menjadi sebuah standar yang suka tidak suka harus dituruti oleh pendeta. Hal tersebut memang tidak dapat dihindari di dalam kependetaan, karena di dalam kependetaan tentu ada interaksi dengan jemaat. Kepemimpinan juga menjadi salah satu faktor yang menentukan bagaimana pendeta di mata jemaat.
Robby Chandra menjelaskan tentang bagaimana model kepemimpinan pendeta di dalam gereja:
1.      Pendeta dari kalangan karismatik yang mampu memobilisasi umat dengan komunikasi yang merakyat. Meski begitu mereka kurang memberi perhatian dalam menghasilkan sistem yang kuat, yang berujung pada seringnya terjadi perpecahan di dalam gereja.
2.      Kepemimpinan di dalam gereja arus utama atau mainstream yang menerapkan kepemimpinan kolektif yang diorganisir dengan prosedur yang telah ditata. Akan tetapi teologi yang dikembangkan dianggap rumit dan sulit diterima oleh jemaat.
3.      Pendeta dari kalangan injili dengan model kepemimpinan dalam pengelolaan yang baik. Semakin besar gerejanya maka semakin mapan juga pelayanan yang mereka lakukan. Akan tetapi di dalam kepemimpinan ini tidak terjadi sinergi dalam pelayanan akibatnya kaderisasi terhambat (Chandra 2004, 23-5).
Chandra telah menjabarkan mengenai model-model kepemimpinan di dalam gereja. Akan tetapi gambaran yang diberikan adalah berupa gambaran umum. Model-model kepemimpinan seorang pendeta juga sangat bergantung pada pribadi dan perkembangan imannya. Meski pun begitu, satu kesamaan dari model-model kepemimpinan yang diperlihatkan oleh Robby Chandra adalah egosentrisme pendeta sangat berpengaruh dalam kepemimpinannya dan kependetaannya. Keengganan untuk membawa sinergi dengan prinsip komunal akan menyulitkan pendeta dalam tugas pelayanannya. Selain itu jika hal seperti itu terjadi dapat dikatakan bahwa hasrat pribadi dalam diri seorang pendeta belum dapat dikendalikan dengan baik.
Hasrat adalah sesuatu yang ada di dalam diri manusia. Hasrat jugalah yang menjadi penggerak bagi manusia untuk melakukan berbagai hal di dalam kehidupan. Hasrat juga mampu menggerakkan pendeta dalam melakukan pelayanan dan melaksanakan kepemimpinan yang diemban. Akan tetapi realita hasrat dalam kehidupan, terlebih di dalam kehidupan kependetaan sangat kompleks. Pada bagian sebelumnya ada egoisme yang dapat mempengaruhi kepemimpinan dan jalannya hidup bergereja. Hal tersebut memperlihatkan bahwa pendeta juga adalah manusia, bukan mahluk sempurna yang dapat mengendalikan sepenuhnya hasrat dalam diri mereka.
Kasus yang terjadi di Sekolah Bibelvrouw HKBP beberapa tahun lalu menjadi bukti kompelsitas hasrat di dalam kependetaan. Hasrat seksual ternyata menjadi salah satu dinamika hasrat yang muncul dalam diri pendeta. Kejadian tersebut membuat HKBP secara sinodal menjadi gempar. Hal tersebut semakin menjadi buah bibir karena beberapa fenomena mengenai seks di luar pernikahan membuat para pelakunya menjauh dari gereja, bahkan jika sudah ketahuan akan diekskomunikasi oleh gereja. Terlebih lagi HKBP adalah gereja yang sangat concern dan menentang dengan keras hubungan seks di luar pernikahan (Rumametmet website 2016).
Kekuasaan dan hasrat seksual menjadi contoh yang saya angkat mengenai hasrat dalam kependetaan. Hal tersebut menunjukkan bahwa hasrat adalah hal yang kompleks, sulit untuk dipahami dan banyak aspek yang harus diperhatikan. Akan tetapi salah satu hal penting yang saya temukan adalah hasrat menjadi sangat berbahaya bila diletakkan sebagai dasar dalam pribadi atau pun spiritualitas kependetaan, bila diwarnai dengan egoisme dan keengganan untuk berserah pada Tuhan dan tanpa keinginan yang kuat untuk menjaga hasrat agar tidak terbawa ke dalam berbagai hal yang membuat gambaran kependetaan dalam diri seorang pendeta menjadi rusak.
Fenomena Hasrat di dalam Kependetaan
            Hasrat tidak dapat dilepaskan dalam kehidupan kependetaan. Hasrat yang menjadi pendorong bagi pendeta dalam pelayanannya, namun hasrat juga yang membuat pendeta mengalami penurunan kinerja dalam pelayanannya. Pernyataan tersebut dapat menjadi dasar timbulnya pertanyaan, bagaimanakah sebenarnya hasrat harus dipahami dalam diri seorang pendeta? Hal tersebut menjadi penting karena pendeta adalah pelayanan di gereja yang dipercaya oleh jemaat dalam membangun iman dalam realita bahwa pendeta adalah manusia, mahluk yang rapuh dan tidak sempurna dalam pengelolaan diri termasuk hasrat di dalam dirinya.
            Hasrat dapat dipahami sebagai sebuah dinamika bahwa di dalam diri manusia ada keinginan untuk mencapai yang lebih. Sesuatu yang lebih itu sangat luas maknanya, kita membutuhkannya dan kita juga berupaya mencarinya. Hasrat membuat kita tidak dapat terpuaskan. Hal tersebut terjadi karena di dalam pencarian tentang hasrat dan apa yang menjadi keinginan dalam hasrat itu sering kali ada kejatuhan yang dialami oleh manusia yang berpetualang dalam hasrat. Manusia akan terus berusaha dalam mewujudkan hasratnya meski pun itu sulit (Sasongko 2016, 31-2). Pendeta diharapkan memiliki hasrat untuk mencari dan melaksanakan model pelayanan dan kepemimpinan dengan baik, meski pun hasrat yang bertujuan untuk kemajuan gereja dan pelayanan sekali pun tidak akan berjalan mudah, karena pemahaman dan pelaksanaan berbagai hal yang didasari oleh hasrat tidak akan pernah terpuaskan. Rasa tidak puas di dalam memaknai hasrat diharapkan dapat mendorong pendeta untuk bekerja lebih baik lagi.
            Pendeta yang memiliki hasrat di dalam dirinya untuk melayani harus menyadari bahwa hasrat juga dapat menggiring mereka untuk melakukan pelayanan kepada orang-orang yang terpinggirkan. Hasrat diharapkan berujung pada pemahaman spiritualitas kristiani yang berujung pada semangat untuk meninggalkan kenyamanan, kemapanan dan kewibawaan dalam kepemimpinan pendeta untuk mendampingi orang-orang yang disingkirkan dalam kehidupan. Hasrat diharapkan mampu mendorong pendeta yang menjadi role model bagi jemaat untuk membangun kepekaan terhadap rintihan orang-orang yang tertindas (Sasongko 2016, 102).
            Sisi positif sangat terlihat dalam pemaknaan hasrat sebagai pemacu untuk pendeta agar bekerja lebih baik lagi. Akan tetapi hasrat ini seperti tertutupi oleh hasrat-hasrat lain yang sifatnya negatif. Saya sendiri pernah mendengar sebuah kalimat yang menyatakan bahwa seribu kebaikan manusia tidak dapat diingat, namun satu kesalahan manusia akan terus diingat-ingat sampai kapan pun. Nampaknya hal ini juga yang dialami oleh pendeta dengan cerita yang sedikit berbeda. Hasrat yang negatif dan destruktif juga ada dalam diri pendeta, dan akan mengganggu jika tidak dapat dikendalikan.
            Salah satu contoh hasrat negatif yang saya ketahui sering dibahas dalam diri pendeta adalah hasrat seksual. Kasus pemerkosaan 19 mahasiswi Sekolah Bibelvrouw oleh seorang pendeta menunjukkan bahwa pendeta juga manusia, yang hasratnya dapat menenggelamkan kepemimpinan kristiani yang coba dibangun dengan perbuatan tercela (Rumametmet website 2016). Hal ini menunjukkan bahwa seksualitas dan kekerasan seksual adalah forbidden zone atau bagian yang terlupakan atau bahkan ditabukan dalam kehidupan bergereja. Hal ini semakin sulit dicegah karena di fase awal kekerasan seksual, pendeta yang tidak dapat menggendalikan hasrat seksualnya memiliki keuntungan dengan kepercayaan yang telah terbangun dalam relasinya (Trull 2004, 163).
            Hasrat seksual di dalam diri seorang pendeta jika tidak dapat dikembalikan akan sangat mendistorsi makna dari kepemimpinan kristiani yang dipahami oleh jemaat. Role model jemaat telah menjadi teladan yang cemar dalam hasrat seksual yang tak terkendali dan berujung pada pelecehan seksual. Akan tetapi faktor dari luar diri pendeta disadari atau tidak turut membentuk pendeta seperti itu. Seksualitas yang dianggap tabu, sosial budaya yang menekan manusia khususnya perempuan dan berbagai faktor lainnya sangat berpengaruh dalam pemahaman seksual seorang pendeta (Rumametmet website 2016).
            Hasrat adalah hal yang sangat kompleks dalam kehidupan manusia. Berbagai elemen dalam hasrat yang sifatnya membangun atau destruktif sekali pun ada di dalam diri manusia. Hal tersebut membuat pendeta harus memahami dinamika hasrat yang ada dalam dirinya. Pendeta harus menyadari bahwa tubuh, kejiwaan dan spiritualitas adalah satu kesatuan. Hasrat menjadi hal yang tidak dapat dipisahkan dari diri pendeta dan hasrat juga harus dihidupi dan terus dijaga.
Bimbingan Rohani untuk Seorang Pendeta
            Bagaimana bimbingan rohani yang harus diberikan kepada pendeta untuk memahami dan menyatakan hasrat dalam dirinya? Hal tersebut mengingat bahwa pendeta adalah manusia yang berada dalam kerapuhan insan, namun pada saat bersamaan memiliki potensi untuk mengembangkan berbagai hal dalam dirinya. Inilah yang menjadi pergumulan bagaimana spiritualitas dan hasrat dalam diri pendeta bagaimana harus diletakkan.
            Model bimbingan rohani untuk pendeta yang saya tawarkan dalam tulisan ini adalah model yang berfokus pada pertanyaan reflektif. Pertanyaan-pertanyaan ini diberikan untuk untuk memahami atau merekonstruksi pemahaman potensi dalam diri pendeta di balik kerapuhannya. Meski pun tahbisan pendeta sudah diterima, namun seorang pendeta diharapkan terus berhasrat untuk terus bersedia memahami misteri kerapuhan dan potensi dalam dirinya. Oswald Sanders menawarkan contoh-contoh pertanyaan yang dapat dipakai dalam model bimbingan rohani seperti model yang saya tawarkan:
1.      Apakah kamu pernah merasa kecewa ketika melakukan hal buruk?
2.      Apakah kamu dapat mengontrol diri sendiri ketika melakukan kesalahan?
3.      Apakah kamu berpikir secara independen?
4.      Bagaimana kamu menghadapi kritik yang datang padamu? Apa kamu dapat melakukannya?
5.      Dapatkah kamu menunjukkan sikap dispilin tanpa menggunakan kekuasaanmu?
6.      Apakah orang-orang percaya padamu ketika berada dalam situasi sulit? (Sanders 1994, 36).
Pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat diajukan dalam bimbingan rohani kepada seorang pendeta. Pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat menjadi stimulus untuk mengingat kembali bagaimana kepemimpinan yang dijalankan berjalan. Kehadiran pertanyaan dan proses reflektif dalam pertanyaan-pertanyaan tersebut diharapkan dapat membangkitkan kembali hasrat kepemimpinan dan melayani dalam diri pendeta. Hal tersebut bertujuan untuk menggerakkan pendeta agar di dalam pelayanannya terus berusaha memenuhi hasrat dalam pelayanan yang tidak akan terpenuhi sepenuhnya.
Bimbingan rohani yang dihadirkan untuk pendeta diharapkan dapat memberi pemahaman bahwa di dalam kehidupan kependetaan banyak hal yang harus dipertimbangkan secara realistis. Tujuan yang perfeksionis sering kali membuat manusia jatuh dalam upayanya mencapai tujuan tersebut. Harus disadari dengan sungguh bahwa kehidupan di dalam dunia ini tidak berjalan dengan sempurna (Sanders 1994, 38). Hal tersebut menjadi dasar yang diharapkan menumbuhkan hasrat dalam diri pendeta untuk terus memperbaiki diri dalam pelayanan, kepemimpinan dan kehidupannya.
Kesimpulan
            Hasrat dalam diri pendeta adalah hal yang manusiawi. Pendeta juga manusia memiliki hasrat yang menjadi pendorong untuk menjalankan hal dalam kehidupannya. Setiap orang boleh memiliki standar tersendiri dalam kehidupannya, termasuk memberi standar kepada seorang pendeta. Akan tetapi harus dipahami bahwa pendeta juga adalah manusia yang rapuh dan bukan manusia yang sempurna. Untuk itu diperlukan sinergi yang baik antara jemaat dalam pendeta dalam kehidupan sehari-hari dan bergereja. Hal tersebut menjadi penting karena pendeta juga akan dipengaruhi oleh lingkungannya.
            Pendeta diharapkan terus memberi dirinya untuk dibimbing, agar hasrat yang membangun di dalam dirinya tetap terus dipelihara. Satu bimbingan rohani saja tidak akan mencakup dinamika hasrat dalam kehidupan kependetaan. Hal tersebut menunjukkan bahwa pendeta diharapkan bersedia untuk berpetualang dalam dinamika hasrat untuk menemukan Sang Misteri dalam kehidupannya. Pendeta juga manusia.
Daftar Acuan
Chandra, Robby. 2004. Landasan Pacu Kepemimpinan. Yogyakarta: Gloria Graffa.
Sanders, J. Oswald. 1994. Spirituality leadership. Chicago: Moody Press.
Sasongko, Nindyo. 2016. Embara api jiwa. Manuskrip.
Torrance. T.F. 1993. Royal Priesthood. A theology of ordained ministry. Edinburg: T&T
Clark.
Trull, Joe E. dan James E. Carter. 2004. Ministerial ethics: Moral formation for church leader.
            Michigan: Baker Academic.
Website
Bait Online. Pendeta: Hamba Tuhan atau Pelayan Manusia. http://www.baitonline.org/2016/02/27/pendeta-hamba-tuhan-ataukah-pelayan-manusia/ (diakses 6 Desember 2016).
Ekspos News. HKBP Didesak Selesaikan Kasus Pelecehan Seks di Sekolah Bibelvrouw. http://eksposnews.com/hukum-kriminal/HKBP-Didesak-Selesaikan-Kasus-Pelecehan-Seks-di-Sekolah-Bibelvrouw (Diakses 6 Desember 2016).
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI Online). Pendeta. http://kbbi.web.id/pendeta
Ruma metmet. Pelecehan di Rumah Tuhan http://rumametmet.com/2010/02/18/pelecehan-di-rumah-tuhan/ (diakses 6 Desember 2016).

Sabda Space. Pendeta: Profesi atau Panggilan http://www.sabdaspace.org/pendeta_profesi_atau_panggilan (diakses 6 Desember 2016).

Ketetapan Allah dan Pemerintah Analisis Nilai Etika Kristen dalam Kepatuhan terhadap Pemerintah berdasarkan Roma 13:2

Pendahuluan
            Pemerintah adalah bagian penting yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia, termasuk umat manusia di dalamnya. Kehadiran pemerintah di tengah kehidupan sebagai institusi yang memiliki wewenang untuk mengatur kehidupan di suatu wilayah. Pemerintah mengatur, menjalankan dan mengawasi berbagai hal yang terjadi di wilayah yang menjadi daerah yang dipimpinnya. Akan tetapi pemerintahan yang dibahas dalam tulisan ini adalah pemerintahan sipil.
            Roma 13:2 menyatakan bahwa perbuatan melawan pemerintah sebagai tindakan yang melawan ketetapan Allah. Selain itu di dalam Roma 13:2 juga dijelaskan bahwa bagi siapa yang melawan ketetapan Allah yang hadir di dalam pemerintah akan berujung pada hukuman bagi yang melawan pemerintah. Roma 13:2 yang saya angkat dalam tulisan ini jika dibaca sekilas menunjukkan bahwa pemerintah adalah institusi yang berupaya untuk menghadirkan kasih Allah melalui jalannya pemerintahan.
            Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana menerapkan dasar pemikiran dan pengambilan sikap etis kristiani berdasarkan Roma 13:2? Pertanyaan tersebut menjadi penting mengingat bahwa pemerintah adalah institusi yang menjadi pengatur jalannya kehidupan bagi masyarakat, termasuk umat Kristen di dalamnya. Pertanyaan tersebut juga harus diperhatikan mengingat realita kompleksitas dalam jalannya pemerintahan, yang di dalamnya terjadi berbagai hal dan fenomena yang membawa pengaruh bagi masyarakat yang dinaunginya.
Pembahasan
            Surat Paulus kepada jemaat di Roma adalah salah satu surat yang ditulis oleh Paulus dalam perjalanan pemberitaan Injil yang dilakukannya. Roma adalah sebuah kota yang menjadi pusat dar pemerintahan kekaisaran Romawi. Penduduk Roma terdiri dari orang-orang dari berbagai suku, termasuk di dalamnya orang-orang Yahudi dari Palestina. Berbagai kelompok penduduk termasuk di dalamnya masyarakat Yahudi berkumpul dengan kelompok mereka dan menjalankan ajaran agama mereka masing-masing (Hakh 2010, 198).
            Roma yang menjadi pusat kekaisaran Romawi menjadi pusat dari keagamaan pada saat itu, selain sebagai pusat pemerintahan. Kaisar Agustus yang memiliki gelar Pontifex Maximus atau imam besar mebangun kembali kuil-kuil di Roma. Kaisar Agustus yang menjadi imam agung membuat dia disembah di dalam kultus-kultus penyembahan yang dilakukan di berbagai provinsi dalam kekaisaran Romawi, termasuk di sekitar tempat masyarakat Yahudi bermukim (Hakh 2010, 199).
            Jemaat di Roma pada saat itu memiliki beberapa masalah. Paulus melalui suratnya mencoba memberi penguatan kepada jemaat di Roma. Salah satu pergumulan yang dihadapi jemaat di Roma pada saat itu adalah hubungan antara pemerintah dan gereja. Situasi yang terjadi pada saat itu adalah orang Kristen mengalami penganiayaan di Roma. Di tengah penganiayaan yang terjadi terhadap jemaat Roma, Paulus mengangkat pokok permasalahan mengenai hubungan antara pemerintah dan gereja. Paulus dalam Roma 13:1-7 menasihati jemaat bagaimana harus bersikap terhadap pemerintah (Hakh 2010, 202).
            Jika melihat teks Roma 13: 2 dan teks Roma 13:1-7 secara keseluruhan, teks ini memberi kesan bahwa di dalam nas ini tidak terdapat pembahasan mengenai kristologi dan eskatologi di dalamnya. Pemahaman yang diangkat Paulus dalam teks ini lebih kepada interaksi antara jemaat pada saat itu dengan pemerintah. Pemahaman dalam teks ini menekankan bahwa kehadiran pemerintah dipahami sebagai pelayanan untuk Tuhan dalam bingkai pekerjaan, otoritas dan kepercayaan yang diterima dari publik (Ksemann 1980, 351).
            Roma 13:2 menunjukkan bahwa perlawanan terhadap pemerintah adalah perlawanan terhadap perwujudan Allah. Penghakiman yang dimaksud di dalam teks ini adalah penghakiman yang berasal dari Allah, bukanlah penghakiman yang berasal dari sikap terbeban pemerintah (Rhys 1961, 165). Ayat 2 dalam Roma 13:1-7 ini berasal dari pernyataan Paulus yang memperkuat bahwa penghukuman yang datang berasal dari Allah (Bible.org website 2016).
             Fakta yang harus diperhatikan adalah surat ini ditulis dalam konteks pemerintahan diktator dan korupsi di dalamnya. Paulus mengangkat aspek keadilan dan upaya untuk memperlihatkan bagaimana ukuran dalam memandang kepercayaan terhadap pemerintah dengan keadaan tersebut. Secara tersirat Paulus juga menekankan bahwa ada rancangan yang berasal dari Allah di dalam pemerintahan. Akan tetapi di dalam pemaknaan tersebut ada keterbatasan dalam pemahaman terhadap pemerintah. Artinya pemerintah tidak dapat menggambarkan dengan sempurna kasih yang harus diwujudnyatakan di dalam jalannya pemerintahan. Paulus juga menyadari bahwa dunia adalah ciptaan yang rapuh dan Paulus juga menekankan kuasa Allah yang hadir di dalam proses yang terjadi di dunia (Ksemann 1980, 356).
            Paulus dalam Roma 13:2 dan juga dalam kaitannya dengan keseluruhan teks menunjukkan adanya kritik terhadap pemerintahan pada saat itu. Bahasa kritik Paulus di dalam teks ini ditunjukkan dengan cara yang halus. Akan tetapi kritik yang halus itu bukan berarti tidak dapat disadari. Kritik tersebut sangat terasa ditujukan kepada pemerintah kekaisaran Romawi yang berpusat di Roma (Elliot 2008, 154). Teks Roma 13:2 berdasarkan penjabaran ini dapat dibaca sebagai kritik tersirat terhadap pemerintahan yang tidak dapat menunjukkan diri sebagai perwujudan ketetapan Allah, berdasarkan konteks Roma pada masa Paulus.
            Roma 13:2 menjabarkan apa yang terjadi jika masyarakat termasuk umat Kristen tidak patuh pada pemerintahan. Akan tetapi pada kontesk surat Roma pemerintahan yang memimpin pada saat itu tidak dapat mengayomi masyarakatnya dengan baik. Paulus menekankan di dalam surat Roma kritik terhadap pemerintah. Paulus menekankan bahwa pemerintahan adalah pengaturan dalam tatanan kehidupan yang diharapkan dapat menggambarkan kasih Allah dan menyatakan keadilan di tengah wewenangnya untuk pemerintah.
            Yoder mengatakan bahwa di dalam pemerintahan atau negara adalah salah satu bagian dari politik yang menjadi fenomena yang sifatnya fundamental dalam interaksi sosial dengan otoritas yang tinggi. Hal tersebut menjadi representasi di tengah masyarakat terhadap pemerintah dan politik di dalamnya. Roma 13 secara keseluruhan menjadi landasan untuk menjalankan otoritas dan kehidupan oemerintahan di tengah interaksi sosial (Yoder 1946, 12).
            Yoder juga menjabarkan bahwa gereja dan kekristenan harus berperan di dalam kehidupan yang dipenuhi dengan dominasi berbagai kekuatan yang menekan di zaman yang diwarnai berbagai dinamika, termasuk dinamika yang destruktif. Gereja diharapkan tidak hanya memberi stimulus berupa nilai moral terhadap masyarakat dan pemerintah. Akan tetapi diharapkan gereja dapat memberikan kerja nyata di tengah masyarakat untuk menunjukkan kehadiran gereja di dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu gereja juga diharapkan mendukung pemerintah yang menunjukkan nilai-nilai kekristenan yang dapat menunjukkan kasih Allah di tengah dunia (Yoder 1946, 13). Hal tersebut diharapkan mampu mewujudkan visi Paulus terhadap pemerintahan berdasarkan surat Roma.
            Gereja diharapkan menyadari posisinya dalam politik. Gereja diharapkan menyadari bahwa politik adalah sebuah jalan kesucian yang didasari oleh keyakinan iman bahwa setiap jemaat dipanggil untuk mewujudkan keselamatan. Akan tetapi keselamatan yang dimaksud adalah keterlibatan mewujudkan keselamatan dan kasih Allah dalam dunia. Keselamtan yang coba dinyatakan adalah keselamatan yang merangkul seluruh dimensi kehidupan manusia dan menjangkau semua orang (Olla 2014, 69).
            Pemerintahan adalah sebuah pola pengaturan sosial yang di dalamnya terdapat aspek politik. Jika berdasarkan pada pernyataan tersebut, maka dapat ditarik pemahaman bahwa politik adalah jalan untuk mewujudkan keadalin. Pemahaman tersebut memiliki kesamaan dengan nilai-nilai Kristen yang dibawa oleh Paulus secara tersirat di dalam Roma 13:2. Paulus Yan Olla menjabarkan betapa pentingnya peran politik yang diterapkan dalam pemerintahan:

Keterlibatan dalam politik merupakan perwujudan kasih. Dengan demikian, orang Kristiani melihat medan politik yang otonomitu sebagai lahan untuk melayani manusia dan mencari bersama masyarakatnya kesejahteraan umum. Dengan tetap menghargai otonomi dunia, orang Kristiani yang terlibat politik berusaha mengarahkan dunia pada pembangunan “budaya kasih” (Olla 2014, 71).

            Politik yang menjadi bagian dalam pemerintahan adalah jalan kesucian. Di dalam pemerintahan diharapkan dalam menjalankan roda pemerintahan dapat menunjukkan kasih. Pemerintahan yang hadir di tengah masyarakat menjadi representasi kebaikan Allah. Meski pun otoritas yang dimiliki pemerintahan sering kali menjadi penghambat terwujudnya kasih Allah dalam pelaksanaan pemerintahan.
Penutup
            Roma 13:2 dapat dijadikan sebagai dasar etik Kristen dalam memahami kehadiran pemerintah. Keadilan sebagai perwujudan kasih Allah adalah gambaran pemerintahan yang berasal dari ketetapan Allah. Akan tetapi untuk menjadikan Roma 13:2 sebagai landasan etik Kristen terhadap pemerintahan, makan harus dilakukan interpretasi yang sangat memperhatikan konteks surat Roma. Pasalnya Roma 13:2 menjadi sindiran atau kritik yang disampaikan secara halus terhadap pemerintah yang berjalan kurang baik pada saat itu. Hal itu bertujuan agar nilai keadilan dan pelaksanaan tanggungjawab menjadi yang utama dalam nilai etis dari Roma 13:2.
Daftar Acuan
Elliott, Neil. 2008. The Arrogance of Nations: Reading Romans in the shadow of empire.
            Minneapollis: Fortress Press.
Hakh, Samuel Benyamin. 2010. Perjanjian Baru: Sejarah, pengantar dan pokok-pokok
teologisnya. Bandung: Bina Media Informasi.
Ksemann, Ernst. 1980. Commentary on Romans. London: SCM Press Ltd.
Olla, Paulinus Yan. 2014. Spiritualitas politik: Kesucian politik dalam perspektif kristiani.
            Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Rhys, Howard. 1961. The epistle to the Romans. New York: The Macmillan Company.
Yoder, John Howard. 1946. The Christian witness to the state. Kansas: Faith and Life Press.
Website

Bible.Org. The Christian and Civil Government. https://bible.org/seriespage/33-christian-and-civil-government-romans-131-7 (Diakses 8 Desember 2016).