Nama
saya Samuel Gunawan Siallagan. Saat ini saya adalah mahasiswa di Sekolah Tinggi
Teologi Jakarta (Sekolah Tinggi Filsafat Theologi Jakarta). Saya adalah
mahasiswa tingkat 5 di perguruan tinggi itu. Kehidupan saya memiliki rangkaian
yang saya sadari atau tidak telah membentuk cara saya berpikir, memaknai dan
menjalani kehidupan saya hingga saat ini. Mungkin melalui rentetan peristiwa
ini apa yang saya tuju dan capai terbentuk berdasarkan rentetan peristiwa di
dalam kehidupan saya. Di dalam tulisan ini saya hendak menceritakan secara
singkat mengenai kehidupan saya dan berbagai faktor berpengaruh di dalamnya.
Saya adalah seorang anak laki-laki
yang berasal dari keluarga Batak tulen.
Bapak dan mama (Panggilan akrab saya untuk ayah dan ibu saya) orang Batak tulen dan besar di Kabupaten Simalungun,
Provinsi Sumatera Utara. Akan tetapi perjumpaan mereka terjadi di kota Kendari,
Provinsi Sulawesi Tenggara. Pada masa perjumpaan itu mereka berada dalam proses
saling mengenal hingga akhirnya mereka membentuk rumah tangga pada bulan Juli
1989 di Kendari.
Ayah saya bernama Tumpak Siallagan.
Profesinya saat ini adalah seorang guru di salah satu Sekolah Menegah Pertama
Negeri (SMPN) 8 Pematangsiantar. Sedangkan ibu saya bernama Delvia Hutahaean
yang saat ini berprofesi sebagai ibu rumah tangga, yang dulunya sempat
berwiraswasta sebagai pengusaha salon di Kota Kendari. Melalui usaha
tersebutlah mama saya membantuk bapak saya untuk kuliah sampai lulus hingga
pada masa-masa awal bapak saya menjalani pekerjaan sebagai seorang guru.
Padahal masa itu mama saya juga baru merintis usahanya. Pengalaman hidup mereka
membuat saya kadang iri dan berkata dalam hati, “Masih ada nggak ya cerita begitu zaman sekarang? Apa entar gue bisa ketemu pacar yang nanti jadi
istri kaya mama sifatnya ya?” Saya sering tertawa sendiri ketika mengingat hal
tersebut.
Mungkin yang membaca tulisan ini
bertanya, kenapa saya harus menceritkan tentang masa lalu hubungan orang tua
saya? Hal itu menjadi penting karena saya lahir di tengah keadaan orang tua
saya yang saat itu sedang mengalami kesulitan di beberapa segi kehidupan,
seperti soal pekerjaan, materi dan beberapa masalah lainnya. Selain itu saya
juga lahir ke dunia setelah usia pernikahan orang tua saya berjalan kurang
lebih enam tahun. Kelahiran saya yang cukup lama dinanti ternyata menimbulkan
prasangka buruk dan membuat orang tua saya, khususnya mama saya merasa sedih
dengan keadaan tersebut. Mama saya sempat meminta kepada bapak saya untuk
menceraikan dia atau mengadopsi anak, tapi bapak saya berkata kepada mama,
“Anak itu pemberian Tuhan, nanti pasti Tuhan kasih ke kita kalau sudah
berkehendak.” Mereka tetap berdoa sambil menantikan kehadiran saya. Cerita
tersebut saya ketahui karena mama saya menceritakannya kepada saya sejak saya
masih kecil.
Berbagai upaya dilakukan oleh kedua
orang tua saya untuk memiliki seorang buah hati dalam kehidupan rumah tangga
mereka. Dua tahun sebelum saya lahir, kedua orang tua saya sempat pergi ke
Makassar untuk berobat kepada seorang dokter ahli kandungan di sana, yang
diperkenalan oleh teman kedua orang tua saya. Dokter tersebut bernama dr.
Gunawan. Kedua orang tua saya pun menjalani berbagai pemeriksaan medis dan
setelah pulang dari Makassar beberapa waktu kemudian akhirnya ibu saya
mengandung dan melahirkan saya.
Saya lahir di Kendari, 20 April
1996. Pada awalnya saya di bawa ke salah seorang bidan di Kendari pada tanggal
19 April 1996 pada sekitar pukul 23.00 WITA. Akan tetapi karena bidan yang
menangami persalinan mama saya mengalami kesulitan, saya pun dirujuk ke Rumah
Sakit Santa Maria, Kendari. Hal yang membuat persalinan mama saya berjalan
sulit karena berat saya di dalam kandungan lebih besar dari kandungan pada
umumnya dan yang semakin mempersulit ternyata kista yang ada di dalam rahim ibu
saya semakin membengkang dan harus diangkat pada saat itu juga agar saya bisa
dilahirkan. Saya pun terlahir ke dunia dan diberi nama Samuel Gunawan
Siallagan. Samuel berarti anak yang diminta dari Tuhan, sementara nama Gunawan
adalah untuk mengabadikan nama dokter yang membantu kehadiran saya di dunia.
Itulah sekelumit kehidupan saya pada
masa permulaan saya lahir di dunia. Saya menjalani masa kecil saya di Kendari.
Saya menjalani masa kecil saya dengan orang-orang dari beragam latar belakang,
mulai dari latar belakang suku, agama, dan lain-lain. Saya menjalani masa kecil
saya di tengah keberagaman. Terkadang saya merasa perbedaan bisa menjadi sumber
konflik dan sumber perkelahian di antara teman-teman saya yang memiliki
perbedaan dengan saya. Akan tetapi saya merasa bahwa keberagaman lebih besar
dari permasalahan yang hadir karena perbedaan. Pada masa kecil saya, yaitu pada
masa saya menjalani sebagian besar pendidikan dasar saya di Kendari saya merasa
bahwa perbedaan yang hadir membuat saya dapat mengerti indahnya perbedaan dan
saling menghargai perbedaan orang satu sama lain.
Perjalanan pergaulan saya selama
masa kecil dan pendidikan dasar saya berjalan dengan cukup baik. Saya merasa
pergaulan saya berjalan dengan penuh tenggang rasa dan saling menghargai. Meski
pun begitu beberapa konflik tidak dapat dihindari, namun hal tersebut membuat
saya semakin mampu untuk menyikapi pergaulan saya. Saya merasakan pergaulan
yang baik dengan orang-orang di sekitar saya pada saat itu. Akan tetapi setelah
saya pindah ke Pematangsiantar saya mulai jarang berkomunikasi dengan mereka
karena berbagai hal.
Saya pun pindah ke Pematangsiantar
karena ayah saya yang pindah tugas. Pada awal saya mencoba membangun relasi
dengan orang-orang di sekitar saya merasa kaget. Pasalnya orang-orang di
sekitar saya membangun pola relasi yang berbeda dengan orang-orang yang saya
temui sebelumnya. Meski pun saya sudah diperingatkan oleh orang tua saya
tentang perbedaan yang ada, namun saya masih tetap kaget menghadapi cara
bergaul yang cukup keras dan blak-blakan yang
terbangun di Pematangsiantar dengan cara bergaul yang penuh kehangatan di
Kendari. Saya sempat tidak mampu untuk beradaptasi meski akhirnya saya perlahan
dapat beradaptasi dengan lingkungan baru saya. Seperti itulah masa kecil saya
hingga masa saya melaksanakan pendidikan dasar saya.
Masa saya menjalani pendidikan di Sekolah
Menengah Pertama (SMP) penuh dengan tekanan. Saya masuk di salah satu sekolah
katolik favorit di Pematangsiantar. Pada awalnya saya berekspektasi dapat
mengembangkan diri saya dengan baik. Saya dapat menyelesaikan pendidikan saya
di tempat tersebut dengan cukup baik. Akan tetapi saya merasa bahwa pada masa
saya menjalani pendidikan menegah pertama ini ada hal yang membekas di dalam
diri saya yang membawa pengaruh besar dalam kehidupan saya.
Pada masa saya menjalani masa
pendidikan di SMP diwarnai dengan berbagai candaan. Akan tetapi saya sering
kali menjadi “korban” candaan tersebut. Bahkan saya merasa bahwa candaan
tersebut terasa seperti bullying,
meski saya tahu bahwa teman-teman saya menganggap semua itu sebagai candaan.
Saya diberi nama panggilan Mutem (Muka Tembok) buat saya. Padahal arti dari
kiasan tersebut adalah tidak tahu malu. Sampai saat ini saya tidak tahu apa
alasan mereka memanggil saya seperti itu, namun saya merasa bahwa hal tersebut
mengganggu saya. Meski pun saya sudah mengatakan kepada teman-teman saya bahwa
saya tidak suka dipanggil seperti itu, tapi mereka tetap ngotot dan masih memanggil saya dengan panggilan seperti itu.
Semakin hari semakin sering saya dipanggil dengan sebutan itu, bahkan saya
merasa panggilan itu telah melekat di dalam diri saya pada saat itu.
Pada masa SMA saya merasakan
berbagai hal yang membentuk saya menjadi pribadi seperti yang sekarang. Pada
masa SMA saya merasakan pembentukan diri melalui berbagai pengalaman
ekstrakulikuler, khususnya di berbagai bidang organisasi di sekolah. Kesempatan
yang saya peroleh di dalam organisasi yang saya ikuti membuat saya belajar
untuk mengambil berbagai nilai kehidupan dari berbagai fenomena yang terjadi di
sekitar kehidupan saya. Selain itu di satu sisi saya juga belajar untuk
membangun kehidupan saya dan mengambil pelajaran berharga dari kehidupan dan
pemikiran orang lain.
Pada masa SMA ini juga saya mulai
mencari tempat untuk menemukan sebuah wadah yang dapat menjadi tempat saya
untuk menjalani perjalanan kehidupan saya, terlebih lagi di dalam perjalanan
spiritual. Pada masa awal SMA saya cukup tertarik untuk mengikuti kegiatan
kerohanian Kristen yang ada di dalam sekolah. Akan tetapi saya merasa pada saat
itu bahwa saya merasa dipaksa untuk mengikuti berbagai program untuk bisa
dikatakan sebagai “Anak Tuhan”. Saya merasa tidak nyaman dengan relasi dan cara
berpikir yang coba dibangun pada saat itu, sehingga saya memutuskan untuk
meninggalkan persekutuan tersebut dan hanya menjadi pendengar di tengah
komunitas Kristen tersebut. Rasa kesal saya semakin bertambah ketika Ujian
Nasional. Banyak siswa-siswi yang aktif dalam persekutuan siswa Kristen
mengatakan untuk tidak menggunakan kunci jawaban sewaktu UN dengan cara yang lebay. Ternyata sebagian besar dari
mereka yang saya tahu tidak dapat melaksanakan apa yang mereka katakan. Pada
saat itu saya merasa bahwa iman harus ditunjukkan, tidak hanya dikatakan.
Petualangan saya dalam upaya
menjajaki perjalanan spiritual saya perlahan terbentuk di gereja. Saya mulai
aktif di remaja gereja yang sebenarnya saya bentuk bersama dengan beberapa
teman-teman saya di bawah bimbingan seorang vikaris alumnae Sekolah Tinggi
Teologi (STT) Jakarta. Pada saat itu kami berusaha membangun organisasi
tersebut mulai dari nol, tanpa ada bantuan apa pun dari gereja. Kesulitan dan
kebahagiaan yang datang di saat bersamaan dalam membangun dan menjalankan
organisasi remaja di dalam gereja membuat saya meraskan bahwa inilah sebenarnya
perjuangan. Sebuah bentuk perjalanan yang mengingatkan saya keyakinan di dalam
iman terhadap berbagai hal yang dikerjakan di dalam kehidupan. Saya tertampar
melalui perjalanan saya di dalam persekutuan remaja di gereja saya bahwa hidup
dan berbagai seluk-beluknya adalah perjuangan.
Pada masa SMA ini juga saya merasa
bahwa cita-cita saya kalah pamor dengan cita-cita teman-teman saya lainnya.
Pada saat itu saya memilih untuk tidak mengikuti semua jalur penerimaan
mahasiswa baru di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan Perguruan Tinggi Kedinasan
(PTK). Saya memutuskan hal tersebut karena saya sudah bertekad untuk mengikuti
seleksi penerimaan mahasiswa baru di STT Jakarta. Akan tetapi banyak orang yang
mempertanyakan keputusan saya dan bahkan sebagian orang, termasuk beberapa guru
saya yang beragama Kristen mentertawakan cita-cita saya. Salah satu perkataan
yang saya ingat adalah bahwa saya tidak memiliki bakat sebagai pendeta (salah
satu anggapan tentang mahasiswa teologi yang harus jadi pendeta). Hal tersebut
membuat saya sempat kurang percaya diri untuk mencoba masuk ke dalam dunia
teologi sebagai pilihan saya.
Pengalaman saya di dalam pelayanan
remaja dan pemuda di gereja serta berbagai pandangan yang “memandang sebelah
mata” terhadap keinginan saya membuat tekad untuk mencoba peruntungan untuk
mengikuti tes di STT Jakarta semakin bulat. Saya merasa bahwa keyakinan saya
pada saat itu adalah jawaban dari doa saya terhadap pergumulan yang sedang saya
hadapi. Akan tetapi di saat rasa percaya diri itu mulai bertumbuh, rasa percaya
diri yang saya butuhkan untuk memantapkan pilihan saya itu pun kembali runtuh.
Pasalnya keraguan kembali muncul dari dalam diri saya karena orang-orang
terdekat saya. Bahkan keraguan kali ini membuat saya benar-benar pesimis,
karena keraguan tersebut muncul dari kedua orang tua saya, terutama ayah saya.
Motivasi saya perlahan terbangun
dengan cara yang tidak terduga. Hal pertama dimulai dari sharing saya dengan dua orang vikaris HKBP yang merupakan alumni
STT Jakarta. Teladan yang mereka tunjukkan melalui pelayanan dan kerja sama
saya dengan mereka di persekutuan remaja dan pemuda tempat saya berjemaat
membuat saya sangat ingin mampu menjadi pendeta yang baik. Terlebih lagi kedua
orang tersebut memberikan saya berbagai motivasi untuk dapat mencapai cita-cita
saya. Bahkan sampai pada masa saya menjalani kuliah di STT Jakarta, saya selalu
mendapat motivasi sampai saat ini agar belajar dengan baik dan membangun
pemikiran untuk mempergunakan ilmu yang didapatkan di STT Jakarta dengan baik.
Salah satu motivasi terbesar yang
sangat berbekas bagi saya adalah motivasi dari saudara-saudara yang bukan
berasal dari kalangan Kristen Protestan. Saya mendapat motivasi lebih dari
teman-teman saya yang beragama Islam dan Katolik. Di saat rekan-rekan saya yang
sesama Protestan ragu bahkan sampai ada yang menertawakan cita-cita saya,
mereka hadir memberi motivasi dan semangat yang membuat saya sempat heran
dengan apa yang mereka berikan. Bahkan seorang guru agama Islam di sekolah saya
sangat mendukung saya dan terus memotivasi saya untuk mengejar cita-cita saya
untuk belajar teologi dan menjadi pendeta. Bahkan ketika saya pulang ke
Pematangsiantar pada tahun 2014 dan 2015, saya disambut oleh beliau dan pada
saat yang bersamaan beliau menunjukkan rasa bangganya dengan pencapaian saya.
Hal tersebut membuat saya terharu dan berpikir bahwa cara Sang Misteri
mengangkat motivasi umat-Nya sungguh penuh dengan misteri.
Ayah saya benar-benar meragukan saya pada saat itu.
Dia mengatakan kalau saya tidak akan mampu mengikuti pembelajaran di teologi
kalau saya masih mempertahankan cara belajar saya yang super malas di SMA. Selain itu ayah saya menekankan bahwa saya
masih kurang berusaha untuk memperbaiki diri. Akan tetapi di satu sisi ayah
saya hanya mengizinkan saya untuk menekuni bidang teologi di STT Jakarta, yang
menurutnya sebagai tempat belajar teologi terbaik saat ini. Di satu sisi saya
melihat keraguan yang besar di dalam diri saya karena kondisi tersebut. Akan
tetapi di balik itu saya melihat adanya harapan besar dari orang yang saya
kasihi, yaitu ayah saya untuk memacu saya agar dapat belajar teologi di tempat
yang terbaik.
Keraguan lain yang muncul ketika
saya mencoba untuk membangun masa depan saya melalui pendidikan teologi muncul
dari ibu saya. Kekhawatiran terbesar ibu saya adalah bahwa saya akan kesulitan
ketika saya berada di perantauan ketika saya berada di Jakarta. Akan tetapi
saya melihat bahwa kekhawatiran ibu saya muncul dari berbagai pandangan di
lingkungan sekitarnya. Ibu saya tidak begitu memahami mengenai dunia akademis,
hal tersebut membuat ibu saya cenderung mendengarkan pendapat lain di luar
dirinya soal akademis atau dunia pendidikan. Hal tersebut sempat membuat ibu
saya mendorong saya untuk kuliah di STT HKBP. Akan tetapi ayah saya tidak
setuju dengan ibu saya, bahkan mereka sempat bertengkar karena menurut ayah
saya STT HKBP tidak akan menghasilkan teolog yang berbudi pekerti dengan
keadaan STT HKBP yang menurut ayah saya sedang dalam keadaan kurang baik.
Sementara ibu saya pada saat itu belum siap untuk terpisah jarak dan waktu
dengan saya, anak satu-satunya di dalam keluarga. Keraguan terhadap diri saya dan
impian saya terus bermunculan dalam upaya saya membangun mimpi saya untuk
menjadi seorang pendeta dan teolog.
Saya pun tetap memberanikan diri
saya untuk mengikuti tes di STT Jakarta, dengan keraguan dari berbagai pihak
dan rasa percaya diri yang minim di dalam diri saya. Akan tetapi ayah dan ibu
saya tetap memberikan dukungan mereka kepada saya, meski ayah saya hingga pada
hari terakhir saya mengikuti tes terlihat sekali keraguannya terhadap kemampuan
saya. Meski pun begitu ayah saya tetap mengantar dan mendampingi saya untuk
mengikuti tes masuk STT Jakarta. Sementara ibu saya tetap mendukung saya meski
sebenarnya hatinya berat untuk jarang bertemu dengan saya dan pada akhirnya
ketika saya telah diterima menjadi mahasiswa STT Jakarta dan melengkapi administrasi
saya, ibu saya mengantar dan menemani saya di masa awal sebagai seorang
mahasiswa.
Mungkin bagi sebagian orang
pencapaian atau kelulusan tes masuk sekolah teologi adalah hal biasa. Akan
tetapi bagi saya hal tersebut termasuk hal yang sangat membahagiakan dalam
hidup saya. Salah satu hal yang membuat saya bahagia adalah belajar teologi
merupakan langkah awal untuk menggapai cita-cita saya untuk menjadi seorang
pendeta. Saya juga melihat bahwa di balik pencapaian saya sebenarnya saya telah
membalikkan anggapan-anggapan yang menyudutkan dan meremehkan kemampuan saya.
Bahkan ayah saya sendiri terheran ketika tahu bahwa anaknya sekarang diterima
sebagai mahasiswa STT Jakarta. Meski pun begitu nilai motivasi sangat terasa di
dalam keraguan dari berbagai pihak jika diambil sisi positifnya. Saya merasa
bahwa keraguan membuat kita akan berusaha dengan sekuat dan secerdas mungkin
untuk menggapai cita-cita atau keinginan, dan mempersiapkan diri dengan segala
kemungkinan yang dapat terjadi.
Pada
saat ini saya menjalani proses belajar di STT Jakarta. Akan tetapi saya kembali
tenggelam dalam keraguan dan kepercayaan diri yang rendah. Meski pun begitu
saya mencoba untuk memberikan yang terbaik selama saya menjalani proses studi
ini. Saya selalu berharap, berusaha dan berdoa agar dimampukan melewati dan
memaknai setiap proses yang ada agar dapat memberikan yang terbaik nantinya di
dalam kehidupan saya sehari-hari. Saya telah menjawab salah satu hal yang
diragukan orang lain terhadap saya di dalam kehidupan yang saya jalani. Saya
juga telah melewati hidup yang penuh candaan namun menyakitkan hati dari
teman-teman saya sendiri. Akan tetapi saya masih belum mampu membangun
kepercayaan diri saya. Kiranya melalui proses berteologi yang saya telah
jalani, sedang jalani dan akan saya lanjutkan dapat membangun diri saya untuk
menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Kiranya misteri kehidupan dari Sang
Misteri dapat membuat saya lebih memaknai kehidupan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar