Senin, 14 November 2016

Autobiografi (yang Masih dan Akan Terus Berjalan)

Nama saya Samuel Gunawan Siallagan. Saat ini saya adalah mahasiswa di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta (Sekolah Tinggi Filsafat Theologi Jakarta). Saya adalah mahasiswa tingkat 5 di perguruan tinggi itu. Kehidupan saya memiliki rangkaian yang saya sadari atau tidak telah membentuk cara saya berpikir, memaknai dan menjalani kehidupan saya hingga saat ini. Mungkin melalui rentetan peristiwa ini apa yang saya tuju dan capai terbentuk berdasarkan rentetan peristiwa di dalam kehidupan saya. Di dalam tulisan ini saya hendak menceritakan secara singkat mengenai kehidupan saya dan berbagai faktor berpengaruh di dalamnya.
            Saya adalah seorang anak laki-laki yang berasal dari keluarga Batak tulen. Bapak dan mama (Panggilan akrab saya untuk ayah dan ibu saya) orang Batak tulen dan besar di Kabupaten Simalungun, Provinsi Sumatera Utara. Akan tetapi perjumpaan mereka terjadi di kota Kendari, Provinsi Sulawesi Tenggara. Pada masa perjumpaan itu mereka berada dalam proses saling mengenal hingga akhirnya mereka membentuk rumah tangga pada bulan Juli 1989 di Kendari.
            Ayah saya bernama Tumpak Siallagan. Profesinya saat ini adalah seorang guru di salah satu Sekolah Menegah Pertama Negeri (SMPN) 8 Pematangsiantar. Sedangkan ibu saya bernama Delvia Hutahaean yang saat ini berprofesi sebagai ibu rumah tangga, yang dulunya sempat berwiraswasta sebagai pengusaha salon di Kota Kendari. Melalui usaha tersebutlah mama saya membantuk bapak saya untuk kuliah sampai lulus hingga pada masa-masa awal bapak saya menjalani pekerjaan sebagai seorang guru. Padahal masa itu mama saya juga baru merintis usahanya. Pengalaman hidup mereka membuat saya kadang iri dan berkata dalam hati, “Masih ada nggak ya cerita begitu zaman sekarang? Apa entar gue bisa ketemu pacar yang nanti jadi istri kaya mama sifatnya ya?” Saya sering tertawa sendiri ketika mengingat hal tersebut.
            Mungkin yang membaca tulisan ini bertanya, kenapa saya harus menceritkan tentang masa lalu hubungan orang tua saya? Hal itu menjadi penting karena saya lahir di tengah keadaan orang tua saya yang saat itu sedang mengalami kesulitan di beberapa segi kehidupan, seperti soal pekerjaan, materi dan beberapa masalah lainnya. Selain itu saya juga lahir ke dunia setelah usia pernikahan orang tua saya berjalan kurang lebih enam tahun. Kelahiran saya yang cukup lama dinanti ternyata menimbulkan prasangka buruk dan membuat orang tua saya, khususnya mama saya merasa sedih dengan keadaan tersebut. Mama saya sempat meminta kepada bapak saya untuk menceraikan dia atau mengadopsi anak, tapi bapak saya berkata kepada mama, “Anak itu pemberian Tuhan, nanti pasti Tuhan kasih ke kita kalau sudah berkehendak.” Mereka tetap berdoa sambil menantikan kehadiran saya. Cerita tersebut saya ketahui karena mama saya menceritakannya kepada saya sejak saya masih kecil.
            Berbagai upaya dilakukan oleh kedua orang tua saya untuk memiliki seorang buah hati dalam kehidupan rumah tangga mereka. Dua tahun sebelum saya lahir, kedua orang tua saya sempat pergi ke Makassar untuk berobat kepada seorang dokter ahli kandungan di sana, yang diperkenalan oleh teman kedua orang tua saya. Dokter tersebut bernama dr. Gunawan. Kedua orang tua saya pun menjalani berbagai pemeriksaan medis dan setelah pulang dari Makassar beberapa waktu kemudian akhirnya ibu saya mengandung dan melahirkan saya.
            Saya lahir di Kendari, 20 April 1996. Pada awalnya saya di bawa ke salah seorang bidan di Kendari pada tanggal 19 April 1996 pada sekitar pukul 23.00 WITA. Akan tetapi karena bidan yang menangami persalinan mama saya mengalami kesulitan, saya pun dirujuk ke Rumah Sakit Santa Maria, Kendari. Hal yang membuat persalinan mama saya berjalan sulit karena berat saya di dalam kandungan lebih besar dari kandungan pada umumnya dan yang semakin mempersulit ternyata kista yang ada di dalam rahim ibu saya semakin membengkang dan harus diangkat pada saat itu juga agar saya bisa dilahirkan. Saya pun terlahir ke dunia dan diberi nama Samuel Gunawan Siallagan. Samuel berarti anak yang diminta dari Tuhan, sementara nama Gunawan adalah untuk mengabadikan nama dokter yang membantu kehadiran saya di dunia.
            Itulah sekelumit kehidupan saya pada masa permulaan saya lahir di dunia. Saya menjalani masa kecil saya di Kendari. Saya menjalani masa kecil saya dengan orang-orang dari beragam latar belakang, mulai dari latar belakang suku, agama, dan lain-lain. Saya menjalani masa kecil saya di tengah keberagaman. Terkadang saya merasa perbedaan bisa menjadi sumber konflik dan sumber perkelahian di antara teman-teman saya yang memiliki perbedaan dengan saya. Akan tetapi saya merasa bahwa keberagaman lebih besar dari permasalahan yang hadir karena perbedaan. Pada masa kecil saya, yaitu pada masa saya menjalani sebagian besar pendidikan dasar saya di Kendari saya merasa bahwa perbedaan yang hadir membuat saya dapat mengerti indahnya perbedaan dan saling menghargai perbedaan orang satu sama lain.
            Perjalanan pergaulan saya selama masa kecil dan pendidikan dasar saya berjalan dengan cukup baik. Saya merasa pergaulan saya berjalan dengan penuh tenggang rasa dan saling menghargai. Meski pun begitu beberapa konflik tidak dapat dihindari, namun hal tersebut membuat saya semakin mampu untuk menyikapi pergaulan saya. Saya merasakan pergaulan yang baik dengan orang-orang di sekitar saya pada saat itu. Akan tetapi setelah saya pindah ke Pematangsiantar saya mulai jarang berkomunikasi dengan mereka karena berbagai hal.
            Saya pun pindah ke Pematangsiantar karena ayah saya yang pindah tugas. Pada awal saya mencoba membangun relasi dengan orang-orang di sekitar saya merasa kaget. Pasalnya orang-orang di sekitar saya membangun pola relasi yang berbeda dengan orang-orang yang saya temui sebelumnya. Meski pun saya sudah diperingatkan oleh orang tua saya tentang perbedaan yang ada, namun saya masih tetap kaget menghadapi cara bergaul yang cukup keras dan blak-blakan yang terbangun di Pematangsiantar dengan cara bergaul yang penuh kehangatan di Kendari. Saya sempat tidak mampu untuk beradaptasi meski akhirnya saya perlahan dapat beradaptasi dengan lingkungan baru saya. Seperti itulah masa kecil saya hingga masa saya melaksanakan pendidikan dasar saya.
            Masa saya menjalani pendidikan di Sekolah Menengah Pertama (SMP) penuh dengan tekanan. Saya masuk di salah satu sekolah katolik favorit di Pematangsiantar. Pada awalnya saya berekspektasi dapat mengembangkan diri saya dengan baik. Saya dapat menyelesaikan pendidikan saya di tempat tersebut dengan cukup baik. Akan tetapi saya merasa bahwa pada masa saya menjalani pendidikan menegah pertama ini ada hal yang membekas di dalam diri saya yang membawa pengaruh besar dalam kehidupan saya.
            Pada masa saya menjalani masa pendidikan di SMP diwarnai dengan berbagai candaan. Akan tetapi saya sering kali menjadi “korban” candaan tersebut. Bahkan saya merasa bahwa candaan tersebut terasa seperti bullying, meski saya tahu bahwa teman-teman saya menganggap semua itu sebagai candaan. Saya diberi nama panggilan Mutem (Muka Tembok) buat saya. Padahal arti dari kiasan tersebut adalah tidak tahu malu. Sampai saat ini saya tidak tahu apa alasan mereka memanggil saya seperti itu, namun saya merasa bahwa hal tersebut mengganggu saya. Meski pun saya sudah mengatakan kepada teman-teman saya bahwa saya tidak suka dipanggil seperti itu, tapi mereka tetap ngotot dan masih memanggil saya dengan panggilan seperti itu. Semakin hari semakin sering saya dipanggil dengan sebutan itu, bahkan saya merasa panggilan itu telah melekat di dalam diri saya pada saat itu.
            Pada masa SMA saya merasakan berbagai hal yang membentuk saya menjadi pribadi seperti yang sekarang. Pada masa SMA saya merasakan pembentukan diri melalui berbagai pengalaman ekstrakulikuler, khususnya di berbagai bidang organisasi di sekolah. Kesempatan yang saya peroleh di dalam organisasi yang saya ikuti membuat saya belajar untuk mengambil berbagai nilai kehidupan dari berbagai fenomena yang terjadi di sekitar kehidupan saya. Selain itu di satu sisi saya juga belajar untuk membangun kehidupan saya dan mengambil pelajaran berharga dari kehidupan dan pemikiran orang lain.
            Pada masa SMA ini juga saya mulai mencari tempat untuk menemukan sebuah wadah yang dapat menjadi tempat saya untuk menjalani perjalanan kehidupan saya, terlebih lagi di dalam perjalanan spiritual. Pada masa awal SMA saya cukup tertarik untuk mengikuti kegiatan kerohanian Kristen yang ada di dalam sekolah. Akan tetapi saya merasa pada saat itu bahwa saya merasa dipaksa untuk mengikuti berbagai program untuk bisa dikatakan sebagai “Anak Tuhan”. Saya merasa tidak nyaman dengan relasi dan cara berpikir yang coba dibangun pada saat itu, sehingga saya memutuskan untuk meninggalkan persekutuan tersebut dan hanya menjadi pendengar di tengah komunitas Kristen tersebut. Rasa kesal saya semakin bertambah ketika Ujian Nasional. Banyak siswa-siswi yang aktif dalam persekutuan siswa Kristen mengatakan untuk tidak menggunakan kunci jawaban sewaktu UN dengan cara yang lebay. Ternyata sebagian besar dari mereka yang saya tahu tidak dapat melaksanakan apa yang mereka katakan. Pada saat itu saya merasa bahwa iman harus ditunjukkan, tidak hanya dikatakan.
            Petualangan saya dalam upaya menjajaki perjalanan spiritual saya perlahan terbentuk di gereja. Saya mulai aktif di remaja gereja yang sebenarnya saya bentuk bersama dengan beberapa teman-teman saya di bawah bimbingan seorang vikaris alumnae Sekolah Tinggi Teologi (STT) Jakarta. Pada saat itu kami berusaha membangun organisasi tersebut mulai dari nol, tanpa ada bantuan apa pun dari gereja. Kesulitan dan kebahagiaan yang datang di saat bersamaan dalam membangun dan menjalankan organisasi remaja di dalam gereja membuat saya meraskan bahwa inilah sebenarnya perjuangan. Sebuah bentuk perjalanan yang mengingatkan saya keyakinan di dalam iman terhadap berbagai hal yang dikerjakan di dalam kehidupan. Saya tertampar melalui perjalanan saya di dalam persekutuan remaja di gereja saya bahwa hidup dan berbagai seluk-beluknya adalah perjuangan.
            Pada masa SMA ini juga saya merasa bahwa cita-cita saya kalah pamor dengan cita-cita teman-teman saya lainnya. Pada saat itu saya memilih untuk tidak mengikuti semua jalur penerimaan mahasiswa baru di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan Perguruan Tinggi Kedinasan (PTK). Saya memutuskan hal tersebut karena saya sudah bertekad untuk mengikuti seleksi penerimaan mahasiswa baru di STT Jakarta. Akan tetapi banyak orang yang mempertanyakan keputusan saya dan bahkan sebagian orang, termasuk beberapa guru saya yang beragama Kristen mentertawakan cita-cita saya. Salah satu perkataan yang saya ingat adalah bahwa saya tidak memiliki bakat sebagai pendeta (salah satu anggapan tentang mahasiswa teologi yang harus jadi pendeta). Hal tersebut membuat saya sempat kurang percaya diri untuk mencoba masuk ke dalam dunia teologi sebagai pilihan saya.
            Pengalaman saya di dalam pelayanan remaja dan pemuda di gereja serta berbagai pandangan yang “memandang sebelah mata” terhadap keinginan saya membuat tekad untuk mencoba peruntungan untuk mengikuti tes di STT Jakarta semakin bulat. Saya merasa bahwa keyakinan saya pada saat itu adalah jawaban dari doa saya terhadap pergumulan yang sedang saya hadapi. Akan tetapi di saat rasa percaya diri itu mulai bertumbuh, rasa percaya diri yang saya butuhkan untuk memantapkan pilihan saya itu pun kembali runtuh. Pasalnya keraguan kembali muncul dari dalam diri saya karena orang-orang terdekat saya. Bahkan keraguan kali ini membuat saya benar-benar pesimis, karena keraguan tersebut muncul dari kedua orang tua saya, terutama ayah saya.
            Motivasi saya perlahan terbangun dengan cara yang tidak terduga. Hal pertama dimulai dari sharing saya dengan dua orang vikaris HKBP yang merupakan alumni STT Jakarta. Teladan yang mereka tunjukkan melalui pelayanan dan kerja sama saya dengan mereka di persekutuan remaja dan pemuda tempat saya berjemaat membuat saya sangat ingin mampu menjadi pendeta yang baik. Terlebih lagi kedua orang tersebut memberikan saya berbagai motivasi untuk dapat mencapai cita-cita saya. Bahkan sampai pada masa saya menjalani kuliah di STT Jakarta, saya selalu mendapat motivasi sampai saat ini agar belajar dengan baik dan membangun pemikiran untuk mempergunakan ilmu yang didapatkan di STT Jakarta dengan baik.
            Salah satu motivasi terbesar yang sangat berbekas bagi saya adalah motivasi dari saudara-saudara yang bukan berasal dari kalangan Kristen Protestan. Saya mendapat motivasi lebih dari teman-teman saya yang beragama Islam dan Katolik. Di saat rekan-rekan saya yang sesama Protestan ragu bahkan sampai ada yang menertawakan cita-cita saya, mereka hadir memberi motivasi dan semangat yang membuat saya sempat heran dengan apa yang mereka berikan. Bahkan seorang guru agama Islam di sekolah saya sangat mendukung saya dan terus memotivasi saya untuk mengejar cita-cita saya untuk belajar teologi dan menjadi pendeta. Bahkan ketika saya pulang ke Pematangsiantar pada tahun 2014 dan 2015, saya disambut oleh beliau dan pada saat yang bersamaan beliau menunjukkan rasa bangganya dengan pencapaian saya. Hal tersebut membuat saya terharu dan berpikir bahwa cara Sang Misteri mengangkat motivasi umat-Nya sungguh penuh dengan misteri.
Ayah saya benar-benar meragukan saya pada saat itu. Dia mengatakan kalau saya tidak akan mampu mengikuti pembelajaran di teologi kalau saya masih mempertahankan cara belajar saya yang super malas di SMA. Selain itu ayah saya menekankan bahwa saya masih kurang berusaha untuk memperbaiki diri. Akan tetapi di satu sisi ayah saya hanya mengizinkan saya untuk menekuni bidang teologi di STT Jakarta, yang menurutnya sebagai tempat belajar teologi terbaik saat ini. Di satu sisi saya melihat keraguan yang besar di dalam diri saya karena kondisi tersebut. Akan tetapi di balik itu saya melihat adanya harapan besar dari orang yang saya kasihi, yaitu ayah saya untuk memacu saya agar dapat belajar teologi di tempat yang terbaik.
            Keraguan lain yang muncul ketika saya mencoba untuk membangun masa depan saya melalui pendidikan teologi muncul dari ibu saya. Kekhawatiran terbesar ibu saya adalah bahwa saya akan kesulitan ketika saya berada di perantauan ketika saya berada di Jakarta. Akan tetapi saya melihat bahwa kekhawatiran ibu saya muncul dari berbagai pandangan di lingkungan sekitarnya. Ibu saya tidak begitu memahami mengenai dunia akademis, hal tersebut membuat ibu saya cenderung mendengarkan pendapat lain di luar dirinya soal akademis atau dunia pendidikan. Hal tersebut sempat membuat ibu saya mendorong saya untuk kuliah di STT HKBP. Akan tetapi ayah saya tidak setuju dengan ibu saya, bahkan mereka sempat bertengkar karena menurut ayah saya STT HKBP tidak akan menghasilkan teolog yang berbudi pekerti dengan keadaan STT HKBP yang menurut ayah saya sedang dalam keadaan kurang baik. Sementara ibu saya pada saat itu belum siap untuk terpisah jarak dan waktu dengan saya, anak satu-satunya di dalam keluarga. Keraguan terhadap diri saya dan impian saya terus bermunculan dalam upaya saya membangun mimpi saya untuk menjadi seorang pendeta dan teolog.
            Saya pun tetap memberanikan diri saya untuk mengikuti tes di STT Jakarta, dengan keraguan dari berbagai pihak dan rasa percaya diri yang minim di dalam diri saya. Akan tetapi ayah dan ibu saya tetap memberikan dukungan mereka kepada saya, meski ayah saya hingga pada hari terakhir saya mengikuti tes terlihat sekali keraguannya terhadap kemampuan saya. Meski pun begitu ayah saya tetap mengantar dan mendampingi saya untuk mengikuti tes masuk STT Jakarta. Sementara ibu saya tetap mendukung saya meski sebenarnya hatinya berat untuk jarang bertemu dengan saya dan pada akhirnya ketika saya telah diterima menjadi mahasiswa STT Jakarta dan melengkapi administrasi saya, ibu saya mengantar dan menemani saya di masa awal sebagai seorang mahasiswa.
            Mungkin bagi sebagian orang pencapaian atau kelulusan tes masuk sekolah teologi adalah hal biasa. Akan tetapi bagi saya hal tersebut termasuk hal yang sangat membahagiakan dalam hidup saya. Salah satu hal yang membuat saya bahagia adalah belajar teologi merupakan langkah awal untuk menggapai cita-cita saya untuk menjadi seorang pendeta. Saya juga melihat bahwa di balik pencapaian saya sebenarnya saya telah membalikkan anggapan-anggapan yang menyudutkan dan meremehkan kemampuan saya. Bahkan ayah saya sendiri terheran ketika tahu bahwa anaknya sekarang diterima sebagai mahasiswa STT Jakarta. Meski pun begitu nilai motivasi sangat terasa di dalam keraguan dari berbagai pihak jika diambil sisi positifnya. Saya merasa bahwa keraguan membuat kita akan berusaha dengan sekuat dan secerdas mungkin untuk menggapai cita-cita atau keinginan, dan mempersiapkan diri dengan segala kemungkinan yang dapat terjadi.
            Pada saat ini saya menjalani proses belajar di STT Jakarta. Akan tetapi saya kembali tenggelam dalam keraguan dan kepercayaan diri yang rendah. Meski pun begitu saya mencoba untuk memberikan yang terbaik selama saya menjalani proses studi ini. Saya selalu berharap, berusaha dan berdoa agar dimampukan melewati dan memaknai setiap proses yang ada agar dapat memberikan yang terbaik nantinya di dalam kehidupan saya sehari-hari. Saya telah menjawab salah satu hal yang diragukan orang lain terhadap saya di dalam kehidupan yang saya jalani. Saya juga telah melewati hidup yang penuh candaan namun menyakitkan hati dari teman-teman saya sendiri. Akan tetapi saya masih belum mampu membangun kepercayaan diri saya. Kiranya melalui proses berteologi yang saya telah jalani, sedang jalani dan akan saya lanjutkan dapat membangun diri saya untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Kiranya misteri kehidupan dari Sang Misteri dapat membuat saya lebih memaknai kehidupan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar