Senin, 14 November 2016

Potensi Keterbukaan dan Penerimaan Terhadap Suku Berbeda di Gereja Suku: Analisis terhadap Peluang Perkembangan Pemahaman dan Penerimaan Suku Lain di HKBP pada Era Globalisasi

Potensi Keterbukaan dan Penerimaan Terhadap Suku Berbeda di Gereja Suku:

Analisis terhadap Peluang Perkembangan Pemahaman dan Penerimaan Suku Lain di HKBP pada Era Globalisasi

Pendahuluan
Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) adalah salah satu gereja yang berdiri di Indonesia. Sesuai dengan namanya, HKBP adalah gereja yang sangat erat hubungannya dengan suku Batak Toba. HKBP juga menjadi salah satu gereja suku yang ada di Indonesia. HKBP adalah gereja yang pada mulanya berdiri di daerah Sumatera Utara, yakni daerah Tapanuli dan sekitarnya. Akan tetapi seiring dengan berjalannya waktu HKBP telah berdiri di berbagai tempat. Salah satu faktornya adalah perpindahan yang dilakukan oleh orang-orang dari daerah Sumatera Utara ke daerah lainnya untuk melanjutkan kehidupan.
Saya adalah salah satu jemaat HKBP yang berasal dari daerah Kabupaten Simalungun, sebuah daerah yang banyak kelompok masyarakatnya terdiri dari suku Batak Toba, Simalungun, Karo dan lain-lain. Gereja tempat saya berjemaat di kampung halaman saya memberi perhatian yang cukup besar terhadap kehidupan adat istiadat. Dalam beberapa kesempatan saya melihat dan mengambil bagian dalam beberapa pelaksanaan peribadahan atau pun upacara adat batak yang telah bercampur dengan liturgi gereja. Pemakaian bahasa Batak, khususnya Batak Toba dalam peribadahan adalah hal yang wajib hukumnya di HKBP, termasuk gereja tempat saya berjemaat yaitu HKBP Perumnas Batu VI. Bahkan di gereja ini sering kali cepat tersebar berita miring jika ada pelayan gereja, baik pendeta, calon pendeta atau penatua yang dalam berbahasa Batak masih marpasirpasir atau belum fasih dalam berbahasa Batak.
Kehidupan saya sebagai bagian dari umat Kristen dan bagian dari bangso Batak atau bangsa Batak di saat bersamaan terbentuk selama saya berjemaat di dalam HKBP. Sejak saya menjadi jemaat HKBP saya diarahkan untuk menjadi orang Kristen dan menjadi halak Batak atau orang Batak di saat bersamaan. Berdasarkan pengalaman saya selama berjemaat saya memandang bahwa HKBP adalah gerejanya orang Batak khususnya Batak Toba.
Seiring berjalannya waktu pertanyaan pun muncul dalam diri saya. Apakah HKBP tidak bisa menjadi gereja yang majemuk, meski memiliki istilah Batak di dalam singkatan namanya? Pertanyaan itu semakin muncul ketika saya melihat bahwa di dalam kehidupan berjemaat di gereja tempat saya berjemaat, ada jemaat dari suku lain, seperti Batak Simalungun, Batak Karo, Batak Mandailing bahkan Nias. Akan tetapi mereka harus mengikuti adat Batak Toba yang diterapkan di dalam kehidupan bergereja. Jika ada orang lain yang hendak menjadi jemaat HKBP, namun berasal dari suku lain harus menjadi orang Batak untuk dapat dikatakan sebagai warga jemaat HKBP?
Faktor lain yang membuat saya mengangkat topik mengenai potensi kemajemukan di dalam HKBP adalah karena fenomena berdirinya HKBP di berbagai wilayah yang bukan daerah Batak. Pada satu sisi ada makna positif yang terlihat karena di dalam hal tersebut terlihat bahwa gereja telah menjadi sarana pemersatu bagi masyarakat Batak yang telah terpisah dan mencari kehidupan di sisi lain. Akan tetapi di sisi lain kesan yang muncul adalah HKBP adalah gereja yang ekslusif. Pemahaman tersebut didasari bahwa di berbagai daerah di luar daerah yang menjadi basis masyarakat Batak Toba telah banyak berdiri gereja, baik yang ekumenis atau pun gereja suku lainnya. Berdasarkan hal tersebut maka saya mencoba membahas mengenai potensi keterbukaan terhadap kemajemukan di dalam HKBP.

Deskripsi Situasi
            Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) adalah gereja yang berdiri sejak 7 Oktober 1861 di tanah Batak. HKBP berdiri atas peran atau buah dari pemberitaan Injil oleh misionaris Rheinische Missions Gessellschaft (RMG). Seiring dengan berjalannya waktu, HKP telah berkembang ke berbagai penjuru di tanah Batak, Indonesia bahkan dunia. HKBP dalam pelayanannya berupaya untuk mempersembahkan diri sebagai alat Allah untuk melaksanakan misi Allah yang berdasarkan pada iman, kasih dan pengharapan (HKBP 2015, 7).
            HKBP di dalam Aturan dohot Peraturan atau Tata Dasar dan Tata Laksana HKBP Bab II Pasal 2  juga menjabarkan pemahaman mengenai prinsip persekutuan yang dipegang oleh HKBP:
Huria Kristen Batak Protestan I ma pardomuan ni halak Kristen sian sude marga dohot houm ni bangso Indonesia, dohot nasa bangso di sandok portibi on na tardidi tu bagasan goar ni Debata Ama, Anak dohot Tondi Parbadia. Sada hapataran ni pamatang ni Kristus do HKBP, na manghamham na porsea na marpanindangion di sandok portibi on.
Huria Kristen Batak Protestan adalah persekutuan orang Kristen dari segala suku dan golongan bangsa Indoensia dan segala bangsa di seluruh dunia yang dibaptis ke dalam nama Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus. HKBP adalah satu wujud nyata tubuh Kristus yang mencakup segenap orang percaya dan bersaksi di seluruh dunia (HKBP 2015, 13).
            Apakah HKBP adalah gereja yang jemaatnya harus berasal dari suku yang sama? Gambaran mengenai jawaban dari pertanyaan tersebut dapat dilihat dalam Tata Dasar dan Tata Laksana HKBP tentang warga HKBP. Warga HKBP berdasarkan Tata Dasar dan Tata Laksana HKBP adalah yang sudah dibaptis dalam nama Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus. Selain itu warga HKBP harus menghayati firman Allah dan mengikuti berbagai kegiatan yang berhubungan dengan pembangunan iman jemaat (HKBP 2015, 23-24).
            Tata Dasar dan Tata Laksana HKBP menunjukkan adanya pemahaman yang dapat mendukung HKBP untuk menjadi gereja yang majemuk. Peribadahan yang diatur di dalam Tata Dasar dan Tata Laksana Bab V pasal 2 juga menunjukkan ada poin penting mengenai penghargaan dalam perbedaan atau kemajemukan.
Sipatupaon do parmingguan I di hata Batak, hata Indonesia manang di angka hata na asing na niantusan jala hinangoluhon ni ruas ni huria.
Ibadah dilayankan dalam Bahasa Batak atau Bahasa Indonesia atau bahasa-bahasa lain yang dipahami dan dihayati oleh warga Jemaat (HKBP 2015, 15).
            Jika didasari oleh pemahaman tersebut, dapat dikatakan bahwa ada kesadaran untuk mengakomodir berbagai tradisi dan budaya yang ada di sekitar HKBP. Artinya bahwa ada potensi untuk mengambil nilai-nilai kebaikan lainnya yang ada di luar nilai-nilai kehidupan Batak yang ada di sekitar HKBP. Hal tersebut dapat menjadi gambaran yang cukup memberikan pemahaman bahwa sebenarnya HKBP membuka diri untuk nilai-nilai kebaikan lainnya, yang diharapkan dapat diperlihatkan melalui peribadahan yang dilaksanakan oleh HKBP.           
            Salah satu konteks yang harus dihadapi oleh HKBP saat ini adalah kehidupan di dalam masyarakat yang majemuk. Artinya HKBP yang berdiri dan unsur Batak yang melekat dalam dirinya harus menghadapi dan menghidupi kemajemukan. Akan tetapi sering kali muncul anggapan dari berbagai sumber dan berbagai pihak bahwa HKBP adalah gerejanya orang Batak. HKBP dianggap menjadi sebuah gereja tempat berkumpulnya orang-orang batak dari berbagai penjuru. Kultur batak sangat melekat dalam HKBP, hal tersebut menurut saya menimbulkan kesan adanya eksklusivitas yang terkesan memperlihatkan bahwa HKBP adalah gereja yang hanya boleh diisi oleh orang Batak, yang di satu sisi juga seakan mengingkari sikap keterbukaan dalam Kristus seperti yang tercantum dalam Tata Dasar dan Tata Laksana HKBP. Hal tersebut semakin terasa di era globalisasi yang ditandai dengan berkembangnya berbagai pemikiran dan mobilisasi dari manusia yang semakin terasa.
Analisis Situasi
Konstruksi Sosial Batak Toba
Batak Toba adalah suku yang memiliki norma atau nilai kehidupan di dalam masyarkatnya. Nilai-nilai yang ada dalam masyarakat menjadi pegangan bagi masyarakat Batak Toba dalam menjalankan kehidupan. Berbagai nilai-nilai yang muncul di tengah masyarakat Batak Toba bukanlah kumpulan nilai yang terbentuk dalam sekejap mata. Nilai-nilai tersebut berasal dari tradisi dan falsafah kehidupan yang dihayati oleh masyarakat Batak Toba dalam rentang waktu yang lama.
Suku Batak Toba jika ditelisik asal-usulnya masih sulit untuk menemukan jawaban pastinya. Ada pendapat yang mengatkan bahwa Batak Toba berasal dari salah satu daerah di Myanmar yang bernama Bataha, yang kemudian beralih menjadi Batak. Ada juga pendapat yang menyatakan bahwa Batak berasal dari suku bangsa turunan yang ada di daerah Ilocos Utara di Filipina. Masih ada beberapa lagi penjelasan mengenai asal-usul dari leluhur suku Batak Toba (Sangti 1977, 26-7).
Sistem garis keturunan yang dianut dalam sistem sosial Batak Toba adalah patrilineal, yang ditandai dengan ikatan marga yang berasal dari ayah. Adanya marga di dalam sistem kekerabatan di dalam masyarakat Batak Toba membentuk koneksi antara masyarakat Batak Toba secara personal berdasrkan marga. Ikatan tersebut terbentuk berdasarkan ikatan marga yang terbentuk dalam sistem marga patrilineal, yang menjadi penanda seseorang sebagai bagian dari keturunan Batak Toba (Vergouwen 1964, 2).
J. C. Vergouwen dalam bukunya The Social Organisation and Customary Law of Toba-Batak of Northern Sumatera menjelaskan bahwa ikatan marga tersebut bukanlah sebuah hal yang muncul belum terlalu lama. Ikatan marga di dalam suku Batak Toba sudah terbentuk dari masa lampau. Konsturksi sosial tersebut terbentuk dan bermula dari pemahaman masyarakat Batak Toba pada masa lampau tentang kepercayaan pada Debata Mulajadi Na Bolon, yang kemudian berlanjut pada kemunculan berbagai marga yang membentuk kumpulan-kumpulan marga atau punguan yang terbentuk dengan berbagai latar belakang dan tersebar di berbagai penjuru tanah Batak (Vergouwen 1964, 21-30).
Kebudayaan dalam bahasa Batak Toba-tua adalah Ugari. Jika melihat dari definisi antropologi maka kebudayaan dapat diartikan sebagai keseluruhan dari hasil kelakuan manusia yang diatur oleh tatanan yang ada, yang didapatkan dari hasil belajar yang keseluruhannya tersusun dalam cara hidup masyarakat (Sangti 1977, 30). Jika berdasar pada pernyataan tersebut maka kehidupan masyarakat Batak Toba pada saat ini, termasuk masyrakat Batak Toba yang menjadi jemaat HKBP terbentuk dari berbagai tradisi dan tatanan hidup yang ada di masyarakat sejak masa lampau.
Jika diperhatikan lebih lanjut kebudayaan di Indonesia, termasuk kebudayaan Batak Toba di dalamnya memiliki beberapa nilai-nilai yang sama dalam pelaksanaannya. Nilai nilai yang sama tersebut antara lain kaidah kesusilaan perseorangan, kemasyarakatan, hukum, agama dan kesenian. Berbagai elemen dalam kebudayaan tersebut berpadu menjadi satu di dalam kehidupan masyarakat. Contohnya adalah falsafah hidup masyarakat Batak Toba yang dikenal dengan nama Dalihan Na Tolu (Sangti 1977, 30).
Dalihan Na Tolu secara harfiah diartikan sebagai sebuah tungku yang berdiri atau ditopang oleh tiga buah batu. Batu-batu yang dipakai untuk menopang tungku tersebut harus memiliki ukuran yang sama. Selain itu batu-batu yang dipakai dalam pemahaman ini harus diletakkan dengan jarak yang sama dan dengan tinggi masing-masing batu harus sama. Hal tersebut bertujuan agar isi yang ada di dalam tungku tidak tumpah (GoBatak website 2016).
Ada tiga elemen penting yang terdapat dalam Dalihan Na Tolu. Ketiga elemen tersebut adalah somba marhula-hula, manat mardongan tubu, elek marboru. Somba marhula-hula adalah rasa hormat kepada pihak keluarga laki-laki dari pihak istri atau ibu. Manat mardongan tubu berarti penghormatan kepada orang-orang yang semarga atau berada dalam satu rumpun marga sebagai tanda persaudaraan. Sedangkan elek marboru  dapat diartikan sebagai penghormatan kepada kelompok saudara-saudara perempuan yang ada dalam sistem kekerabatan (GoBatak website 2016).
Jika melihat dari penjelasan singkat mengenai konstruksi sosial suku Batak Toba yang dijelaskan, terlihat bahwa ikatan darah atau hubungan genealogis di dalam konstruksi sosial Batak Toba sangat kental. Hubungan garis keturunan sangat diperhatikan di dalam masyarakat Batak Toba. Berdasarkan penjabaran tersebut saya melihat bahwa sebagian masyarakat Batak Toba masih memegang teguh sistem konstruksi sosial ini. Falsafah Dalihan Na Tolu masih menjadi salah satu bagian penting di dalam kehidupan bermasyarakat, termasuk di dalam gereja. Salah satu contoh fenomena yang saya lihat selama saya berjemaat di HKBP adalah ikatan marga atau kekeluargaan masih menjadi salah satu faktor penentu siapa yang menjadi parhalado atau majelis jemaat. Jika berdasarkan dari penjabaran yang telah dipaparkan, apakah ada potensi atau peluang bagi HKBP untuk menjadi gereja yang terbuka terhadap kehadiran suku lain, di tengah sebagian jemaatnya yang masih memegang teguh konstruksi sosial budaya dan hubungan kekerabatan yang sangat erat?
Rekonstruksi Pemahaman Sosial Batak Toba
Batak Toba memiliki tatanan kehidupan yang diatur di dalam adat istiadat. Adat yang terbentuk di dalam masyarakat Batak Toba bertujuan untuk penyelarasan di dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat Batak Toba. Penyelerasan yang dibentuk di dalam adat istiadat bertujuan untuk kesejahteraan, meski masih terbatas di dalam lingkup masyarakat Batak Toba. Implikasi lain dari kehidupan yang hendak diselaraskan di dalam adat istiadat adalah pemeliharaan adat istiadat di dalam kehidupan (Pedersen 1975, 34).
Kehidupan bergereja yang saya rasakan juga terdapat aspek yang kental mengenai kehidupan sebagai jemaat yang beradat. HKBP sebagai gereja yang membawa Batak di dalam namanya menunjukkan berbagai upaya untuk mempertahankan dan mewariskan adat istiadat melalui kehidupan bergereja. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Pedersen yang menyatakan bahwa dalam kehidupan masyarakat Batak Toba bahwa adat istiadat yang dipegang tidak akan berubah dan akan berusaha untuk dipertahankan, meski terkadang mengesampingkan kemajuan dalam masyarakat. Adat telah menjadi identitas yang melekat dan dipandang sebagai satu kesatuan dengan masyarakat Batak Toba (Pedersen 1975, 35). Pertanyaan yang kembali muncul dari pernyataan tersebut adalah bagaimana HKBP dan masyarakat Batak Toba di dalamnya dapat menjadi gereja yang bertumbuh dan mampu hidup di dalam kemajemukan?
Pendekatan pertama yang coba saya berikan adalah pendekatan historis. Sebelum kekristenan menjadi ajaran yang dianut oleh masyarakat Batak Toba, masyarakat Batak Toba pada masa pekabaran Injil ternyata mampu menunjukkan keterbukaan terhadap kehadiran dari pekabar Injil di tengah kehidupan mereka, meski pada saat itu sentimen negatif terhadap orang asing sangat kuat di tengah masa penjajahan. Misalnya para misionaris yang datang pada awal 1800-an yang menyatakan bahwa masyarakat Batak lebih memiliki rasa ingin tahu terhadap kehadiran mereka disbanding untuk bermusuhan. Bahkan Burton dan Ward, dua orang misionaris pada saat itu suah dianggap sebagai penduduk asli oleh masyarkat setempat. Akan tetapi pada masa awal penginjilan, ajaran yang dibawa oleh para misionaris akan membuat merka meninggalkan kehidupan adat mereka (Pedersen 1975, 46).
Kematian Lyman dan Munson ketika memberitakan Injil di tanah Batak juga menjadi salah satu gambaran prasangka terhadap kedua orang tersebut sebagai orang asing. Lyman dan Munson dianggap sebagai mata-mata yang dikirim Belanda pada saat itu ke tanah Batak, yang mencoba menghancurkan masyarakat Batak pada saat itu. Masih banyak anggapan-anggapan lainnya yang menimbulkan kebencian terhadap kehadiran orang asing di dalam kehidupan masyarkat, padahal tidak semua orang asing yang datang pada saat itu bertujuan untuk berperang (Pedersen 1975, 49).
Pemahaman mengenai kehadiran orang asing dan budaya yang berbeda nampaknya masih ada di dalam pemahaman sebagian masyarakat Batak Toba, termasuk di dalam jemaat HKBP. Ketakutan akan kebudayaan yang dapat tergerus dengan kehadiran budaya asing dan orang asing telah mempengaruhi masyarakat Batak. Padahal di dalam kehidupan adat masyarakat Batak Toba secara khusus telah terdapat adaptasi dalam pemahaman adatnya. Contohnya adalah pemahaman tentang Dalihan Na Tolu. Misalnya penghormatan pada orang yang semarga atau dalam satu rumpun marga tidak terbatas lagi dalam keluarga. Selain itu masuknya kekristenan membuat Allah menjadi pusat dari pemahaman Dalihan Na Tolu (Rumametmet website 2016).
Representasi atau pemahaman subjektif terhadap manusia tidak dapat dijadikan sebagai pegangan mutlak dalam menilai orang lain dan kebudayaan yang dibawa oleh orang tersebut. Ricoeur menjabarkan bahwa representasi tidak selamanya menjadi fakta utama dalam menyikapi nilai-nilai kehidupan sebagai bagian dari refleksi filosofis. Representasi menjadi sesuatu yang harus dipahami untuk melihat fenomena yang ada atau dibawa di dalam representasi yang ditunjukkan oleh manusia (Ricoeur 2000, 212).



Titik berangkat untuk memahami kehidupan yang diatur dalam sistem sosial yang dijalankan manusia adalah wilayah lokal. Hal tersebut bertujuan untuk menyelesaikan berbagai persoalan berdasarkan landasan ilmu kemanusiaan, yang pada akhirnya akan berujung dengan pemahaman akan nilai-nilai kemanusiaan yang universal. Selain itu hal penting yang perlu diingat dalam pencarian nilai-nilai universal dalam keberagaman manusia adalah mengesampingkan prasangka agar berpikir dalam bingkai pemikiran yang berani mengetahui dan pada akhirnya mencapai kedewasaan berpikir (Ricoeur 1981, 88-90).
Pencarian akan pemahaman bersama dalam nilai-nilai kemanusiaan yang beragam menjadi hal yang penting dalam menyikapi kemajemukan. Ricoeur dalam pemahamannya menunjukkan bahwa kehidupan yang baik itu adalah sebuah gambaran yang harus diwujudkan manusia, namun dengan dasar kolektivitas yang dapat diterapkan di dalam kehidupan, sebagai bentuk pemahaman akan universalitas dari nilai moral (Pirovolakis 2010, 115). Pemahaman Ricoeur yang telah dijabarkan dapat menjadi gambaran untuk menjalankan kehidupan berdasarkan falsafah Batak Toba dalam kehidupan bergereja dan masyarakat majemuk. Adat harus terus mencari makna bersama dengan berbagai pemikiran yang sama atau yang berbeda untuk menemukan nilai-nilai moral universal dalam kehidupan, termasuk dalam interaksi dan kehidupan bergereja. Adat yang ada memang hadir untuk mengupayakan kesejahteraan dan kebaikan komunitas, namun konteks pada masa kini yang di antaranya adalah kehidupan yang majemuk tidak dapat dipinggirkan dalam kehidupan masyarakat Batak Toba dan dalam tubuh HKBP.
HKBP dan Kemajemukan di Era Globalisasi
Kemajemukan atau yang biasa disebut juga sebagai pluralisme adalah suatu paham yang mengakui keberagaman sebagai realitas, yang membuatnya harus diterima sebagai fakta sosial yang tidak mungkin dihindari (Sitompul 2014, 25). Berdasarkan pada pandangan tersebut dapat dikatakan bahwa gereja yang ada sekarang harus menghadapi konteks tersebut sebagai sebuah realita yang tidak dapat dihindari dan gereja tidak dapat menutup mata atas keadaan tersebut.
Gereja adalah lembaga sosial yang berdampingan dengan masyarakat atau konteks di sekitarnya, termasuk jemaat di dalam gereja itu sendiri. Masyarakat Batak Toba yang telah banyak merantau membawa berbagai nilai yang didapat dari daerah asal masing-masing, yang sebagian juga dibawa ke dalam kehidupan bergereja dalam hal ini HKBP. Bahkan sudah sejak lama masyarakat Batak Toba menunjukkan tradisi untuk merantau ke luar daerah masing-masing (Sitompul 2014, 23-4).
Pluralisme yang dihadapi oleh HKBP adalah sebuah realita sosial yang harus dihadapi. Nilai-nilai yang dibawa ke daerah yang memiliki konteks majemuk. Bahkan keadaan seperti itu terkadang menimbulkan fundementalisme dalam menyikapi dan membawa tradisi yang ada di tengah masyarkat yang majemuk (Sitompul 2014, 25). Hal tersebut terkadang bahkan berujung pada identitas di dalam gereja yang dipengaruhi oleh fundamentalisme dalam menyikapi tradisi dan adat istiadat. Misalnya HKBP yang terlihat sangat kental tradisi dan filosofi kehidupan Batak Toba, yang seakan tidak dapat membuka ruang untuk suku lainnya.
Pertanyaan mendasar yang diajukan oleh Bungaran Simanjuntak soal bagaimana budaya Batak mewarnai kehidupan yang majemuk dapat dipertanyakan kepada kehadiran HKBP sebagai gereja. Dapatkah HKBP yang diisi oleh sebagian besar masyarakat Batak Toba mewarnai kemajemukan dengan penerimaan suku lain di dalam kehidupan bergereja? (Simajuntak 2011, 135). HKBP harus mampu menyikapi kemajemukan yang dihadapi sembari menunjukkan identitasnya sebagai gereja yang mewujudkan kehadiran Allah di tengah-tengah dunia.
Prasangka sering muncul dalam menjalani relasi di tengah kemajemukan, baik terhadap orang Batak Toba atau kepada halak sileban atau orang di luar masyarakat Batak Toba. Halak sileban sering kali mengidentikkan Batak secara keseluruhan sebagai orang yang kasar, bicara keras dan lain sebagainya. Jika melihat hal tersebut maka perlu diadakan komunikasi atau pembicaraan yang didasari dengan prinsip saling memahami. Hal tersebut menjadi penting karena pada dasarnya pluralisme kebudayaan harus terus dibicarakan sebagai bagian dari proses interaksi manusia (Simanjuntak 2011, 136).
Komunikasi adalah sebuah proses proses interaksi dan pertumbuhan pemikiran manusia terhadap nilai-nilai luhur dan moral. Komunikasi diperlukan untuk mendapatkan informasi tentang berbagai nilai-nilai dalam kehidupan, termasuk di dalam kemajemukan. Berbagai hal dalam kemajemukan yang senantiasa dikomunikasikan dapat membuat masyarakat yang berada di dalam kemajemukan akan menyadari kehadirannya dalam perbedaan dan akan berimplikasi pada upaya untuk menyesuaikan diri dalam kemajemukan (Sitompul 2014, 52-3).
HKBP adalah salah satu gereja yang pada mulanya berdiri di tanah Batak sangat identik dengan suku Batak. Pada abad ke-19 gereja-gereja kesukuan lainnya mulai berdiri di Indonesia. Fenomena yang terlihat adalah masyarakat yang berpindah ke daerah lain yang lebih majemuk mendirikan gereja seperti gereja suku tempat asal mereka untuk mendekatkan diri dengan ikatan persaudaraan berdasarkan adat isitadat yang ada di daerah asal. Gereja yang berbasis kesukuan selain menjadi tempat persekutuan orang-orang yang percaya pada Allah Tritunggal menjadi sarana pemersatu yang memperkuat persaudaraan (Sitompul 2014, 59-61).
Mobilitas masyarakat Batak Toba yang berjumpa dengan kemajemukan membuat masyarakat Batak Toba dan kehidupan bergereja di dalam HKBP harus mampu meyesuaikan diri dengan konteks kemajemukan. Masyarakat dan gereja sebagai bagian dari kehidupan sosial masyarakat harus mampu menempatkan diri dengan baik. Tujuan dari hal tersebut adalah untuk menjaga keharmonisan dalam kehidupan bersama (Sitompul 2014, 84).
Kehadiran gereja yang berbasis kesukuan juga merupakan sebuah fakta sosial yang tidak dapat dihindari. Kehadiran gereja suku mengambil nilai-nilai di dalam kehidupan untuk menjaga keharmonisan di dalam tradisi dan kehidupan beriman selaku umat Kristen. Akan tetapi nilai-nilai kesukuan tidak dijadikan sebagai sebuah keutamaan dalam kehidupan bergereja. Meski pun begitu fakta negatif yang sering kali terlihat adalah adanya sikap superioritas terhadap suku lain atau ekslusivitas yang terbentuk di dalam gereja suku seperti HKBP (Sitompul 2014, 211-2).
Gereja diharapkan menjadi persekutuan yang dapat menghargai kebudayaan dan adat istiadat berbagai suku yang ada. Hal tersebut harus dilandasi dengan pemahaman untuk saling mengasihi sebagai manusia yang seutuhnya. Kesukuan menjadi nilai-nilai kehidupan bagi jemaat. Selain itu budaya juga diharapkan dapat menjadi landasan bagi gereja untuk melihat sikap yang harus dikritisi dalam kehidupan yang dibentuk oleh suku di dalam kemajemukan (Sitompul 2014, 214-6). Gereja diharapkan menunjukkan pemahamannya akan nilai-nilai yang dapat saling melengkapi dalam kemajemukan suku bangsa yang ada, untuk menemukan dan memperlihatkan nilai-nilai kebaikan secara universal dan secara komunal.
Relasi yang dibangun berdasarkan kecurigaan terhadap suku lain harus diminimalisir. Dampak dari kecurigaan yang berlebih terhadap kehadiran suku lain dapat membuat elemen masyarakat, termasuk gereja membentengi diri berdasarkan kesamaan identitas dalam komunalisme, memisahkan diri dari komunitas dengan identitas yang berbeda. Hal tersebut bisa saja semakin parah dengan semangat sektarianisme kesukuan (Sitorus 2011, 294). Semangat komunal ini juga masih sering terlihat di dalam masyarakat Batak Toba, termasuk jemaat HKBP di dalamnya. Gereja yang ikut “berpindah” jika jemaat merantau ke daerah lain menunjukkan adanya semangat komunalisme. Di satu sisi memiliki dampak baik untuk memperkuat tali persaudaraan. Akan tetapi di satu sisi akan memperkuat citra atau representasi gereja yang ekslusif. Hal tersebut juga saya lihat terjadi di HKBP berdasarkan fenomena tersebut.
Perbedaan yang ada di dalam kehidupan manusia disebabkan oleh berbagai faktor yang ada di dalam kehidupan sehari-hari. Stereotype membuat masyarakat, baik di dalam atau di luar komunitas memberikan praduga kepada orang lain. Praduga menjadi hal yang berbahaya dalam upaya membangun masyarakat dan gereja yang memahami dan mempraktikkan nilai-nilai kemajemukan di dalam nilai universal. Stereotype dapat menjadi alat propaganda orang-orang yang tidak bertanggungjawab demi keuntungan pribadi. Selain itu stereotype membuat pemahaman kita akan perbedaan yang ada di dalam kehidupan manusia akan semakin sempit (Simanjuntak 2011, 285). Hal tersebut dapat menjadi batu sandungan bagi HKBP jika ingin menunjukkan identitas sebagai gereja yang dapat berkarya di dalam kemajemukan.
Kesimpulan dan Refleksi
HKBP memiliki potensi yang besar untuk menjadi gereja yang terbuka dengan kehadiran suku lain di dalamnya. HKBP di dalam Tata Dasar dan Tata Laksananya tidak memberi gambaran bahwa hanya suku Batak Toba saja yang dapat menjadi jemaat HKBP. Akan tetapi kehidupan masyarakat yang terkadang masih dipengaruhi ikatan garis keturunan, adat isiadat dan kesamaan identitas menjadi representasi yang tidak dapat dikatakan menjadi gambaran keseluruhan bahwa HKBP adalah gereja yang tertutup. Adat yang dipegang teguh dan menjadi bagian dari HKBP adalah sebuah norma kehidupan yang sebenarnya fleksibel dan masyarakat di dalamnya harus mampu menyesuaikan dengan keadaan yang dihadapi masa kini. Hal tersebut demi kehidupan bergereja yang dibangun untuk menunjukkan kasih Allah di tengah dunia.
      Ketertutupan yang terlihat di dalam HKBP dapat menjadi masalah dalam masyarkat majemuk sebagai konteks masyarakat Indonesia. Hal tersebut dapat terjadi karena di dalam masyarakat majemuk, keberagaman telah menjadi realitas sehari-hari yang harus dihadapi oleh masyarakat. Jika dipandang secara positif, bukanlah ketertutupan yang dimaksud melainkan keterikatan yang kuat dalam identitas. Akan tetapi keterikatan tersebut dapat menjadi pemicu jemaat di dalam HKBP untuk membawa dan membangun kembali keterikatan yang dirasakan di kampung halaman. Jika hal tersebut tidak dapat dikomunikasikan dalam tubuh gereja dan masyarakat, maka identitas yang berinteraksi di dalam kemajemukan akan sulit diimplementasikan.
      Kesukuan menjadi hal yang sangat mengikat di dalam HKBP. Identitas kesukuan menjadi salah satu hal yang mengikat bagi jemaat HKBP selain dari iman yang sama di dalam Allah Trinitas. Hal tersebut menjadi faktor yang membuat HKBP sangat identik dengan kesukuan. Hal tersebut sebenarnya tidak menjadi masalah, karena nilai-nilai kesukuan yang ada di dalam tradisi dan budaya Batak Toba dapat saling melengkapi dengan nilai-nilai kekristenan yang dibawa oleh HKBP. Identitas kesukuan di dalam gereja seperti HKBP tidak menjadi masalah selama identitas kesukuan tidak menjadi legitimasi untuk memandang rendah suku lain dan menutup diri dengan perkembagan zaman yang terjadi di dalam masyarakat majemuk. Kiranya HKBP tetap menilik kekristenan, budaya dan kemajemukan menjadi hal yang terus dikomunikasikan dengan seksama tanpa menjadikan representasi dari budaya Batak Toba dan suku lainnya sebagai dasar pijakan dalam memahami kemajemukan.
           
Daftar Acuan
HKBP. 2015. Aturan dohot peraturan HKBP 2002 dung amandemen paduahon. Tarutung:
            Kantor Pusat HKBP.
Pedersen, Paul Bodholdt. 1975. Darah Batak dan jiwa Protestan: Perkembangan Gereja-gereja
            Batak di Sumatera Utara. Terjemahan Maria Th. Sijabat dan W.B. Sijabat. Jakarta:
            BPK Gunung Mulia.
­­­­Priovolakis, Eftichis. 2010. Reading Derrida & Ricoeur: Imporable encounters between
Deconstruction and hermeneutics. New York: State University of New York Press.
Ricoeur, Paul. 1981. Hermeneutika ilmu-ilmu sosial. Terjemahan Muhammad Syukri. Bantul:
            Kreasi Wacana.
___________. 2000. The conflict of interpretations: Essay in Hermeneutics. London: The
Athlone Press.
Sangti, Batara, 1977. Sejarah Batak: Balige: Karl Sianipar Company
Simanjuntak, Bungaran Antonius. 2011. Dalam Peranan orang Batak di tengah masyarakat
majemuk. Dalam Pemikiran tentang Batak: Setelah 150 Tahun Agama Kristen di
Sumatera Utara. Editor Bungaran Antonius Simanjuntak. 133-141. Jakarta: Obor.
Sitompul, Einar M. 2014. Perjalanan sarat muatan: Buku 1 – 65 tahun Pdt. Dr. Einar M.
Sitompul. Jakarta: UPI STT Jakarta.
Sitorus, Eliakim. 2011. Dalam Pendidikan kemajemukan bagi warga gereja. Dalam Pemikiran
tentang Batak: Setelah 150 Tahun Agama Kristen di Sumatera Utara. Editor Bungaran Antonius Simanjuntak. 293-300.
Vergouwen, J.C. 1964. The social organisation and customary law of Toba-Batak of Northern
            Sumatera. Leiden: The Netherland Institute for International Culture Relations.
Website
GoBatak. Filsafah Orang Batak Toba dalam Dalihan Na Tolu http://www.gobatak.com/filsafah-   orang-batak-toba-dalam-dalihan-natolu/ (Diakses 29 Oktober 2016).
Rumametmet. Dalihan Na Tolu. http://rumametmet.com/2007/11/14/dalihan-na-tolu-2/ (Diakses
26 Oktober 2016).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar