Disclaimer: Tulisan ini terserah pada pembaca apakah mau diseriusin apa tidak. Ini hanya curahan hati yang tidak menggunakan studi ilmiah, jadi santai aja vroh bacanya. Enaknya dibaca sambil nyeruput kopi, makan gorengan dkk.
Semenjak bapak Basuki Tjahja Purnama a.k.a Ahok mencalonkan diri menjadi Gubernur DKI Jakarta, media massa di Indonesia mendadak terasa seperti tv series yang peran utamanya adalah Ahok. Bapak Gubernur petahana yang satu ini dicecar mulu oleh berbagai pihak, mulai dari kritik dan saran yang berisi sampai cacian dan hinaan yang nggak jelas apa faedahnya. Tapi tenang dulu bro, sis. Pembahasannya bukan soal politik kok. Lagian gue juga enggak begitu paham politik, entar kalau gue salah nulis di blog ini, tulisan gue dipelintir terus dibilang penistaan (Ups maaf, kecepelosan).
Pertarungan politik antara bapak Ahok dan lawan-lawannya bagi saya termasuk di dalamnya sangat terasa unsur SARA di dalamnya. Gara-gara itu gue jadi mikir, apakah politik sekejam itu, sampai-sampai agama yang menurut gue itu penuh dengan kasih (meski pun dalam kitab suci beberapa agama, termasuk Kristen di dalamnya terdapat unsur kekerasan yang harus diinterpretasi dengan baik) itu bisa dengan seenak jidat dipelintir demi libido politik, kepentingan dan superioritas para pemegang kepentingan di negeri kepingan surga ini?
Media massa di negeri ku ini gak berhenti blow up berita tentang perkembangan pilkada DKI Jakarta. Ada yang pro banget sama pak Ahok, ada juga yang kontra. Media semakin panas memberitakan tentang kiprah pak Ahok setelah video tentang pernyataan pak Ahok (yang katanya) menistakan agama. Perdebatan semakin hari semakin panjang karena satu kasus ini. Energi masyarakat di berbagai penjuru negeri ikut tersita dengan kasus ini. Gue sendiri juga sempat panas kok liat kasus model begini. Tapi gue coba berusaha setidaknya untuk mikir bahwa permasalahan sebenarnya bukan penistaan agama. Ah sudahlah! capek bahas ginian, udah capek gak bisa bikin badan langsing pulak (maap yang nulis curhatan ini perutnya ....... ah sudahlah!).
Kasus pak Ahok yang dianggap menistakan agama ini semakin hari semakin panas. Bahkan semakin hari semakin terasa juga adanya "joki" yang menunggangi pembelaan ini untuk "hasrat" mereka yang belum tersalurkan. Di tengah hiruk pikuk kasus yang tidak jelas simpul benang kusutnya ini, ddddddddddddduuuuuuuuuaaaaaaaarrrrrrrr. Bom meledak di sebuah gereja di Samarinda. Akan tetapi entah ini perasaan gue doang atau nggak, berita ini rasa-rasanya kurang di blow up sama media. Apa karena berita ini tidak membawa keuntungan materil? (Tuh kan, jadi buruk sangka duluan gue).
Bom telah meledak di Samarinda. Berdasarkan beberapa informasi yang gue dapat, pelakunya adalah seorang yang melakukan peledakan tersebut adalah seorang yang memakai baju yang menjelaskan Jihad sebagai jalannya hidupnya (tapi ente ga boleh berprasangka buruk dulu coy soal jihad!!!!). Gue sih nggak tau pasti apa motif dari pelaku kejadian itu. Tapi entah kenapa gue percaya kalau kejadian itu tidak sesederhana yang dibayangkan. Bisa jadi kan ada banyak motif di dalam perbuatan itu. Jangan seenak jidat aja kita bilang ini itu tanpa bukti, yang ada malah bikin suasana makin keruh, udah gitu makin gak karuan.
Satu hal yang menyayat hati gue saat ini adalah korban meninggal dan luka waktu bom meledak di gereja di daerah Samarinda itu yang terekspos media adalah ANAK-ANAK. Kenapa tulisannya huruf gede semua? Capslock gue gak jebol kok, biar pun ini laptop mulai banyak penyakitnya. Gue rada bingung aja lihat peristiwa ini. Kasian amat itu bocah-bocah masih kecil, masih manis-manisnya, lugu-lugunya, asyik-asyiknya main sudah diajak berkenalan sama bom. Mana ada satu anak yang harus meregang nyawa karena perbuatan yang gue juga makin burem liatnya. Adek intan sudah dipaksa meregang nyawa, melawan luka bakar yang menggerogoti tubuh mungilnya itu. Di tengah kebahagiaan beberapa anak di tempat lain yang didatangi oleh sukacita, dia justru didatangi oleh seseorang yang membawa oleh-oleh berupa bom, yang sialnya memaksa intan meregang nyawa, Astaga dek, ngeri kali lah orang itu memang sama mu. Semoga tenang di sisi-Nya ya, doakan kami yang masih berjuang buat paham apa itu makna perdamaian.
Dua peristiwa itu, fenomena pak Ahok dan ledakan bom di Samarinda membuat gue mikir, dimana itu rasa saling menghargai yang gue dengar selama ini? Toleransi hanya menjadi kata manis sampe buat yang dengar rasa rasa kaya kelebihan gula untuk mengajak masyarakat yang beragam ini untuk hidup dalam damai. Sebuah konstruksi kedamaian yang masih buram kesinambungan antara makna dan pelaksanaannya. Mayoritas harus menghargai minoritas, duh ini lagi yang buat gue makin bingung, keliatan seperti ada pihak yang lemah dan ada pihak yang kuat, yang banyak bersuara yang sedikit terbungkam, termasuk dalam hal agama. Padahal (katanya) di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ini semua orang dijamin kehidupannya, tapi sebagian dari kita sudah tahu jawabannya.
Gue cuma bisa berharap di tengah kisruh bangsa ini soal penistaan agama, kebenaran siapa yang paling benar, bangsa kita dapat belajar dari peristiwa yang terjadi belakangan ini. Tapi kalau gue liat bakal susah malah cenderung mustahil kalau masyarakat tidak mau membuka mata soal perbedaan dan adanya kebenaran yang lain di tengah kehidupan sehari-hari. Ini celoteh gue soal keadaan yang carut marut belakangan ini. Kalau banyak salah-salah kata mohon dimaafkan. Tulisan ini tidak lebih dari luapan emosi yang coba diceritakan. Luapan emosi akan memori indah dan syair indah tentang sebuah negeri kepingan surga, yang hidup rukun damai dalam rasa saling menghargai, tanpa ada embel-embel mayoritas-minoritas, retorika soal toleransi dan antek-anteknya.
Semenjak bapak Basuki Tjahja Purnama a.k.a Ahok mencalonkan diri menjadi Gubernur DKI Jakarta, media massa di Indonesia mendadak terasa seperti tv series yang peran utamanya adalah Ahok. Bapak Gubernur petahana yang satu ini dicecar mulu oleh berbagai pihak, mulai dari kritik dan saran yang berisi sampai cacian dan hinaan yang nggak jelas apa faedahnya. Tapi tenang dulu bro, sis. Pembahasannya bukan soal politik kok. Lagian gue juga enggak begitu paham politik, entar kalau gue salah nulis di blog ini, tulisan gue dipelintir terus dibilang penistaan (Ups maaf, kecepelosan).
Pertarungan politik antara bapak Ahok dan lawan-lawannya bagi saya termasuk di dalamnya sangat terasa unsur SARA di dalamnya. Gara-gara itu gue jadi mikir, apakah politik sekejam itu, sampai-sampai agama yang menurut gue itu penuh dengan kasih (meski pun dalam kitab suci beberapa agama, termasuk Kristen di dalamnya terdapat unsur kekerasan yang harus diinterpretasi dengan baik) itu bisa dengan seenak jidat dipelintir demi libido politik, kepentingan dan superioritas para pemegang kepentingan di negeri kepingan surga ini?
Media massa di negeri ku ini gak berhenti blow up berita tentang perkembangan pilkada DKI Jakarta. Ada yang pro banget sama pak Ahok, ada juga yang kontra. Media semakin panas memberitakan tentang kiprah pak Ahok setelah video tentang pernyataan pak Ahok (yang katanya) menistakan agama. Perdebatan semakin hari semakin panjang karena satu kasus ini. Energi masyarakat di berbagai penjuru negeri ikut tersita dengan kasus ini. Gue sendiri juga sempat panas kok liat kasus model begini. Tapi gue coba berusaha setidaknya untuk mikir bahwa permasalahan sebenarnya bukan penistaan agama. Ah sudahlah! capek bahas ginian, udah capek gak bisa bikin badan langsing pulak (maap yang nulis curhatan ini perutnya ....... ah sudahlah!).
Kasus pak Ahok yang dianggap menistakan agama ini semakin hari semakin panas. Bahkan semakin hari semakin terasa juga adanya "joki" yang menunggangi pembelaan ini untuk "hasrat" mereka yang belum tersalurkan. Di tengah hiruk pikuk kasus yang tidak jelas simpul benang kusutnya ini, ddddddddddddduuuuuuuuuaaaaaaaarrrrrrrr. Bom meledak di sebuah gereja di Samarinda. Akan tetapi entah ini perasaan gue doang atau nggak, berita ini rasa-rasanya kurang di blow up sama media. Apa karena berita ini tidak membawa keuntungan materil? (Tuh kan, jadi buruk sangka duluan gue).
Bom telah meledak di Samarinda. Berdasarkan beberapa informasi yang gue dapat, pelakunya adalah seorang yang melakukan peledakan tersebut adalah seorang yang memakai baju yang menjelaskan Jihad sebagai jalannya hidupnya (tapi ente ga boleh berprasangka buruk dulu coy soal jihad!!!!). Gue sih nggak tau pasti apa motif dari pelaku kejadian itu. Tapi entah kenapa gue percaya kalau kejadian itu tidak sesederhana yang dibayangkan. Bisa jadi kan ada banyak motif di dalam perbuatan itu. Jangan seenak jidat aja kita bilang ini itu tanpa bukti, yang ada malah bikin suasana makin keruh, udah gitu makin gak karuan.
Satu hal yang menyayat hati gue saat ini adalah korban meninggal dan luka waktu bom meledak di gereja di daerah Samarinda itu yang terekspos media adalah ANAK-ANAK. Kenapa tulisannya huruf gede semua? Capslock gue gak jebol kok, biar pun ini laptop mulai banyak penyakitnya. Gue rada bingung aja lihat peristiwa ini. Kasian amat itu bocah-bocah masih kecil, masih manis-manisnya, lugu-lugunya, asyik-asyiknya main sudah diajak berkenalan sama bom. Mana ada satu anak yang harus meregang nyawa karena perbuatan yang gue juga makin burem liatnya. Adek intan sudah dipaksa meregang nyawa, melawan luka bakar yang menggerogoti tubuh mungilnya itu. Di tengah kebahagiaan beberapa anak di tempat lain yang didatangi oleh sukacita, dia justru didatangi oleh seseorang yang membawa oleh-oleh berupa bom, yang sialnya memaksa intan meregang nyawa, Astaga dek, ngeri kali lah orang itu memang sama mu. Semoga tenang di sisi-Nya ya, doakan kami yang masih berjuang buat paham apa itu makna perdamaian.
Dua peristiwa itu, fenomena pak Ahok dan ledakan bom di Samarinda membuat gue mikir, dimana itu rasa saling menghargai yang gue dengar selama ini? Toleransi hanya menjadi kata manis sampe buat yang dengar rasa rasa kaya kelebihan gula untuk mengajak masyarakat yang beragam ini untuk hidup dalam damai. Sebuah konstruksi kedamaian yang masih buram kesinambungan antara makna dan pelaksanaannya. Mayoritas harus menghargai minoritas, duh ini lagi yang buat gue makin bingung, keliatan seperti ada pihak yang lemah dan ada pihak yang kuat, yang banyak bersuara yang sedikit terbungkam, termasuk dalam hal agama. Padahal (katanya) di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ini semua orang dijamin kehidupannya, tapi sebagian dari kita sudah tahu jawabannya.
Gue cuma bisa berharap di tengah kisruh bangsa ini soal penistaan agama, kebenaran siapa yang paling benar, bangsa kita dapat belajar dari peristiwa yang terjadi belakangan ini. Tapi kalau gue liat bakal susah malah cenderung mustahil kalau masyarakat tidak mau membuka mata soal perbedaan dan adanya kebenaran yang lain di tengah kehidupan sehari-hari. Ini celoteh gue soal keadaan yang carut marut belakangan ini. Kalau banyak salah-salah kata mohon dimaafkan. Tulisan ini tidak lebih dari luapan emosi yang coba diceritakan. Luapan emosi akan memori indah dan syair indah tentang sebuah negeri kepingan surga, yang hidup rukun damai dalam rasa saling menghargai, tanpa ada embel-embel mayoritas-minoritas, retorika soal toleransi dan antek-anteknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar