Pengantar
Baptisan adalah sebuah
bentuk pemberian materai kepada seseorang sebagai tanda bahwa orang yang
dibaptis telah menerima dan mengakui iman percaya mereka kepada Kristus.
Baptisan secara sederhana dapat diartikan sebagai simbol pengakuan iman untuk
terus menjalani kehidupan di dalam Iman Kristen.
Baptisan menjadi
hal yang penting dalam kekristenan. Baptisan merupakan sakramen yang dijalankan
oleh berbagai aliran gereja. Jika baptisan dilakukan oleh gereja dan diakui
sebagai sakramen, maka di dalam baptisan pasti ada makna yang dalam mengenai
Allah dan manusia.
Baptisan merupakan
bahasan yang sangat luas. Penulis membatasi bahasan mengenai baptisan pada
anak. Selain itu pembahasan mengenai baptisan dalam tulisan ini juga dibatasi
pada pemahaman baptisan dalam gereja Lutheran dengan mengacu pada pemikiran
Martin Luther. Penulis juga menjabarkan pemahaman gereja HKBP (Huria Kristen
Batak Protestan) memandang baptisan anak sebagai salah satu gereja beraliran
Lutheran. Pembahasan baptisan anak juga ditinjau dari penerapannya dalam ibadah.
Pertimbangan pernyataan tersebut adalah bahwa baptisan dewasa dilakukan atas
permintan orang yang ingin dibaptis. Selain itu dalam baptisan dewasa terdapat
makna kelahiran kembali melalui konversi iman yang dilakukan (Kuyper 2009,
224).
Pembahasan
1.
Baptisan Anak pada Masa Reformasi Gereja
Ibadah yang
terbentuk dalam gereja-gereja Lutheran adalah pola ibadah yang terbentuk sejak
zaman Reformasi gereja. Pada abad 16 para Reformator mengkritik ritus yang
dilakukan oleh gereja-gereja Latin tentang baptisan pada masa itu. Menurut para
reformator pada dasarnya baptisan harus dilakukan menggunakan air dan dilakukan
dalam nama Allah Tritunggal. Berbagai penambahan dalam pembaptisan akan membawa
pada ketahkyulan (Fisher 1978, 120).
Para Reformator mengkritik
gereja pada masa itu. Baptisan yang diterapkan di dalam gereja juga tidak lepas
dari perhatian para Reformator. Pada masa itu para Reformator mencari makna
pada skala praktik di gereja pada masa itu. Para reformator mencoba untuk
mengkonsentrasikan dan menyederhanakan ritus yang sudah ada pada masa itu. (Wainright
1974, 38).
Pembaptisan pada
masa itu dilakukan kepada anak-anak. Para reformator mengambil dasar pemahaman
mereka dari hal-hal yang dijelaskan dalam alkitab mengenai penerusan
kekristenan kepada anak. Prinsip pembaptisan anak yang dipahami oleh para
Reformator adalah sejak Allah membuat perjanjian dengan Abraham untuk
menjadikan Allah sebagai Tuhan dari anaknya. Anak yang berasal dari orang tua
Kristen memiliki perjanjian baru dalam hidupnya setelah menerima baptisan untuk
anak mereka. Saat anak sudah dibaptis maka anak telah menjadi anggota gereja,
sebagai dampak dari baptisan maka anak-anak yang sudah dibaptis telah menjadi
anggota gereja (Fisher 1978, 121).
Ritus yang
dilakukan oleh Martin Luther mulai dilakukan pada tahun 1522. Peribadahan yang
dilakukan saat itu adalah pembaptisan anak untuk menjadi anggota gereja. Peribadahan
yang dilakukan saat itu berdasarkan agenda
Magdeburg. Ibadah pembaptisan ini memasukkan unsur eksorsisme di
dalamnya.Unsur eksorsisme dimaksud sebagai simbol dari penolakan terhadap
setan (Fisher 1978, 121). Pada bagian
ini terlihat penekanan bahwa melalui baptisan ada penyertaan dari Allah. Anak
yang telah dibaptis dan menjadi anggota gereja akan memperoleh penyertaan Allah
di dalam kehidupannya.
Baptisan pada
dasarnya adalah makna penerimaan ke dalam Gereja. Dasar dari baptisan bahkan
diambil dari perjanjian antara Abraham dengan Allah. Perjanjian tersebut
menjadi tanda bahwa Baptisan adalah simbol perjanjian manusia kepada Allah
untuk menjadi anggota dalam persekutuan dengan Allah. Jika melihat dari cara pandang
Calvin yang juga merupakan seorang reformator gereja mengenai baptisan, Calvin
dalam pemahamannya memandang baptisan sebagai bentuk penyertaan Allah kepada
manusia terhadap berbagai hal-hal yang jahat di dunia ini. (Fisher 1978, 123).
2.
Makna Baptisan Anak dalam Liturgi
Baptisan
memiliki makna penting dalam ajaran kekristenan. Baptisan bahkan menurut Martin
Luther dalam Luther’s Large Cathecism bahwa
baptisan adalah perintah dari Allah. Bagian terakhir dari Injil Matius yang
merupakan “Amanat Agung” menjadi salah satu dasar pemikiran Luther mengenai
baptisan. Pernyataaan tersebut memunculkan pemahaman bahwa baptisan adalah
perintah Allah dan tidak perlu ragu mengenai asal Baptisan tersebut (Luther
2015, 183-184).
Penjabaran pada
bagian sebelumnya menunjukkan bahwa baptisan merupakan hal yang penting dalam
kehidupan Kristen. Baptisan pada umumnya dilakukan oleh pendeta kepada
anak-anak yang masih berusia sangat dini. Anak-anak yang hendak dibaptis oleh
pendeta dibawa oleh orang tua mereka untuk dibaptiskan. Baptisan dilakukan oleh
pendeta di gereja yang disaksikan oleh jemaat yang menghadiri ibadah tersebut.
Pertanyaan yang
muncul adalah apakah makna dari baptisan berdasarkan situasi yang telah
dijabarkan pada bagian sebelumnya? Baptisan pada anak menjadi simbol rasa
syukur orang tua atas kehadiran anak di tengah keluarga Kristen. Selain itu di
dalam keluarga tersebut ada pelayanan baru terhadap kehadiran anak tersebut. Baptisan
dalam Kristen kepada anak dibuat dalam penekanan konteks penguatan makna bagi kehadiran
anak di tengah keluarga Kristen (Crowe 1980, 16).
Baptisan pada
anak dapat dikatakan menjadi sebuah bentuk ucapan syukur keluarga Kristen atas
kehadiran seorang anak. Akan tetapi ada makna terdalam dari baptisan yang
dilakukan kepada anak. Baptisan yang dilakukan pada anak berbeda dengan
baptisan yang diberikan kepada orang dewasa. Baptisan yang diberikan kepada
orang dewasa adalah baptisan karena keyakinan iman yang telah dipegang oleh
orang yang ingin dibaptis. Anak yang menerima baptisan memperoleh kepercayaan
mereka dari orang tua mereka. Oleh karena itu baptisan mereka harus berdasarkan
pada konteks keluarga Kristen (Crowe 1980, 17).
Pemaknaan
baptisan dalam liturgi Kristen adalah sebagai simbol penyambutan atas
bertambahnya anggota baru dalam Kristen. Analogi yang dibentuk adalah dengan
mengibaratkan anak sebagai manusia dan gereja sebagai orang tua. Bapa menerima kehadiran anak di tengah komunitas umat-Nya,
seperti itulah analogi manusia yang telah menerima baptisan. Baptisan berperan
sebagai simbol yang memberi makna penerimaan bagi kedatangan orang-orang baru
termasuk anak-anak dalam komunitas Kristen (Crowe 1980, 69).
Gereja
menunjukkan penyambutan mereka dalam praktik liturgi di dalam ibadah yang di
dalamnya dilangsungkan ritus pembaptisan dalam peribadahan Kristen. Philip
Crowe menjelaskan bentuk penerimaan gereja dalam liturgi gereja keseluruhan
dalam baptisan anak yang dapat diartikan sebagai berikut sebagai berikut:
“We
welcome you into the Lord’s family. We are members together of the body of the
Christ: we are children of the same heavenly father, we are inheritors together
of the kingdom of God. We welcome you.” (Crowe 1980,
68).
Praktik baptisan dilakukan oleh
gereja pada ibadah minggu. Pada mulanya baptisan dilakukan pada pelayanan
khusus pada minggu siang. Gereja secara keseluruhan menerapkan baptisan sebagai
bagian dari pelayanan publik, baptisan tidak dilakukan sebagai upacara khusus. Pada
ibadah yang menyelenggarakan baptisan anak akan terlihat penegasan akan
pernyataan gereja untuk memelihara anak yang telah di baptis. Anak yang telah
menjadi anggota gereja yang telah dimateraikan melalui baptisan harus mendapat
pemeliharan gereja sebagai bentuk pemenuhan gereja terhadap jemaatnya (Crowe
1980, 71). Baptisan yang
dilakukan di ibadah gereja adalah baptisan yang menggunakan air. Selain itu di
dalam baptisan menjadi simbol terdapat penyertaan roh kudus (Yoh 3:5) (Stauffer
1998, 57).
Baptisan Anak dalam
Gereja Lutheran
Baptisan
anak dilakukan di banyak gereja, termasuk di gereja beraliran Lutheran. Jika
kita hendak melihat baptisan melalui sudut pandang gereja Lutheran, maka harus
ada penjabaran pemahaman baptisan tersebut. Baptisan mustahil dilakukan jika
tidak ada argumentasi yang menjadi pondasi baptisan. Pemahaman mengenai
baptisan menunjukkan betapa bermaknanya baptisan yang dilakukan oleh gereja
kepada umatnya, termasuk dalam melaksanakan baptisan pada anak.
Pemahaman
Luther mengenai baptisan terlihat bahwa pentingnya makna baptisan secara umum.
Pandangan lainnya yang ditunjukkan oleh Martin Luther bahwa sebenarnya baptisan
tersebut adalah perintah Tuhan. Luther meyakini bahwa Allah telah memerintahkan
manusia untuk menerima baptisan. Jadi secara tidak langsung timbul makna bahwa
baptisan bukan hasil rekaan manusia yang dilakukan oleh Tuhan. Baptisan menjadi
cara untuk memperoleh kesukaan kekal dari Tuhan (Luther 2015, 184-185).
Baptisan
yang dilakukan pada anak dilakukan di dalam gereja HKBP yang beraliran
Lutheran. HKBP memandang baptisan sebagai anugrah Allah berupa penempatan
manusia masuk ke dalam kerajaan surga di dalam Kristus (Roma 6: 3-5). HKBP
memandang baptisan sama seperti sunat yang dilakukan pada konteks masa
perjanjian baru menurut tradisi Yahudi (Luk 2:21 ; Im: 12:3). Makna baptisan di
dalam gereja HKBP adalah sebagai penghapusan dosa manusia (Lumbantobing 2013,
76).
Anak-anak yang dibaptis adalah bukti
penyertaan Roh Kudus kepada manusia, termasuk kepada anak-anak. Baptisan yang
diterima oleh anak-anak bukan hanya sekedar menunjukkan adanya penyertaan Roh
Kudus. Anak-anak yang telah dibaptis menurut Martin Luther memiliki Roh Kudus
di dalam dirinya (Luther 2015, 196). Meski pun baptisan pada anak-anak sifatnya
pasif karena anak yang dibaptis belum mampu untuk bergerak secara mandiri,
namun tetap ada pemaknaan iman yang mendalam dalam proses baptisan terhadap
anak. Iman yang lahir kembali dan harus dijaga dalam diri anak yang dibaptis
yang coba diperlihatkan melalui sakramen baptisan (Kuyper 2009, 224).
Permasalahan
yang muncul di gereja HKBP yang beraliran Lutheran pada masa kini adalah
mengenai keimanan dari anak yang dibaptis. Selain itu pertanyaan lain yang
muncul adalah bagaimana mengenai anak yang lahir di tengah keluarga Kristen
namun belum sempat dibaptis karena meninggal sebelum dibaptis, bagaimana sikap
HKBP memandang hal tersebut? Pertanyaan-pertanyaan tersebut berdampak pada
bagaimana keabsahan dan makna baptisan pada anak yang dianggap belum mampu
menyatakan imannya.
Pertanyaan mendasar yang penting mengenai baptisan
anak adalah apakah baptisan tersebut akan memberikan makna kepada anak yang
menerima baptisan. Bahkan jika ditelusuri akan timbul pendapat bahwa baptisan yang
dilakukan pada anak tidak berarti. Baptisan yang dilakukan kepada anak hanya
menjadi simbol penerimaan tanpa pemahaman. Baptisan yang dilakukan kepada anak
pun akan dimaknai sebagai simbol semata, bukan penghayatan iman dalam
kehidupan.
Baptisan menurut Martin Luther
merupakan hal yang penting, baik di dalam peribadahan mau pun pemahaman iman
Kristen. Orang tua yang membawa
anak-anak mereka untuk melakukan baptisan sebagai sebuah permohonan kepada
Tuhan agar anak yang dibawa diberikan iman dan pemahaman iman yang kuat kepada
anak tersebut. Pendapat tersebut kembali didasari pada pemahaman bahwa Allah
memerintahkan manusia untuk membawa anak-anak dan membaptis mereka. Baptisan
yang diberikan kepada anak akan tetap kudus meski pada nantinya anak-anak yang
dibaptis akan melakukan berbagai kesalahan (Luther 2015, 198-199).
Baptisan anak yang dipahami oleh
gereja HKBP sama seperti sunat yang dilakukan sejak usia dini. Akan tetapi
sunat diganti dengan penggenapan Kristus sebagai keselamatan. Selain itu
pandangan lain yang ditawarkan HKBP mengenai baptisan adalah sebagai hak
prerogatif Allah. Pemahaman tersebut menunjukkan bahwa Allah berhak untuk
memberikan anugerah-Nya kepada siapa pun termasuk kepada anak-anak
(Lumbantobing 2013, 78).
Masalah lain yang timbul di dalam
gereja khususnya HKBP mengenai baptisan adalah status anak-anak keluarga
Kristen yang telah meninggal sebelum dibaptis. Anak-anak Kristen yang telah
meninggal namun belum dibaptis tidak dapat dilayani gereja secara penuh. Solusi
yang coba ditawarkan adalah tardidi na
hinipu atau baptisan darurat. Pemahaman teologis yang coba diterangkan HKBP
mengenai permasalahan ini adalah bahwa anak-anak yang berasal dari keluarga
yang mengakui iman kepada Kristus akan memperoleh keselamatan (Lumbantobing
2013, 80).
3.
Kesimpulan dan Refleksi
Kesimpulan yang
dapat diambil melalui tulisan ini adalah baptisan anak menjadi simbol
penerimaan gereja kepada anak di dalam persekutuan gereja. Pelayanan baptisan
dalam ibadah di rgereja menjadi penegas komitmen gereja untuk menerima
kehadiran anak yang baru lahir menjadi anggota gereja. Baptisan anak juga
menjadi penegas bahwa Allah telah memberikan karunia-Nya kepada semua orang
termasuk kepada anak-anak (Lumbantobing 2013, 78).
Jika baptisan
anak memiliki nilai sebagai karunia Allah
karunia Allah, maka gereja harus memelihara karunia tersebut. Baptisan
yang diterapkan sudah seharusnya menunjukkan makna dari penyertaan Allah.
Baptisan pada anak bukan hanya sekedar penerimaan anak ke dalam komunitas
Kristen. Baptisan anak menjadi pengikat janji orang tua dan gereja untuk
menjaga dan memelihara anak tersebut.
Anak yang
dibaptis meski pun belum mampu menyatakan imannya secara verbal dan menghayati
imannya, namun jika bertolak dari pemahaman baptisan sebagai karunia Allah maka
anak berhak mendapatkan baptisan. Penulis tidak sependapat dengan pernyataan
bahwa anak-anak yang dibaptis tidak akan memahami makna baptisan. Anak berhak
merasakan penerimaan di dalam komunitas gereja (Luther 2015, 198-199).
Penulis
kurang setuju dengan pandangan bahwa anak yang belum di baptis tidak diberikan
pelayanan penuh ketika meninggal (Lumbantobing
2013, 80). Semua orang termasuk anak-anak akan memperoleh keselamatan. Kesan
yang ditimbulkan dari keengganan gereja untuk melayani anak yang meninggal
namun belum dibaptis sebagai penolakan secara halus. Solusi untuk baptisan
darurat yang ditawarkan pun menurut penulis hanya upaya praktis untuk
menenangkan hati orang tua yang kehilangan anaknya. Akan tetapi dari kasus
tersebut terlihat bahwa makna baptisan dalam kekristenan baik secara teologis
atau praktis memiliki makna yang berarti.
Baptisan anak
tidak berakhir setelah anak selesai dibaptis di gereja. Baptisan menjadi
pengingat bagi gereja dan orang tua untuk mendidik anak-anak yang telah
dibaptis berdasarkan iman Kristen. Anak sebagai anugrah harus terus disemai
agar tetap bertumbuh dan berkembang di dalam berbagai aspek termasuk dalam
perkembangan iman mereka. Baptisan pada anak menjadi simbol komitmen untuk
bertumbuh di dalam iman agar anugerah itu menjadi Kristen yang beriman.
Daftar Acuan
Bromiley, Geoffrey W.
1979. Children of promise: The case for
baptizing infants. Edinburgh:
T&T Clarck Ltd.
Crowe, Philip.1980. Christian Baptism. Oxford: A.R. Mowbray
& Co Ltd.
Fischer, J. D. S. 1978.
Dalam Lutheran, Anglican and Reformed Rites. Dalam The study of
Litugi. Editor. Cheslyn Jones, Geoffrey Wainwright and
Edward Yarnold, SJ,
120-132. New York: Oxford University Press.
Kuyper, Abraham. 2009. Our worship. Editted by Harry Boonstra.
Michigan: Wm. B.
Eerdsman Publishing
Company.
Lumbantobing, Darwin.
2013. Burning and current theologial
Issues: Isu-isu teologi hangat
dan
terkini di Huria Kristen Batak Protestan
(HKBP). Pematangsiantar; Lembaga
Studi
Agama dan Pembangunan.
Luther, Martin. 2015. Katekismus besar Martin Luther.
Terjemahan Anwar Tjen. Jakarta:
BPK Gunung Mulia.
Stauffer, Anita S.
1998. Dalam Cultural setting of architecture for baptism in the early
church.
Dalam Lutheran World Federation Studies: Worship and culture in dialogue.
Jenewa:
Departement for Theology and studies The Lutheran World Federation.
Wainright, Geoffrey.
1978. Dalam The periods of liturgical history. Dalam The study of
Litugi. Editor. Cheslyn Jones, Geoffrey Wainwright and
Edward Yarnold, SJ,
33-38. New York: Oxford University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar