Kamis, 12 Mei 2016

Pemahaman Teologis Liturgi Baptisan Anak dalam Gereja Lutheran

Pengantar
Baptisan adalah sebuah bentuk pemberian materai kepada seseorang sebagai tanda bahwa orang yang dibaptis telah menerima dan mengakui iman percaya mereka kepada Kristus. Baptisan secara sederhana dapat diartikan sebagai simbol pengakuan iman untuk terus menjalani kehidupan di dalam Iman Kristen.
Baptisan menjadi hal yang penting dalam kekristenan. Baptisan merupakan sakramen yang dijalankan oleh berbagai aliran gereja. Jika baptisan dilakukan oleh gereja dan diakui sebagai sakramen, maka di dalam baptisan pasti ada makna yang dalam mengenai Allah dan manusia.
             Baptisan merupakan bahasan yang sangat luas. Penulis membatasi bahasan mengenai baptisan pada anak. Selain itu pembahasan mengenai baptisan dalam tulisan ini juga dibatasi pada pemahaman baptisan dalam gereja Lutheran dengan mengacu pada pemikiran Martin Luther. Penulis juga menjabarkan pemahaman gereja HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) memandang baptisan anak sebagai salah satu gereja beraliran Lutheran. Pembahasan baptisan anak juga ditinjau dari penerapannya dalam ibadah. Pertimbangan pernyataan tersebut adalah bahwa baptisan dewasa dilakukan atas permintan orang yang ingin dibaptis. Selain itu dalam baptisan dewasa terdapat makna kelahiran kembali melalui konversi iman yang dilakukan (Kuyper 2009, 224).
Pembahasan
1.      Baptisan Anak pada Masa Reformasi Gereja
Ibadah yang terbentuk dalam gereja-gereja Lutheran adalah pola ibadah yang terbentuk sejak zaman Reformasi gereja. Pada abad 16 para Reformator mengkritik ritus yang dilakukan oleh gereja-gereja Latin tentang baptisan pada masa itu. Menurut para reformator pada dasarnya baptisan harus dilakukan menggunakan air dan dilakukan dalam nama Allah Tritunggal. Berbagai penambahan dalam pembaptisan akan membawa pada ketahkyulan (Fisher 1978, 120).
Para Reformator mengkritik gereja pada masa itu. Baptisan yang diterapkan di dalam gereja juga tidak lepas dari perhatian para Reformator. Pada masa itu para Reformator mencari makna pada skala praktik di gereja pada masa itu. Para reformator mencoba untuk mengkonsentrasikan dan menyederhanakan ritus yang sudah ada pada masa itu. (Wainright 1974, 38).
Pembaptisan pada masa itu dilakukan kepada anak-anak. Para reformator mengambil dasar pemahaman mereka dari hal-hal yang dijelaskan dalam alkitab mengenai penerusan kekristenan kepada anak. Prinsip pembaptisan anak yang dipahami oleh para Reformator adalah sejak Allah membuat perjanjian dengan Abraham untuk menjadikan Allah sebagai Tuhan dari anaknya. Anak yang berasal dari orang tua Kristen memiliki perjanjian baru dalam hidupnya setelah menerima baptisan untuk anak mereka. Saat anak sudah dibaptis maka anak telah menjadi anggota gereja, sebagai dampak dari baptisan maka anak-anak yang sudah dibaptis telah menjadi anggota gereja (Fisher 1978, 121).
Ritus yang dilakukan oleh Martin Luther mulai dilakukan pada tahun 1522. Peribadahan yang dilakukan saat itu adalah pembaptisan anak untuk menjadi anggota gereja. Peribadahan yang dilakukan saat itu berdasarkan agenda Magdeburg. Ibadah pembaptisan ini memasukkan unsur eksorsisme di dalamnya.Unsur eksorsisme dimaksud sebagai simbol dari penolakan terhadap setan  (Fisher 1978, 121). Pada bagian ini terlihat penekanan bahwa melalui baptisan ada penyertaan dari Allah. Anak yang telah dibaptis dan menjadi anggota gereja akan memperoleh penyertaan Allah di dalam kehidupannya.
Baptisan pada dasarnya adalah makna penerimaan ke dalam Gereja. Dasar dari baptisan bahkan diambil dari perjanjian antara Abraham dengan Allah. Perjanjian tersebut menjadi tanda bahwa Baptisan adalah simbol perjanjian manusia kepada Allah untuk menjadi anggota dalam persekutuan dengan Allah. Jika melihat dari cara pandang Calvin yang juga merupakan seorang reformator gereja mengenai baptisan, Calvin dalam pemahamannya memandang baptisan sebagai bentuk penyertaan Allah kepada manusia terhadap berbagai hal-hal yang jahat di dunia ini. (Fisher 1978, 123).

2.      Makna Baptisan Anak dalam Liturgi
Baptisan memiliki makna penting dalam ajaran kekristenan. Baptisan bahkan menurut Martin Luther dalam Luther’s Large Cathecism bahwa baptisan adalah perintah dari Allah. Bagian terakhir dari Injil Matius yang merupakan “Amanat Agung” menjadi salah satu dasar pemikiran Luther mengenai baptisan. Pernyataaan tersebut memunculkan pemahaman bahwa baptisan adalah perintah Allah dan tidak perlu ragu mengenai asal Baptisan tersebut (Luther 2015, 183-184).
Penjabaran pada bagian sebelumnya menunjukkan bahwa baptisan merupakan hal yang penting dalam kehidupan Kristen. Baptisan pada umumnya dilakukan oleh pendeta kepada anak-anak yang masih berusia sangat dini. Anak-anak yang hendak dibaptis oleh pendeta dibawa oleh orang tua mereka untuk dibaptiskan. Baptisan dilakukan oleh pendeta di gereja yang disaksikan oleh jemaat yang menghadiri ibadah tersebut.
Pertanyaan yang muncul adalah apakah makna dari baptisan berdasarkan situasi yang telah dijabarkan pada bagian sebelumnya? Baptisan pada anak menjadi simbol rasa syukur orang tua atas kehadiran anak di tengah keluarga Kristen. Selain itu di dalam keluarga tersebut ada pelayanan baru terhadap kehadiran anak tersebut. Baptisan dalam Kristen kepada anak dibuat dalam penekanan konteks penguatan makna bagi kehadiran anak di tengah keluarga Kristen (Crowe 1980, 16).
Baptisan pada anak dapat dikatakan menjadi sebuah bentuk ucapan syukur keluarga Kristen atas kehadiran seorang anak. Akan tetapi ada makna terdalam dari baptisan yang dilakukan kepada anak. Baptisan yang dilakukan pada anak berbeda dengan baptisan yang diberikan kepada orang dewasa. Baptisan yang diberikan kepada orang dewasa adalah baptisan karena keyakinan iman yang telah dipegang oleh orang yang ingin dibaptis. Anak yang menerima baptisan memperoleh kepercayaan mereka dari orang tua mereka. Oleh karena itu baptisan mereka harus berdasarkan pada konteks keluarga Kristen (Crowe 1980, 17).
Pemaknaan baptisan dalam liturgi Kristen adalah sebagai simbol penyambutan atas bertambahnya anggota baru dalam Kristen. Analogi yang dibentuk adalah dengan mengibaratkan anak sebagai manusia dan gereja sebagai orang tua. Bapa menerima  kehadiran anak di tengah komunitas umat-Nya, seperti itulah analogi manusia yang telah menerima baptisan. Baptisan berperan sebagai simbol yang memberi makna penerimaan bagi kedatangan orang-orang baru termasuk anak-anak dalam komunitas Kristen (Crowe 1980, 69).
Gereja menunjukkan penyambutan mereka dalam praktik liturgi di dalam ibadah yang di dalamnya dilangsungkan ritus pembaptisan dalam peribadahan Kristen. Philip Crowe menjelaskan bentuk penerimaan gereja dalam liturgi gereja keseluruhan dalam baptisan anak yang dapat diartikan sebagai berikut sebagai berikut:
“We welcome you into the Lord’s family. We are members together of the body of the Christ: we are children of the same heavenly father, we are inheritors together of the kingdom of God. We welcome you.”  (Crowe 1980, 68).
            Praktik baptisan dilakukan oleh gereja pada ibadah minggu. Pada mulanya baptisan dilakukan pada pelayanan khusus pada minggu siang. Gereja secara keseluruhan menerapkan baptisan sebagai bagian dari pelayanan publik, baptisan tidak dilakukan sebagai upacara khusus. Pada ibadah yang menyelenggarakan baptisan anak akan terlihat penegasan akan pernyataan gereja untuk memelihara anak yang telah di baptis. Anak yang telah menjadi anggota gereja yang telah dimateraikan melalui baptisan harus mendapat pemeliharan gereja sebagai bentuk pemenuhan gereja terhadap jemaatnya (Crowe 1980, 71). Baptisan yang dilakukan di ibadah gereja adalah baptisan yang menggunakan air. Selain itu di dalam baptisan menjadi simbol terdapat penyertaan roh kudus (Yoh 3:5) (Stauffer 1998, 57).
Baptisan Anak dalam Gereja Lutheran
Baptisan anak dilakukan di banyak gereja, termasuk di gereja beraliran Lutheran. Jika kita hendak melihat baptisan melalui sudut pandang gereja Lutheran, maka harus ada penjabaran pemahaman baptisan tersebut. Baptisan mustahil dilakukan jika tidak ada argumentasi yang menjadi pondasi baptisan. Pemahaman mengenai baptisan menunjukkan betapa bermaknanya baptisan yang dilakukan oleh gereja kepada umatnya, termasuk dalam melaksanakan baptisan pada anak.
Pemahaman Luther mengenai baptisan terlihat bahwa pentingnya makna baptisan secara umum. Pandangan lainnya yang ditunjukkan oleh Martin Luther bahwa sebenarnya baptisan tersebut adalah perintah Tuhan. Luther meyakini bahwa Allah telah memerintahkan manusia untuk menerima baptisan. Jadi secara tidak langsung timbul makna bahwa baptisan bukan hasil rekaan manusia yang dilakukan oleh Tuhan. Baptisan menjadi cara untuk memperoleh kesukaan kekal dari Tuhan (Luther 2015, 184-185).
Baptisan yang dilakukan pada anak dilakukan di dalam gereja HKBP yang beraliran Lutheran. HKBP memandang baptisan sebagai anugrah Allah berupa penempatan manusia masuk ke dalam kerajaan surga di dalam Kristus (Roma 6: 3-5). HKBP memandang baptisan sama seperti sunat yang dilakukan pada konteks masa perjanjian baru menurut tradisi Yahudi (Luk 2:21 ; Im: 12:3). Makna baptisan di dalam gereja HKBP adalah sebagai penghapusan dosa manusia (Lumbantobing 2013, 76).   
 Anak-anak yang dibaptis adalah bukti penyertaan Roh Kudus kepada manusia, termasuk kepada anak-anak. Baptisan yang diterima oleh anak-anak bukan hanya sekedar menunjukkan adanya penyertaan Roh Kudus. Anak-anak yang telah dibaptis menurut Martin Luther memiliki Roh Kudus di dalam dirinya (Luther 2015, 196). Meski pun baptisan pada anak-anak sifatnya pasif karena anak yang dibaptis belum mampu untuk bergerak secara mandiri, namun tetap ada pemaknaan iman yang mendalam dalam proses baptisan terhadap anak. Iman yang lahir kembali dan harus dijaga dalam diri anak yang dibaptis yang coba diperlihatkan melalui sakramen baptisan (Kuyper 2009, 224).
Permasalahan yang muncul di gereja HKBP yang beraliran Lutheran pada masa kini adalah mengenai keimanan dari anak yang dibaptis. Selain itu pertanyaan lain yang muncul adalah bagaimana mengenai anak yang lahir di tengah keluarga Kristen namun belum sempat dibaptis karena meninggal sebelum dibaptis, bagaimana sikap HKBP memandang hal tersebut? Pertanyaan-pertanyaan tersebut berdampak pada bagaimana keabsahan dan makna baptisan pada anak yang dianggap belum mampu menyatakan imannya.  
            Pertanyaan mendasar yang penting mengenai baptisan anak adalah apakah baptisan tersebut akan memberikan makna kepada anak yang menerima baptisan. Bahkan jika ditelusuri akan timbul pendapat bahwa baptisan yang dilakukan pada anak tidak berarti. Baptisan yang dilakukan kepada anak hanya menjadi simbol penerimaan tanpa pemahaman. Baptisan yang dilakukan kepada anak pun akan dimaknai sebagai simbol semata, bukan penghayatan iman dalam kehidupan.
            Baptisan menurut Martin Luther merupakan hal yang penting, baik di dalam peribadahan mau pun pemahaman iman Kristen.  Orang tua yang membawa anak-anak mereka untuk melakukan baptisan sebagai sebuah permohonan kepada Tuhan agar anak yang dibawa diberikan iman dan pemahaman iman yang kuat kepada anak tersebut. Pendapat tersebut kembali didasari pada pemahaman bahwa Allah memerintahkan manusia untuk membawa anak-anak dan membaptis mereka. Baptisan yang diberikan kepada anak akan tetap kudus meski pada nantinya anak-anak yang dibaptis akan melakukan berbagai kesalahan (Luther 2015, 198-199).
            Baptisan anak yang dipahami oleh gereja HKBP sama seperti sunat yang dilakukan sejak usia dini. Akan tetapi sunat diganti dengan penggenapan Kristus sebagai keselamatan. Selain itu pandangan lain yang ditawarkan HKBP mengenai baptisan adalah sebagai hak prerogatif Allah. Pemahaman tersebut menunjukkan bahwa Allah berhak untuk memberikan anugerah-Nya kepada siapa pun termasuk kepada anak-anak (Lumbantobing 2013, 78).
            Masalah lain yang timbul di dalam gereja khususnya HKBP mengenai baptisan adalah status anak-anak keluarga Kristen yang telah meninggal sebelum dibaptis. Anak-anak Kristen yang telah meninggal namun belum dibaptis tidak dapat dilayani gereja secara penuh. Solusi yang coba ditawarkan adalah tardidi na hinipu atau baptisan darurat. Pemahaman teologis yang coba diterangkan HKBP mengenai permasalahan ini adalah bahwa anak-anak yang berasal dari keluarga yang mengakui iman kepada Kristus akan memperoleh keselamatan (Lumbantobing 2013, 80).  
3.      Kesimpulan dan Refleksi
Kesimpulan yang dapat diambil melalui tulisan ini adalah baptisan anak menjadi simbol penerimaan gereja kepada anak di dalam persekutuan gereja. Pelayanan baptisan dalam ibadah di rgereja menjadi penegas komitmen gereja untuk menerima kehadiran anak yang baru lahir menjadi anggota gereja. Baptisan anak juga menjadi penegas bahwa Allah telah memberikan karunia-Nya kepada semua orang termasuk kepada anak-anak (Lumbantobing 2013, 78).
Jika baptisan anak memiliki nilai sebagai karunia Allah  karunia Allah, maka gereja harus memelihara karunia tersebut. Baptisan yang diterapkan sudah seharusnya menunjukkan makna dari penyertaan Allah. Baptisan pada anak bukan hanya sekedar penerimaan anak ke dalam komunitas Kristen. Baptisan anak menjadi pengikat janji orang tua dan gereja untuk menjaga dan memelihara anak tersebut.
Anak yang dibaptis meski pun belum mampu menyatakan imannya secara verbal dan menghayati imannya, namun jika bertolak dari pemahaman baptisan sebagai karunia Allah maka anak berhak mendapatkan baptisan. Penulis tidak sependapat dengan pernyataan bahwa anak-anak yang dibaptis tidak akan memahami makna baptisan. Anak berhak merasakan penerimaan di dalam komunitas gereja (Luther 2015, 198-199).
Penulis kurang setuju dengan pandangan bahwa anak yang belum di baptis tidak diberikan pelayanan penuh ketika meninggal (Lumbantobing 2013, 80). Semua orang termasuk anak-anak akan memperoleh keselamatan. Kesan yang ditimbulkan dari keengganan gereja untuk melayani anak yang meninggal namun belum dibaptis sebagai penolakan secara halus. Solusi untuk baptisan darurat yang ditawarkan pun menurut penulis hanya upaya praktis untuk menenangkan hati orang tua yang kehilangan anaknya. Akan tetapi dari kasus tersebut terlihat bahwa makna baptisan dalam kekristenan baik secara teologis atau praktis memiliki makna yang berarti.
Baptisan anak tidak berakhir setelah anak selesai dibaptis di gereja. Baptisan menjadi pengingat bagi gereja dan orang tua untuk mendidik anak-anak yang telah dibaptis berdasarkan iman Kristen. Anak sebagai anugrah harus terus disemai agar tetap bertumbuh dan berkembang di dalam berbagai aspek termasuk dalam perkembangan iman mereka. Baptisan pada anak menjadi simbol komitmen untuk bertumbuh di dalam iman agar anugerah itu menjadi Kristen yang beriman.


Daftar Acuan
Bromiley, Geoffrey W. 1979. Children of promise: The case for baptizing infants. Edinburgh:
            T&T Clarck Ltd.
Crowe, Philip.1980. Christian Baptism. Oxford: A.R. Mowbray & Co Ltd.
Fischer, J. D. S. 1978. Dalam Lutheran, Anglican and Reformed Rites. Dalam The study of
            Litugi. Editor. Cheslyn Jones, Geoffrey Wainwright and Edward Yarnold, SJ,
            120-132. New York: Oxford University Press.
Kuyper, Abraham. 2009. Our worship. Editted by Harry Boonstra. Michigan: Wm. B.
Eerdsman Publishing Company.
Lumbantobing, Darwin. 2013. Burning and current  theologial Issues: Isu-isu teologi hangat
dan  terkini di Huria Kristen Batak Protestan (HKBP). Pematangsiantar; Lembaga
Studi Agama dan Pembangunan.
Luther, Martin. 2015. Katekismus besar Martin Luther. Terjemahan Anwar Tjen. Jakarta:
            BPK Gunung Mulia.
Stauffer, Anita S. 1998. Dalam Cultural setting of architecture for baptism in the early
church. Dalam Lutheran World Federation Studies: Worship and culture in dialogue.
Jenewa: Departement for Theology and studies The Lutheran World Federation.
Wainright, Geoffrey. 1978. Dalam The periods of liturgical history. Dalam The study of
            Litugi. Editor. Cheslyn Jones, Geoffrey Wainwright and Edward Yarnold, SJ,

            33-38. New York: Oxford University Press.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar